Mataram (NTB Satu) – Provinsi NTB didorong untuk memprioritaskan penanganan stunting yang hingga saat ini persentasenya masih cukup tinggi. Provinsi NTB merupakan salah satu dari 12 provinsi yang memiliki prevalensi stunting tertinggi secara nasional di tahun 2022 ini.
Untuk memerangi stunting di NTB, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bersama Pemprov NTB dan 10 kabupaten/kota di daerah ini memantapkan komitmen agar di tahun 2024 mendatang, angka stunting turun. Komitmen tersebut muncul di acara Sosialisasi RAN PASTI yang merupakan akronim dari Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia. Kegiatan berlangsung di Hotel Golden Palace, Mataram Rabu 23 Maret 2022.
Selain Gubernur NTB Dr H Zulkieflimansyah, hadir pula sejumlah bupati walikota atau pejabat yang mewakili. Sementara dari BKKBN Pusat hadir secara langsung Inspektur Utama BKKBN Ari Dwikora.
Ari Dwikora mengatakan, penurunan angka stunting setidaknya menjadi 17,98 persen di tahun 2024 mendatang. Dimana saat ini angka stunting sebesar 31 persen lebih. Namun secara nasional memang ditargetkan bisa turun menjadi 14 persen.
“Berdasarkan RPJM Nasional Presiden menetapkan di 2024 itu angka stunting 14 persen. Sementara kita berdasarkan tren penurunan berada di angka 28 persen. Namun demikian tim nasional telah memandu NTB agar angka visibel penurunan stunting bisa mencapai 17,98 persen di tahun 2024 mendatang,” kata Ari Dwikora.
Berdasarkan Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, separuh wilayah di NTB berstatus “merah” alias memiliki prevalensi stunting di atas 30 persen. Tepatnya sebanyak lima daerah berstatus merah dan lima daerah berstatus kuning atau memiliki prevalensi stunting diantara 20 hingga 30 persen.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto mengatakan, Kabupaten Lombok Timur menjadi sebagai daerah “merah” terbesar di NTB karena memiliki prevalensi stunting 37,6 persen. Artinya dari 100 balita yang ada di Lombok Timur, hampir 38 balita di antaranya tergolong stunting.
Bersama Lombok Timur, Lombok Utara, Lombok Tengah, Bima dan Dompu masuk dalam status merah dengan prevalensi stuntingnya di atas 30 persen.
Lima kabupaten dan kota yang berstatus “kuning” dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, diurut dari yang memiliki prevalensi tertinggi hingga terendah mencakup Sumbawa, Lombok Barat, Kota Mataram, Kota Bima dan Sumbawa Barat. Bahkan, Sumbawa dengan prevalensi 29,7 persen nyaris berkategori merah.
Tidak ada satu pun daerah di NTB yang berstatus “hijau” dan “biru” yakni dengan hijau berpravelensi 10 sampai 20 persen dan biru untuk prevalensi di bawah 10 persen. Hanya Sumbawa Barat yang memiliki angka prevalensi terendah dari seluruh wilayah di NTB dengan prevalensi 23,6 persen.
Agar sesuai dengan target nasional penurunan angka stunting 14 persen, maka laju penurunan stunting per tahun haruslah di kisaran 3,4 persen. Dengan melihat kondisi aktual yang terjadi saat ini, Pemerintah Provinsi NTB minta komitmennya di tahun 2024 agar tidak ada kabupaten dan kota di wilayah NTB yang berstatus “merah”.
Data SSGI 2021 menyebutkan prevalensi stunting rata-rata di NTB di angka 31,4 persen. Target di akhir 2022 adalah bisa mencapai 26,85 persen sedangkan di 2023 bisa menurun lagi menjadi 22,42 persen sehingga NTB di tahun 2024 bisa menuju angka prevalensi stunting di 17,98 persen. Jika hal ini tercapai maka NTB bisa memberikan kontribusi yang maksimal dalam penurunan angka stunting nasional.
Stunting merupakan sebuah kondisi gagal pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, infeksi berulang dan stimulasi psikososial yang tidak memadai terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Stunting ditandai dengan pertumbuhan yang tidak optimal sesuai dengan usianya. Stunting biasanya pendek – walau pendek belum tentu stunting – serta gangguan kecerdasan.
Dengan ancaman kesehatan dan kecerdasan, maka generasi yang terkena stunting akan mengalami berbagai permasalahan dalam menghadapi tantangan kehidupan yang semakin beragam ke depannya.
“Persoalan stunting adalah persoalan kita bersama. Pemerintah tidak akan berhasil mengakselarasikan penurunan stunting jika tidak didukung oleh peran serta semua komponen masyarakat. Peran tokoh agama, tokoh masyarakat, dan generasi milenial di NTB justru menjadi kunci pelibatan secara masif,” kata Agus Suprapto.
Menurut Agus Suprapto, keberadaan 89 perguruan tinggi yang terdiri dari 15 universitas, 9 institut, 3 politeknik, 44 sekolah tinggi serta 8 akademi di seantero NTB adalah anugerah yang tidak boleh disia-siakan. Kolaborasi kaum cendekia dalam ikut mengatasi persoalan stunting adalah langkah strategis. Mahahasiswa Peduli Stunting (Penting) bisa melakukan penelitian dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampung-kampung Keluarga Berencana (KB) dalam Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang setara dengan 20 Satuan Kredit Semester (SKS).
Proposal penelitian mahasiswa yang dinilai layak untuk digarap di daerah Kampung KB, bisa mendapat dana penelitian dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. (ZSF)