Oleh: Mujaddid Muhas, M.A.*
Arus deras informasi kini telah mengalami peluberan. Lebih banyak positifnya. Di sana sini ada informasi, dimana pun nyaris ada. Hal ini memungkinkan adanya informasi yang masih “belantara”, tetapi ada pula informasi seperti “mutiara”. Dari sisi input-output, tiap informasi ada pemberi dan penerima pesan. Informasi yang bersifat “belantara” masih perlu dikroscek. Apakah informasi tersebut betul-betul informasi yang valid dan kredibel? Belum tentu: bisa ya bisa tidak. Informasi menurut konten kevalidan dan kredibelitasnya bisa diukur dari informasi benar, informasi hoaks, informasi blur. Informasi benar yang sesuai realita kejadian dan diinformasikan melalui sumber-sumber kredibel. Informasi hoaks, informasi yang berisi informasi tidak benar, tidak sesuai fakta dan diinformasikan melalui sumber yang validitasnya diragukan akurasinya.
Sedangkan informasi blur, informasi yang bisa jadi ada unsur benarnya tetapi ada pula unsur hoaksnya. Kemudian diinformasikan melalui sumber-sumber yang bisa saja kredibel bisa pula sumber yang validitasnya diragukan. Informasi blur, dalam dunia media, biasanya memberikan klarifikasi (hak jawab) atas konfirmasi dari obyek pemberitaan. Dalam hal ini, informasi hoaks yang memberikan kerugian bagi netizenship, karena hoaks menyelinap sebagai informasi yang “sengaja diproduk” untuk digaungkan dengan maksud memberikan informasi salah, asalkan tujuan merugikan pihak lain tercapai. Di luar itu semua, singkatnya hoaks itu fake news dan tindakan merugikan orang lain. Ada pula kategorial menurut Donny B.U dan Adya Nisita sebagai misinformasi, disinformasi dan malinformasi yang terkadang menyeruak mondial dihadapan kita.
Membaca sejenak literatur Anthony G Wilhelm Demokrasi di Era Digital, penyunting dan pengantar Heru Nugroho menyatakan: “Secara sepintas dengan perkembangan teknologi komunikasi, ruang publik menjadi semakin lebar sehingga semakin mempermudah warga negara untuk ikut ambil bagian dan oleh karena itu, mendukung proses demokrasi.” (2003: xi).
Geliat bubung informasi menjadi semacam produk industrial, kian terbuka dengan luasnya opsi-opsi konten dalam berbagai perspektifnya. Begitu rupa, informasi diolah dan direpro menjadi informasi yang layak publikasi. Pada dunia media disebutnya sebagai produk jurnalistik. Media dengan berbagai kontennya kemudian ditransformasi oleh perusahaan industrial media secara profesional menjadi konten yang berekspektasi viral atau dikonsumsi banyak pembaca dan penonton virtual (netizen).
Dari mulai media konvensional yang didigitalkan. Makanya, nyaris semua televisi, kini mengunggah produk tayangan lampaunya di media sosial Youtube. Ada pula media cetak yang kini telah mengalami konvergensi ke media online. Benefit konten media online didapat dari klik atau pemasangan iklan advertorial dan kerja sama liputan. Belum lagi media menambah fitur rubriknya dengan rubrik siniar (podcast) yang kini telah menggejala tren: prospektif dari sisi kebutuhan industrial informasi. Membuncah sebagai tayangan virtual lintas batas dan lintas waktu.
Revolusi industri digital mendimensi peristiwa aktual, futuristik, maupun masa sebelumnya. Kepada siapa saja, terhadap apa saja, serta dimana saja. Seperti seorang Aktivis Sosial Eleanor Roosevelt (1884-1962) mengatakan: “Orang besar membicarakan ide; orang biasa membicarakan peristiwa; dan orang kerdil membicarakan orang lain.” Tampaknya mendedar kita semua. Bahwa dunia telah berubah. Terasa kian dekat tanpa sekat, kian melesat.
Bahwa revolusi industri itu biasa sebagai keadaan yang seharusnya dilakukan perusahaan untuk eksistingnya. Adapun yang berbeda, kini diperkuat revolusi informasi dari berbagai dimensi. Pada gejala forecasting futuristik, revolusi informasi yang dikelola secara insustrial akan tersaji sebagai menu informasi yang meluber. Tinggal kitalah netizen menyaringnya. Netizen sebagai subyek penerima informasi sekaligus sebahai subyek pemberi informasi: memilih dan memilah informasi laik publik.
Semua kita pada prinsipnya adalah informan. Informan netizen, komunitas, daerah, bangsa dan bagi dunia. Satu yang tak boleh terluput, setiap informasi terdapat jejak dan pertanggungjawabannya. Maka disinilah berlaku antara pikiran, ucapan, tindakan, dan perbuatan mesti seritme. Jika bukan, biasa-biasa sajalah. Menjadi manusia, sebagaimana manusia sewajarnya.
Adapun revolusi digital mungkin terjadi tak lama lagi dengan atau tanpa kita ikuti atau geluti. Nyaris pada semua belahan dunia, sedang memformulasi hingga suatu saat detak digital itu terhenti: shutdown. Terjadi bigbang, secara eskatologik: kiamat. Sebelum semuanya terjadi fase revolusi digital pasti merambah dunia yang kini telah mewabah. Dimana-mana digital, semua serbadigital. Digital itu virtual, digital mengonversi manual. Kendati, informasi bisa fatal, bila kebablasan.
Dalam artikel Donny B.U dan Adya NisitabertajukLiterasi Digital, Kerja Bersama Melawan Kepicisan menyatakan “Literasi digital sejatinya adalah kerja bersama pada sisi hulu, membangun kemampuan berpikir kritis (critical thinking) masyarakat agar mereka lebih imun terhadap dampak ‘virus jahat’ informasi. Terlebih ketika virus tersebut memang tak dapat serta merta mudah dihilangkan. Adapun untuk menghadapi aktor utama pembuat dan/atau penyebaran hoaks misalnya, tentu adalah kerja-kerja kolaborasi lanjutan di sisi hilir berupa aksi dan langkah penegakan hukum oleh pemerintah bersama aparat penegak hukum.” (kumparan.com, 3 April 2019).
Informasi sejatinya tepat, akurat dan bermanfaat. Mengapa? bila tidak tepat, tidak akurat, dan tidak bermanfaat, maka perkembangan teknologi pula bisa mengukur, menakar dan mengonfirmasinya. Pada masa mendatang, seiring kesadaran komunal netizen yang telah melek teknologi, informasi hoaks tak mendapatkan pangsa pasarnya. Hoaks hanya menjadi semacam “ruang gelap yang telah diketahui” dan secara komunal pula dipersepsi sebagai kelakuan buruk peradaban literasi.
Oleh karenanya, sebagai netizen, kita berhak melakukan pencerahan literasi. Pencerahan yang memungkinkan semua elemen, semua subyek, serta semua netizen, menikmati revolusi industrial informasi sebagai wahana memudahkan dimensi kehidupan. Sekeliling waktu kita pun, tak lepas dari industrial informasi: gawai. Selamat bergawai dengan sehat dan saling memudahkan. Abaikan informasi hoaks. Netizen akurat dan eminen, memanfaatkan informasi yang benar. Ibarat, kita panen di areal perkebunan. Mari nikmati “petik-petik” informasi sesuai etik. Sharing yang penting, dengan menyaringnya, bukan yang penting segala sharing. Kutip sadur terlisensi dengan semringah. Bermanfaat demi kepentingan khalayak, pro bono publico.
* Penulis adalah Pegawai Dinas Kominfotik Provinsi NTB