Opini

Siasat Istana Menjerat Desa

Oleh: A Fattah, Peneliti Taman Filsafat Metajuridika

Demonstrasi ratusan kepala desa pada Senin 16 Januari lalu mengejutkan publik. Diantara berbagai masalah desa, aksi itu justru menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa.

Sikap pemerintah dan DPR yang benar-benar serius ingin mewujudkan tuntutan itu tak kalah mengejutkan. Teranyar, DPR tengah merampungkan persiapan revisi UU Desa untuk segera dimasukan menjadi prolegnas pada Maret 2023. Sungguh ini langkah serampangan.

Negara seharusnya membuka kanal demokratis (demokrasi deliberatif) dan penyerapan aspirasi masyarakat luas, bukannya malah dengan naif menerima begitu saja tuntutan itu. Ratusan kepala desa yang melakukan demonstrasi belum tentu mewakili 81 ribu kepala desa di Indonesia.

Sekalipun diwakili, tuntutan itu tidak lahir dari kehendak masyarakat desa. Malah, boleh jadi mayoritas masyarakat desa menentang tuntutan perpanjangan masa jabatan. DPR dan istana tidak memberikan edukasi apapun tentang ketentuan konstitusi dan esensi sirkulasi kekuasaan dalam sistem demokrasi, yang dipamerkan justru kepandiran.

IKLAN

Presiden menyetel ‘lampu hijau’, seolah tuntutan apapun dapat diakomodir sebagai hak demokratis, tanpa peduli dasar dari tuntutan menabrak konstitusi dan bertentangan dengan sistem demokrasi itu sendiri. Tapal batas demokrasi dibuat kabur, tidak sekali presiden mentolerir tuntutan semacam itu.

Filsafat kritis mahzab Frankfurt mengungkap bahwa pikiran tidak kalis bahkan selalu digerakan oleh kepentingan terselubung. Setidaknya ada dua skenario yang melatari demonstrasi itu. Pertama demonstrasi itu boleh jadi sengaja direkayasa oleh kekuasaan demi transaksi politik lancung. Kedua, demonstrasi itu adalah buah dari upaya miring kekuasaan yang belakangan memobilisasi dukungan terhadap wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

Sejumlah bukti atas dua kemungkinan skenario itu akan diuraikan. Pertama, pola mobilisasi kepala desa demi kepentingan elit penguasa dalam Pilpres pernah terjadi pada pemilu 2019. Kurang dari dua bulan sebelum pemilu, Menteri Dalam Negeri memanggil sekitar 3000 kepala desa ke pusat untuk agenda “memantapkan” program pembangunan desa di periode pemerintahan Jokowi. Alhasil, Jokowi-Ma’ruf memenangi pemilihan presiden 2019. (Baca: Koran Tempo edisi 23 januari)

Amat mungkin hal yang serupa terulang. Jokowi yang diusung oleh PDIP sebagai partai terbesar, hendak melanggengkan dominasi kekuasaan dan calon presiden yang kelak diusung pada pemilihan umum 2024 dengan mengamankan suara di tataran lokal melalui kepala desa yang diiming-imingi perpanjangan masa jabatan.

Asri Anas, Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (MPO Apdesi) bahkan mengonfirmasi bahwa petinggi PDIP macam Hasto Kristiyanto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar hingga Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar kerap melayangkan isu perpanjangan masa jabatan kepala desa hingga 9 tahun.

Penghembus isu perpanjangan masa jabatan kepala desa inilah yang seharusnya dicatat dan diingat oleh publik. Mereka adalah elit-elit terpelajar, yang menggunakan keterpelajaran dan kekuasaannya untuk mengangkangi konstitusi, merusak demokrasi dengan cara paling picik, yakni memanfaatkan kepala desa.

Kedua, demonstrasi itu akibat dari teladan buruk Presiden. Jokowi kerap menghembuskan wacana perpanjang masa jabatan presiden hingga penundaan pemilu. Masih segar dalam ingatan, siasat istana memanfaatkan kepala desa demi wacana bulus perpanjangan masa jabatan presiden dalam agenda Silaturahmi Nasional di Istora Senayan pada 29 maret 2022 lalu.

Pertemuan yang bertajuk silaturahmi itu malah dipenuhi spanduk dan pekikan dukungan tiga periode presiden. Bagaimanapun, demonstrasi para kepala desa itu adalah ekses negatif dari upaya inkonstitusional istana. Padahal, berabad abad lalu Cicero sudah memperingatkan bahwa “Plus exemplo quam peccato nocent” atau teladan buruk lebih merusak ketimbang dosa. (Budiono Kusumohamidjojo, 2016: 88)

Bila presiden memberi teladan baik, yakni ketaatan pada konstitusi, penghormatan pada demokrasi serta ketundukan pada hukum, maka demonstrasi yang menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa itu tidak akan pernah terjadi. Para kepala desa belajar banyak dari presiden yang hendak menunda pemilu, memperpanjang masa jabatan dan menabrak hukum dengan menerbitkan Perpu Cipta Kerja.

Selain dua skenario itu, berlaku juga skenario ketiga. Demonstrasi itu adalah rekayasa elit istana sekaligus akibat dari teladan buruk Presiden Jokowi. Bahaya laten bagi negara hukum demokratis.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button