NTB Masuk Tiga Besar Provinsi dengan Upah Buruh Terendah 2025
Mataram (NTBSatu) – Provinsi NTB kembali mendapat perhatian publik setelah data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025 menempatkannya pada posisi ketiga, provinsi dengan rata-rata upah buruh terendah secara nasional.
Posisi ini muncul akibat nilai upah pekerja yang hanya mencapai Rp2.569.181, angka yang jauh tertinggal dari banyak wilayah lain di Indonesia.
Selanjutnya, grafik penilaian tersebut memperlihatkan tantangan besar bagi pekerja NTB. Pendapatan yang belum mampu mengikuti kebutuhan hidup menekan daya beli masyarakat.
Pemerintah daerah perlu mengambil langkah strategis, agar pekerja mampu menikmati penghasilan yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi regional.
Kemudian, di tingkat nasional ketimpangan upah antarwilayah semakin terlihat jelas. Provinsi dengan basis industri kuat menawarkan pendapatan lebih tinggi. Sebaliknya, daerah yang bergantung pada sektor agraris mencatat upah lebih rendah dan lebih sulit mengejar standar pendapatan layak.
10 Provinsi dengan Upah Buruh Terendah 2025
Melansir Instagram @Goodstats.id, BPS mencatat sepuluh provinsi dengan rata-rata upah buruh terendah pada 2025 sebagai berikut:
1. Lampung – Rp2.520.619;
2. Jawa Tengah – Rp2.528.470;
3. Nusa Tenggara Barat (NTB) – Rp2.569.181;
4. Nusa Tenggara Timur (NTT) – Rp2.674.136;
5. Sulawesi Barat – Rp2.698.528;
6. Sumatra Utara – Rp2.815.066;
7. Aceh – Rp2.837.520;
8. Jawa Timur – Rp2.899.074;
9. Sumatra Barat – Rp2.911.450;
10. Gorontalo – Rp2.911.813.
Lampung menempati posisi pertama karena perekonomian daerah tersebut masih bergantung pada sektor agraris dengan produktivitas rendah. Jawa Tengah yang berada pada posisi kedua menghadapi tekanan serupa karena banyak pekerja belum masuk sektor berupah tinggi.
Selanjutnya, NTB yang menempati posisi ketiga menunjukkan bahwa transformasi ekonominya masih berjalan lambat. Sektor industri belum berkembang luas sehingga pekerja belum memperoleh pendapatan yang mampu meningkatkan kesejahteraan secara signifikan.
Rentang upah antarprovinsi yang tidak berbeda jauh menggambarkan bahwa persoalan upah rendah muncul secara merata di berbagai wilayah, bukan hanya terfokus pada satu kawasan. (*)



