LIPSUS – Habis Manis, Honorer Dibuang

Pemprov NTB belum berdaya menghadapi kebijakan pemerintah pusat yang berdampak ancaman Pemutusan Hubungan Kerja 518 Honorer. Saat skenario penyelamatan sedang dikaji, jalan keluar Badan Kepegawaian justru mendorong mereka ke jurang pilihan sulit. Ibarat pepatah, habis manis, sepah dibuang.
———————-
Kening ARA berkerut saat baru keluar dari salah satu ruangan Kepala Bidang (Kabid) pada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi NTB. Map hijau kusut yang tadi ia sodorkan ke Kabid itu, ia masukkan kembali ke ransel. Masih terngiang kalimat pejabat yang baru saja ia temui.
Setelah gagal lolos PPPK paruh waktu di salah satu SMK PP di Bima, ia masih berharap terakomodir dalam skenario “penyelamatan”. Itu pun jika 518 honorer yang terancam PHK ada solusinya.
“Sudah banyak yang datang ke saya. Masalahnya sama. Saya sarankan sebaiknya ke Dinas Pertanian. Kalau di sini, hanya menerima usulan dari dinas,” ujar ARA mengutip pejabat itu.
Terpental Dugaan Nepotisme
Usulkan untuk verifikasi pada BKD adalah setoran berjenjang dari dinas, berdasarkan usulan dari kepala sekolah setempat.
“Nah, Anda pasti tahu, kenapa ndak ada usulan dari sekolah ke dinas. Itu ndak perlu saya jelaskan,” ujar pejabat itu lagi.
ARA potret korban “telikung” praktik nepotisme. Ia sudah mengabdi empat tahun, namun yang lolos PPPK adalah keluarga dari pejabat struktural di sekolahnya.

Jika kali ini terpental, lengkap sudah ujian ARA. Gagal lolos tes CPNS, gagal kedua saat seleksi PPPK paruh waktu. Kali ini kegagalan itu karena faktor nepotisme internalnya.
Pengorbanannya menempuh 18 jam perjalanan darat dari Bima ke Mataram, terancam sia sia jika Dinas Pertanian mengabaikannya. Padahal ia honorer yang masuk kategori R4 dengan masa pengabdian empat tahun sejak 2021.
Nasib 518 Honorer
Berdiri megah di tengah pusat Kota Mataram. Kantor Gubernur NTB di Jalan Pejanggik, kini menampung ribuan pegawai. Ada pegawai dengan status Aparatur Sipil Negara (ASN). Keberadaan mereka sudah ada jaminan negara. Ada juga pegawai honorer dengan pendapatan belum menentu.
Kantor itu menjadi pusat pemerintahan Provinsi NTB. Banyak yang menitip harapan di sudut-sudut bangunan megah itu. Di antaranya 518 honorer Pemprov NTB menunggu kepastian pengangkatan PPPK paruh waktu.
Kabar pengangkatan honorer menjadi PPPK paruh waktu adalah kabar gembira bagi sebagian orang.
Namun, mimpi buruk bagi 518 honorer yang ada di Pemprov NTB. Mereka tidak terakomodir dalam pengusulan PPPK paruh waktu. Alasannya, terkendala aturan pusat.

Harapan mereka sederhana, bisa terangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu. Pertama, ingin selamat dari ancaman PHK. Kedua, agar nasibnya lebih terjamin.
Sejumlah honorer sebenarnya ingin “berteriak”, memperjuangkan nasibnya. Bertahun tahun mengabdi di ruang kerja dan lapangan, dengan harapan suatu saat nanti pemerintah menetapkan mereka dengan status yang pasti.
Tapi mereka sadar, posisinya lemah. Kapan saja sistem bisa menendang mereka, apalagi saat ini nasibnya di ujung tanduk.
Mimpi Buruk SK Menteri
Sama dengan ARA, salah satu honorer Dinas Ketahanan Pangan (DKP) NTB, mengaku kaget tidak bisa lolos PPPK paruh waktu.
Padahal skema ini merupakan kesempatan terakhir bagi tenaga honorer. Setelah kebijakan penghapusan status honorer per 2023.
Belasan tahun mengabdi, kini ia masuk gerbong PHK. Sempat mengikuti seleksi CPNS beberapa waktu lalu, namun tidak lolos.
Sama dengan yang lain, kegagalan ini membuatnya terjegal jadi PPPK paruh waktu. Sebab aturannya, bagi yang mengikuti seleksi CPNS, tidak terakomodir PPPK paruh waktu. Pasalnya, namanya tidak terdata dalam sistem database Badan Kepegawaian Negara (BKN). Ini sesuai Peraturan Kemen PAN RB Nomor 15 Tahun 2025, tentang tata cara pengangkatan PPPK paruh waktu.

“Kita maunya ada kebijakan baru lagi tahun depan. Kita tetap berharap sama pemerintah, ada kebijakan lagi. Apalagi saat ini kan cari kerja cukup sulit,” ujarnya, Kamis, 25 September 2025.
Daerah pun tidak bisa berbuat banyak, tidak bisa menerobos aturan pusat di tengah kondisi fiskal yang tidak baik-baik saja.
Namun, bagi para honorer, kenyataan itu adalah hantaman keras. ibarat pepatah, habis manis sepah dibuang.
Mereka yang sudah lama mengabdi, sebagian besar tanpa jaminan kesehatan, tanpa kepastian karier, dan dengan gaji minim, kini di hadapan mereka jurang PHK menganga.
Jebakan Batman Tes CPNS
Pengangkatan honorer menjadi PPPK paruh waktu aturannya jelas. Lolos jadi tenaga honorer jika memenuhi syarat administrasi.
Di antaranya, tidak memenuhi syarat seleksi administrasi PPPK tahap 1, tidak memenuhi syarat seleksi administrasi CPNS, honorer yang belum pernah melamar CASN, memenuhi syarat tetapi tidak mengikuti seleksi CPNS. Serta, memenuhi syarat tetapi tidak mengikuti seleksi PPPK tahap 1.
Honorer merasa ini sebagai jebakan batman. Mereka tergiur ikut seleksi CPNS. Namun ketika ingin kembali, mereka terperangkap aturan KemenPAN RB.
Perasaan mereka semakin terluka, karena tidak ada informasi apapun terkait kepegawaian dari Pemprov NTB. Jika pemerintah terbuka, maka ia memilih tak ikut seleksi CPNS.
“Kalau kita tahu informasi yang jelas, tidak mungkin kita ikut CPNS. Pasti kita tunggu tes PPPK saja,” ujarnya. Rasa kagetnya belum usai, mengetahui dia masuk daftar 518 orang yang berpotensi putus kontrak.
Ia berharap, Pemprov seharusnya bisa memberikan solusi permanen untuk honorer. Memohon agar tidak jadi korban PHK, seperti yang menimpa pekerja swasta. Apalagi masih banyak tanggungan yang ia tunaikan.
“Honorer Pemprov ini masuk sesuai prosedur dan memiliki Surat Keputusan (SK) tenaga di Pemprov NTB. Jadi, kami mohon untuk dicarikan solusinya dan tidak di PHK,” katanya.
“Tamparan” dari Kepegawaian
Nada suara salah seorang honorer di Pemprov NTB bergetar menahan emosi. Ia curhat di ujung telepon. Kaget namanya tidak masuk dalam daftar ribuan nama yang masuk usulan PPPK paruh waktu.
Kasusnya sama dengan honorer sebelumnya, gagak terakomodir karena mengikuti seleksi CPNS dan tidak lolos. Sehingga, namanya tidak terdaftar dalam database BKN.
Bagi perempuan asal Kota Mataram ini, keputusan tersebut tidak masuk akal. Pasalnya, selama ini tidak ada informasi dari pihak terkait.
“Pemerintah tidak mengakomodir kami dengan baik. Dari BKD sendiri tidak ada pengumuman kepada semua tenaga kontrak untuk mengikuti PPPK,” sesalnya.

Setelah gagal tes CPNS, ia lantas berkonsultasi ke BKD NTB. Menanyakan nasib 518 honorer yang tidak terakomodir masuk PPPK Paruh Waktu.
Namun, hingga kini BKD belum memberikan solusi. Malah, mereka meminta ratusan honorer itu untuk mencari pekerjaan pengganti. Kalimat yang sama meluncur dari pejabat BKN saat bertandang ke Pemprov NTB.
“Kami tetap berpegang pada aturan, yang ikut persyaratan bisa (kita akomodir jadi PPPK Paruh Waktu). Kalau yang tidak memenuhi persyaratan, ya terpaksa harus mencari pekerjaan lain,” tegas Kepala Kantor Regional X BKN Denpasar, Satya Pratama, Selasa, 16 September 2025.
“Ruang-ruang pekerjaan masih ada sepanjang cepat cari informasi. Sudah ada juga yang mulai beralih profesi,” ujar Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) NTB, Tri Budiprayitno lima hari sebelumnya.
Kalimat ini terasa jadi tamparan bagi para honorer yang nasibnya di ujung tanduk.
“Saya kaget, jawabannya tidak menenangkan sekali. Karena memang kan dari awal tidak ada omongan dari BKD untuk semua honorer yang bekerja di instansi pemerintah alangkah baiknya untuk tidak mengikuti PPPK, jangan CPNS. Tapi kan tidak ada di awal,” kata honorer tadi.
Di tengah pendapatan tak menentu, justru dapat saran mencari pekerjaan lain. Ia mengeluh, memikirkan betapa sulitnya mencari pekerjaan di tengah kondisi sekarang ini.
“Sangat tertampar dan sedih banget saat mendengar kabar itu. Apalagi saya masih memiliki tanggungan adik-adik saya. Otomatis kalau benar di PHK, pasti pendapatan kita juga hilang,” ungkapnya.
Harap Setitik Harapan
Meski pahit, ia masih menyimpan harapan. Ia berharap ada kebijakan baru yang lebih manusiawi dari pimpinan daerah.

“Tolong jangan hanya hitung 518 orangnya, tetapi kalikan bagi mereka yang punya keluarga anak. Sudah berapa yang rugi itu,” ujarnya.
Kembali ia berharap, agar Gubernur NTB, Lalu Muhammad Iqbal, mengakomodir semua tenaga honorer yang ada. Tanpa ada yang menangis dan tertawa.
Honorer lain yang sudah mengabdi selama tujuh tahun mengaku sangat menyayangkan tindakan BKD yang hanya mengusulkan 9.466 tenaga kontrak.
Dia merasa tersisih karena tidak masuk daftar calon PPPK Paruh Waktu. Padahal, setelah mengetahui tidak lolos CPNS tahun anggaran 2024, dia mencoba untuk mendaftar PPPK tahap dua. Namun tidak bisa karena akunnya terblokir.
“Gara-gara itu kita tidak bisa daftar di tahap dua. Jadi sayang sekali,” lanjutnya.
Pada akhirnya, nasib 518 tenaga honorer yang tidak masuk PPPK paruh waktu, belum jelas. Antara diberhentikan atau dipertahankan.
Hal yang menggelayut di benak Gubernur NTB, Lalu Muhammad Iqbal saat ini, mencari solusi agar kebijakan pusat tidak menimbulkan gejolak di daerah.
“Kita sedang membahas kebijakan terbaik dalam minggu-minggu ini,” ujar Gubernur NTB, Rabu, 17 September 2025.
Ia menegaskan, dalam hal kepegawaian, seluruh kebijakan adalah kewenangan pusat, provinsi hanya mengeksekusi. “Namun sebelum itu, kami tetap membuat pertimbangan dan pembahasan dengan melihat situasi yang ada,” imbuhnya.
Skenario Penyelamatan
Kendati demikian, ada tiga skenario penyelamatan tenaga honorer agar terakomodir sebagai penerima SK.
Pertama, Pemda mampu membiayai mereka dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), karena pusat sudah melarang pengangkatan honorer.
Kedua, instansi masih membutuhkan tenaga honorer tersebut, sehingga pilihannya mempertahankan dengan status honorer.
Ketiga, menggunakan skema penjaringan melalui Outsourcing atau pekerja lepas.
Namun belum ada keputusan dari tiga skenario ini. Pertimbangannya kondisi fiskal daerah, manfaat, dan mudaratnya. Artinya, ke depan jangan sampai pemerintah menggaji pegawai tersebut, tetapi kerjanya malah nganggur.
Dari tiga skenario ini, Gubernur NTB, Lalu Muhammad Iqbal belum punya gambaran apapun. Saat ini masih mencari solusi agar kebijakan pusat tidak menimbulkan gejolak di daerah.
“Kita sedang membahas kebijakan terbaik dalam minggu-minggu ini,” ujar Gubernur NTB, Rabu, 17 September 2025.
Dalam teori ketenagakerjaan, job security adalah pondasi produktivitas. Tenaga kerja yang memiliki kepastian kerja cenderung lebih fokus, loyal, dan berkinerja baik. Sebaliknya, mereka yang bekerja dengan status rapuh mudah di-PHK, tidak ada jaminan sosial, upah rendah akan terjebak dalam siklus insecurity.
Realitas Honorer di NTB
Mahasiswa Megister Ekonomi Unram, Irwan menulis, teori ekonomi ketenagakerjaan mengenal istilah job security atau pondasi produktivitas. Tenaga kerja yang memiliki kepastian kerja cenderung lebih fokus, loyal, dan berkinerja baik. Sebaliknya, mereka yang bekerja dengan status rapuh mudah di-PHK, tidak ada jaminan sosial, upah rendah akan terjebak dalam siklus insecurity.

Itulah anomali yang terjadi pada 518 honorer di Pemprov NTB. Menunjukkan wajah negara yang lebih sering hadir sebagai pengatur administrasi daripada pelindung rakyat. Honorer yang tidak tercatat dalam database diperlakukan seolah tidak pernah ada.
Lima Rekomendasi Solusi
Kasus di NTB ini memberi pelajaran bahwa masalah honorer tidak bisa diselesaikan dengan tambal sulam. Menurut Irwan, ada beberapa langkah mendesak yang harus ditempuh pemerintah:
- Integrasi Data Honorer Nasional
Seluruh tenaga honorer harus diverifikasi ulang dan dicatat secara transparan. Tidak boleh ada lagi pekerja yang “hilang” hanya karena kesalahan administratif.
- Regulasi Afirmasi bagi Guru Swasta dan Ponpes
Pemerintah pusat, terutama Kementerian Agama, harus mengeluarkan regulasi atau Keppres yang membuka akses seleksi PPPK bagi guru swasta dan pesantren dengan standar seleksi yang adil dan realistis.
- Skema Transisi dan Safety Net
Bagi honorer yang tidak bisa langsung diangkat PPPK, harus ada jaminan transisi berupa pelatihan ulang, sertifikasi, hingga skema outsourcing yang manusiawi dengan perlindungan upah dan jaminan sosial.
- Reorientasi Anggaran SDM
Pemerintah daerah harus memandang pengangkatan honorer bukan semata beban belanja pegawai, melainkan investasi SDM jangka panjang. Dukungan fiskal dari pusat perlu diarahkan untuk menjamin hal ini.
- Transparansi dan Partisipasi Publik
Proses seleksi PPPK harus terbuka dan bisa diawasi publik. DPRD, organisasi guru, dan masyarakat harus dilibatkan agar tidak ada diskriminasi baru yang lahir. (*)