BERITA LOKALDaerah NTB

Eks Gubernur NTB Ungkap Paradoks Pertumbuhan Ekonomi Maluku Utara dan NTB

Mataram (NTBSatu) – Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) memunculkan perbincangan hangat.

Kali ini pertumbuhan ekonomi dari dua daerah tambang terbesar di Indonesia, Maluku Utara dan NTB menjadi sorotan.

Provinsi Maluku Utara mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 32,09 persen (year on year) tertinggi di Indonesia dan jauh melampaui rata-rata nasional sebesar 5,12 persen.

Di sisi lain, Nusa Tenggara Barat (NTB) justru mencatat kontraksi sebesar minus 0,82 persen, menempatkannya sebagai provinsi dengan pertumbuhan terendah kedua setelah Papua Tengah.

Bagi sebagian pihak, data ini menjadi tolok ukur sederhana untuk menilai keberhasilan pembangunan di daerah.

Namun, bagi Zulkieflimansyah, dosen Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sekaligus Gubernur NTB periode 2018–2023, angka pertumbuhan yang tinggi tidak serta-merta mencerminkan kesejahteraan masyarakat.

“Banyak yang beranggapan, jika pertumbuhan ekonomi naik, maka rakyat otomatis lebih makmur. Padahal, tidak selalu demikian,” ujarnya.

Kue Pembangunan dan Soal Siapa yang Menikmati

Zulkieflimansyah mengibaratkan perekonomian daerah seperti “kue pembangunan”.

Pertumbuhan ekonomi, menurutnya, hanyalah ukuran seberapa besar kue itu membesar dari tahun ke tahun.

“Jika Maluku Utara tumbuh 32 persen, berarti kue ekonominya memang bertambah besar. Sementara kontraksi NTB sebesar minus 0,82 persen menandakan ukuran kuenya sedikit mengecil,” tulisnya dalam unggahan Facebook @bangzulzulkieflimansyah, Jumat, 24 Oktober 2025.

Namun, yang lebih penting dari ukuran kue tersebut adalah siapa yang menikmatinya

“Tidak ada gunanya kue pembangunan membesar 32 persen jika sebagian besar yang nikmati satu atau dua perusahaan besar,” tegasnya.

Dalam kerangka ekonomi pembangunan, situasi itu disebut pertumbuhan yang tidak berkualitas.

Pertumbuhan tinggi di atas kertas, tetapi manfaatnya hanya berputar di lingkaran sempit pemilik modal. Akibatnya, masyarakat luas tetap tidak merasakan perubahan berarti.

Menakar Makna Pertumbuhan Berkualitas

Bagi Zulkieflimansyah, pertumbuhan ekonomi yang ideal adalah pertumbuhan yang inklusif dan berkeadilan. Pertumbuhan semacam ini bukan hanya memperbesar kue ekonomi, tetapi juga memastikan potongannya terbagi secara proporsional.

“Bayangkan jika pemerintah daerah berani mengatakan, kue pembangunan kita memang kecil, tapi mari kita nikmati bersama secara adil, agar semua kebagian manfaatnya. Itulah pembangunan yang membawa keberkahan,” ujarnya.

Ia menilai, keberhasilan pembangunan tidak ditentukan besarnya angka pertumbuhan, melainkan oleh sejauh mana hasil pembangunan dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat.

Pertumbuhan yang kecil namun merata, katanya, lebih bermakna daripada pertumbuhan besar yang timpang.

Hilirisasi Sebagai Jalan Panjang

Zulkieflimansyah menegaskan, pembangunan ekonomi yang berkualitas tidak dapat tercapai dalam waktu singkat.

Perlu proses panjang melalui industrialisasi dan hilirisasi, agar sumber daya lokal tidak berhenti pada tahap ekstraksi, melainkan mengolahnya untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi.

“Jalan menuju ekonomi yang tangguh dan berkeadilan memang tidak mudah, namun hanya dengan memperkuat industrialisasi, manfaat ekonomi bisa masyarakat rasakan lebih luas dan berkelanjutan,” katanya.

Menurutnya, orientasi pembangunan yang terlalu berfokus pada angka pertumbuhan justru menutup mata terhadap esensi utama. Yakni pemerataan manfaat dan keberlanjutan jangka panjang.

Belajar Memahami Angka dengan Lebih Dewasa

Menutup pandangannya, Zulkieflimansyah mengingatkan, data ekonomi seharusnya dibaca dengan nalar yang tenang dan pemahaman yang utuh.

“Kegaduhan sering muncul karena kita terburu-buru menilai sesuatu tanpa memahami konteks di balik angka-angka itu,” ujarnya.

Ia mengajak publik untuk lebih bijak melihat makna pertumbuhan ekonomi, bukan sebagai perlombaan angka, melainkan sebagai upaya bersama mewujudkan pemerataan dan kesejahteraan yang berkeadilan.

“Pertumbuhan tinggi belum tentu membawa kesejahteraan. Sebaliknya, kontraksi kecil belum tentu menandakan kegagalan. Yang paling penting adalah bagaimana manfaat pembangunan bisa dirasakan secara nyata oleh seluruh rakyat,” pungkas Pendiri Universitas Teknologi Sumbawa (UTS) itu. (*)

Berita Terkait

Back to top button