Daerah NTB

Program Perhutanan Sosial Sumbang Rp64,95 Miliar untuk Ekonomi NTB

Mataram (NTBSatu) – Program Perhutanan Sosial di Nusa Tenggara Barat (NTB) menyumbang nilai ekonomi sebesar Rp64,95 miliar pada 2024.

Capaian ini menjadi indikator meningkatnya peran masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan, yang selama bertahun-tahun lebih sering diposisikan sebagai ruang lindung ketimbang sumber penghidupan.

Kontribusi ekonomi tersebut berasal dari pengelolaan kawasan seluas 76.371,90 hektare atau sekitar 29,18 persen dari total areal Perhutanan Sosial di NTB.

Ratusan kelompok masyarakat kini terlibat dalam berbagai skema pengelolaan. Mulai dari Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, hingga kemitraan kehutanan.

Meski demikian, pemerintah daerah menilai keberlanjutan program ini masih menghadapi tantangan. Terutama terkait pola tanam masyarakat yang belum sepenuhnya sejalan dengan prinsip kelestarian hutan. Jagung masih menjadi komoditas dominan, karena cepat menghasilkan pendapatan, meskipun dampaknya terhadap kondisi lahan kerap terabaikan.

Kepala Bidang Planologi dan Produksi Hutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB, Burhan Bono mengatakan, pilihan terhadap jagung tidak sepenuhnya keliru dari sudut pandang ekonomi jangka pendek. Namun, ketergantungan berlebihan pada satu komoditas berisiko menurunkan daya dukung kawasan hutan.

“Jagung cepat panen dan langsung menghasilkan uang. Tetapi jika kita tanam terus-menerus, dampaknya bisa menurunkan kualitas lahan dan fungsi kawasan,” kata Burhan, Sabtu, 13 Desember 2025.

Pemda Dorong Penerapan Pola Agroforestri

Pemerintah daerah mendorong penerapan pola agroforestri sebagai alternatif yang lebih seimbang. Pola ini mengombinasikan tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian agar manfaat ekonomi tidak berhenti pada satu musim tanam.

Burhan mencontohkan, satu hektare lahan dengan tanaman kombinasi kemiri, alpukat, lengkeng, dan jagung berpotensi menghasilkan pendapatan hingga Rp111,5 juta per tahun. Jauh lebih tinggi jika membandingkan dengan pola tanam jagung tunggal. Selain meningkatkan pendapatan, diversifikasi tanaman juga lebih mampu menjaga kesuburan tanah dan ketersediaan air.

Data DLHK NTB mencatat terdapat 438 kelompok Perhutanan Sosial yang melibatkan sekitar 50.286 kepala keluarga. Namun, pemerintah daerah menilai tantangan ke depan tidak lagi terletak pada perluasan izin pengelolaan. Melainkan pada perubahan cara pandang masyarakat terhadap hutan.

“Hutan tidak bisa diperlakukan hanya sebagai ruang produksi jangka pendek. Jika kita kelola dengan pendekatan yang tepat, hutan bisa menjadi sumber ekonomi yang berkelanjutan,” pungkas Burhan. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button