ADVERTORIALPemerintahan

Krisis Lahan Kritis dan Deforestasi, NTB Genjot Peran KPH sebagai Garda Konservasi

Mataram (NTBSatu) – Upaya perbaikan kondisi hutan di Nusa Tenggara Barat memasuki babak baru yang lebih optimistis.

Pemerintah Provinsi melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) memperkuat fondasi pengelolaan hutan dengan menghadirkan model kerja yang lebih kolaboratif dan berbasis pemberdayaan masyarakat.

Momentum ini mendapat dorongan besar melalui penyusunan Renstra DLHK 2025–2029 yang menempatkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai tulang punggung konservasi sekaligus penggerak ekonomi hijau.

NTB memiliki modal ekologis yang kuat, mulai dari luas hutan primer mencapai 304.383 hektare hingga hutan sekunder seluas 542.591 hektare. Selain menjadi penyangga air dan iklim, kawasan hutan juga menyimpan potensi ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan desa-desa sekitar. Pemerintah melihat peluang besar untuk mengubah tantangan menjadi kekuatan baru melalui tata kelola hutan yang lebih adaptif.

Plt Kepala DLHK NTB, Ir. Ahmadi, mengatakan NTB masih menghadapi persoalan serius. Lahan kritis yang tercatat mencapai 578.645 hektare memperlihatkan tekanan jangka panjang terhadap tutupan lahan. Kabupaten Bima menjadi wilayah dengan lahan kritis paling luas, sementara Sumbawa menempati posisi tertinggi untuk kategori di luar kawasan hutan.
Kondisi ini terjadi akibat berbagai faktor mulai dari perambahan, pola pengelolaan lahan yang tidak konservatif, hingga perubahan iklim yang memperburuk kerentanan kawasan.

Ia menilai penguatan KPH merupakan langkah strategis dalam menjawab tekanan tersebut.

“KPH berada di garis depan pengelolaan hutan. Mereka bukan hanya penjaga kawasan, tetapi motor penggerak ekonomi hijau. Potensi HHBK seperti madu, rotan, bambu, kopi hutan hingga jasa wisata alam bisa memberi nilai tambah bagi masyarakat tanpa merusak hutan,” ujarnya, Jumat, 5 Desember 2025.

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) kembali diposisikan sebagai alternatif penghidupan yang lebih berkelanjutan. Sejumlah KPH diarahkan mengembangkan hilirisasi produk hutan rakyat dan hutan negara melalui pendampingan intensif kepada Kelompok Tani Hutan (KTH). Potensi ekowisata hutan juga ikut digarap, terutama pada kawasan yang memiliki keunikan flora-fauna maupun budaya lokal.

Program agroforestry menjadi strategi penting dalam memperbaiki lahan kritis. Harapannya, model tanam campuran antara pohon hutan, tanaman pangan, dan peternakan, bisa memulihkan kualitas tanah sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat. Lahan kering mendominasi di NTB, mencapai 80 persen dari total, menjadikan agroforestry sebagai solusi yang sangat relevan.

Rancang Penguatan Kapasitas KPH

DLHK akan merancang penguatan kapasitas KPH menyentuh aspek teknis hingga manajerial. Ahmadi menekankan perlunya SDM yang mampu membaca dinamika lapangan yang kian kompleks.

“KPH harus bergerak dengan pendekatan baru. Tantangan perubahan iklim, kebakaran hutan, hingga tekanan ekonomi desa hutan membutuhkan pengelolaan yang lebih responsif,” tuturnya.

DLHK memperluas kerja sama dengan pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga riset, dan dunia usaha. DLHK akan menyusun program rehabilitasi, patroli kawasan, serta pemberdayaan KTH secara lebih terukur dan berbasis data. Juga mempersiapkan skema pendanaan lingkungan untuk mempercepat pemulihan kawasan yang terdegradasi.

“Serangkaian langkah ini menjadi dasar penguatan posisi NTB dalam membangun kehutanan yang produktif sekaligus lestari. Pemerintah bertekad menjadikan KPH sebagai pusat inovasi yang mampu mengawal masa depan hutan NTB secara lebih kokoh, inklusif, dan berkelanjutan,” pungkas Ahmadi. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button