OpiniWARGA

Dari Bencana ke Belanja, Menelusuri Jejak Politik Anggaran BTT NTB

Oleh : Aditia Saputra – Aktivis HMI MPO Cabang Mataram

Belanja Tak Terduga (BTT) sejatinya dirancang sebagai instrumen cepat pemerintah daerah dalam merespons keadaan darurat, bencana alam, krisis kesehatan, atau kejadian luar biasa. Namun di Nusa Tenggara Barat (NTB), makna “darurat” tampak bergeser. BTT kini lebih sering digunakan untuk menyelamatkan wajah birokrasi dari pada menyelamatkan rakyat yang tertimpa bencana.

Berdasarkan data APBD NTB 2025, alokasi BTT mencapai Rp500 miliar. Dana sebesar itu semestinya menjadi penopang utama ketika banjir melanda Bima, longsor di Dompu, atau kekeringan menimpa Pulau Sumbawa. Namun, dua kali pergeseran melalui Peraturan Gubernur (Pergub) membuat dana tersebut terkuras menyisakan hanya sekitar Rp16 miliar.

Pertanyaan publik mengemuka, bencana apa yang sedang ditangani, atau kepentingan siapa yang sedang diselamatkan?.

Padahal, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 dengan tegas menyebutkan BTT hanya boleh digunakan untuk kejadian tak terduga, bukan untuk menutupi kewajiban proyek atau membayar tunggakan. Sayangnya, pola penggunaan BTT di NTB justru menunjukkan gejala penyimpangan fungsi.

Dalam opininya di Tirto.id (2025), Fadli Zon menilai lemahnya pengawasan DPRD terhadap penggunaan anggaran merupakan bentuk kompromi politik. Ketika lembaga legislatif abai, eksekutif pun leluasa menggeser dana tanpa transparansi yang memadai. Maka, BTT bukan lagi “dana penyelamat rakyat”, melainkan dana penyelamat kebijakan.

NTB kini dikenal sebagai salah satu daerah dengan frekuensi tertinggi dalam pergeseran anggaran melalui Pergub. Dua kali revisi besar dalam BTT 2025 memperlihatkan betapa mudahnya kebijakan fiskal diubah tanpa partisipasi publik.

Secara administratif memang sah, tetapi secara etis sangat problematik. Ketika publik hanya disuguhi angka tanpa narasi, dan DPRD baru mengetahui realisasi setelah dana digunakan, di situlah akuntabilitas runtuh. BTT kehilangan maknanya bukan lagi belanja tak terduga, melainkan belanja tak terbaca.

Awal tahun 2025, banjir besar melanda Bima dan Dompu. Ironisnya, dari total Rp500 miliar dana BTT, hanya sekitar Rp3,65 miliar yang benar-benar disalurkan untuk penanganan darurat kurang dari 1%. Sementara laporan realisasi menunjukkan dana BTT sudah terserap hingga Rp484 miliar. Logika sederhana rakyat bertanya, kalau bencana belum tertangani, ke mana uang itu mengalir?.

Fenomena ini memperlihatkan betapa “darurat” kini lebih sering digunakan sebagai dalih untuk membelanjakan uang publik. Bencana rakyat berubah menjadi justifikasi bagi bencana fiskal birokrasi.

Pemerintah daerah mungkin berargumen bahwa seluruh pergeseran anggaran dilakukan sesuai prosedur. Namun, yang dipertanyakan publik bukan sekadar legalitas administratif, melainkan legitimasi moral. Ketika uang publik yang seharusnya menyelamatkan masyarakat justru digunakan untuk menambal proyek atau kepentingan politik, yang hilang bukan hanya transparansi tetapi juga kepercayaan rakyat.

Lemahnya pengawasan DPRD NTB memperparah keadaan. Fungsi kontrol politik nyaris lumpuh, dan ruang kebijakan eksekutif melebar tanpa batas. BTT pun menjelma menjadi ruang abu-abu kekuasaan di mana keputusan fiskal bisa diambil cepat, tetapi pertanggungjawaban berjalan lambat.

Kini, sudah saatnya Pemerintah Provinsi NTB menata ulang arah pengelolaan BTT. Pertama, buka seluruh catatan pergeseran dan realisasi BTT kepada publik secara transparan bukan sekadar angka, tetapi juga rincian penerima dan program. Kedua, DPRD NTB harus menjalankan fungsi kontrolnya secara proaktif, melakukan audit politik atas setiap keputusan anggaran. Ketiga, masyarakat NTB mesti berani menuntut keterbukaan, karena BTT adalah uang rakyat bukan dana darurat elite.

Jika hari ini BTT lebih sering dibicarakan di ruang rapat dari pada di lokasi bencana, maka NTB sedang menghadapi darurat makna kedaruratan. Darurat bukan hanya tentang banjir dan longsor, tetapi juga tentang darurat integritas, darurat transparansi, dan darurat moral dalam pengelolaan uang publik.

Dari bencana ke belanja, dari rakyat ke kekuasaan begitulah perjalanan BTT di NTB yang harus segera dihentikan. Sebab uang darurat sejatinya bukan untuk menyelamatkan pejabat, melainkan untuk menyelamatkan manusia. (*)

Berita Terkait

Back to top button