
Oleh: Harianto Bahagia – Etnografer di Nusa Artivisme
Pernahkah kita merasa hendak melamar pekerjaan, tapi justru nyasar ke ruang audisi sinetron atau iklan produk kecantikan? Begitulah kira-kira gambaran situasi dunia lowongan kerja (loker) kita di hari-hari ini dan sebelumnya.
Iklan pekerjaan kerap kali terasa absurd. Ada perusahaan yang mencari staf administrasi, tapi syaratnya tinggi badan minimal 170 cm, wajah menawan, dan status masih lajang.
Seakan-akan kemampuan mengetik, mengelola data, atau mengarsipkan dokumen lebih ditentukan oleh ukuran sudut hidung dan panjang kaki daripada suatu potensi dan kompetensi yang dimiliki pelamar kerja.
Fenomena ini membuat banyak orang bingung, sebenarnya yang dicari pekerja atau bintang iklan? Bayangkan betapa ironisnya, di negeri yang mengaku menjunjung meritokrasi, seseorang yang lulus dengan predikat cum laude bisa tersisih hanya karena tidak cukup tinggi atau dianggap kurang fotogenik.
Untunglah, Kementerian Ketenagakerjaan akhirnya bersuara.
“Sudah cukup syarat-syarat diskriminatif itu!” tegas mereka. Lewat Surat Edaran Menteri Nomor M/6/HK.04/V/2025, perusahaan dilarang mencantumkan syarat “good looking”, tinggi badan tertentu, bahkan status pernikahan dalam iklan lowongan kerja.
“Fokuslah pada kompetensi, bukan hal-hal yang diskriminatif,” kata Kemnaker RI lewat unggahan video di akun Instagram resminya, Jumat, (19/9/2025).
Aturan ini seolah ingin menertibkan pasar kerja yang telah lama dibiarkan seperti ajang kontes kecantikan. Sebab tanpa regulasi dan sanksi yang tegas, bisa saja nanti kita terus menemukan iklan absurd semacam:
“Dibutuhkan tukang cuci piring, tinggi minimal 175 cm, wajah rupawan, berotot six-pack, dan siap tampil di Instagram perusahaan.”
Bukankah itu lebih mirip ‘casting call‘ sinetron di tivi swasta ketimbang proses rekrutmen kerja?
Meski begitu, ada catatan kecil. Syarat usia masih boleh dipasang bila ada alasan yang jelas. Jadi, jangan kaget kalau kelak ada lowongan dengan embel-embel ‘maksimal 25 tahun’ untuk pekerjaan yang sejatinya bisa dilakukan oleh kakek berusia 60 tahun.
Janji 19 Juta Loker, tapi Nihil
Mari kita bergeser dari kosmetik menuju fondasi perkara yang lebih penting. Sebab masalah pekerjaan ini bukan sekadar soal wajah cantik atau ganteng, melainkan soal apakah lapangan kerja itu benar-benar ada.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 Mei 2025 yang lalu menunjukkan, generasi Z (Gen Z) dan sebagian milenial jadi golongan dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia. Angka pengangguran kalangan Gen Z mencapai 16 persen.
Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 orang per Februari 2025. Angka ini sama dengan 4,76 persen, yang berarti ada lima orang penganggur dari 100 orang angkatan kerja (Detikcom, 12/9/2025).
Masih ingat janji pemerintahan yang sekarang? Saat kampanye, ada yang bilang akan menciptakan 19 juta lapangan kerja. Angka ini terdengar manisbagai kupon undian yang hadiahnya besar, menggiurkan, tapi entah kapan jatuh ke pangkuan.
Pertanyaannya, sudahkah kita melihat seribu saja dari angka 19 juta itu nongol di depan mata? Atau jangan-jangan yang muncul baru sekadar “lapangan parkir janji” yang dituliskan di baliho kampanye?
Ironisnya, dalam satu tahun terakhir, berita yang lebih sering kita dengar justru tentang perusahaan atau pabrik yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Alih-alih penyerapan tenaga kerja, kita justru menyaksikan antrean pengangguran baru.
Kita seperti dipaksa menunggu dengan sabar, layaknya penonton yang sudah membeli tiket konser tapi musisinya tak kunjung naik panggung. Janji 19 juta loker itu masih sebatas suara yang diputar di alat pengeras, belum menjelma di panggung nyata.
Padahal, UUD 1945 sudah gamblang menegaskan Pasal 27 ayat (2) berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Selain itu, Pasal 28D ayat (2) juga menyatakan “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Artinya, hak atas pekerjaan bukan hadiah, bukan pula promosi kampanye, melainkan amanat konstitusi. Jika pemerintah serius, rakyat tak perlu jadi penonton di panggung parodi ketenagakerjaan ini.
Realitas di Lapangan
Persoalan ketenagakerjaan di negeri ini sering berhenti pada angka. Pemerintah rajin mengumumkan penurunan angka pengangguran atau pertumbuhan kesempatan kerja, tetapi di lapangan banyak anak muda masih kebingungan mencari pekerjaan tetap.
Mereka berpindah dari satu kontrak ke kontrak lain, dari pekerjaan informal ke pekerjaan informal lainnya, tanpa kepastian jenjang karier maupun jaminan sosial.
Jika janji 19 juta lapangan kerja hanya berhenti pada kertas laporan, maka sesungguhnya yang terjadi hanyalah ilusi statistik.
Para orang tua tak bisa membayar uang sekolah anak-anaknya dengan persentase atau angka di tabel. Yang dibutuhkan oleh mereka adalah pekerjaan riil, dengan gaji layak, dan perlindungan kerja yang jelas.
Larangan syarat diskriminatif memang patut dirayakan. Setidaknya, iklan kerja tak lagi jadi panggung audisi fisik. Namun, jangan sampai kita terjebak di permukaan. Percuma wajah tak lagi jadi syarat kalau “pekerjaannya” hanya ada di brosur janji politik.
Pekerjaan Nyata Bukan Audisi
Masyarakat membutuhkan kepastian, bukan sekadar janji. Warga juga butuh pekerjaan yang memberi penghidupan, bukan audisi yang menilai dari bentuk tubuh dan batasan usia.
Kalau benar 19 juta lapangan kerja itu akan terwujud, semoga syaratnya sederhana saja, yakni cakap bekerja, punya keterampilan, dan bersedia berkontribusi sesuai kemampuan. Tidak perlu lagi ada syarat wajah bak bintang iklan sabun mandi atau tinggi badan model ‘catwalk‘.
Pekerjaan adalah hak, bukan hadiah. Janji politik boleh setinggi langit, tapi rakyat hanya percaya pada satu hal, apakah esok ada pekerjaan nyata yang bisa memberi nafkah dengan layak.
Karena itu, mari kita katakan dengan tegas bahwa rakyat tidak butuh audisi, rakyat butuh pekerjaan. Yang dicari bukan “good looking” atau “status lajang”, melainkan kesempatan yang adil untuk bekerja dan hidup bermartabat.
Sebab pada akhirnya, rakyat bangsa ini tidak akan maju hanya dengan kosmetik syarat loker, melainkan dengan fondasi kerja nyata. Dan tentu saja 19 juta janji hanya akan berarti jika benar-benar menapak di bumi tercinta ini. Nah, begitu, kan ya. (*)