
Oleh: Harianto – Pegiat di Nusa Artivisme
Suatu siang, di bulan Juni 2025 lalu, seorang kawan mengajak saya bertemu di sebuah kafe waralaba di Lombok Timur. Setelah tiga puluh menit berbincang ngalor-ngidul, ia menyarankan saya memesan kopi.
Saya turun ke meja barista, menyebut pesanan dengan penuh percaya diri: dua gelas kopi. Sang barista mengangguk singkat.
Saya pun merasa urusan sudah beres—layaknya konsumen yang diumpamakan sebagai raja kecil yang yakin akan segera dilayani.
Naik kembali ke lantai dua, saya disambut tatapan bingung kawan saya itu. “Yaok, embe kupi no?” tanyanya dengan bahasa Sasak yang kental dialek Meno-mene.
“Sudah saya pesan, sedang dibuatkan,” jawab saya santai da n sekenanya.
Ia langsung geleng-geleng kepala. “Astaga, kenapa ente tinggalin? Sana ambil!” katanya.
Saya mencoba bertahan dengan logika klasik pelanggan yang manja. “Yaok, ndak apa nanti dia yang bawain kita?”
Kawan saya menepuk jidat. “Enak sekali ente ini. Ini kafe waralaba, bukan warung Nasi Puyung, heb! Kita yang ambil sendiri. Sana cepat!”
Mau tak mau saya kembali turun. Kali ini barista menyodorkan bukan hanya dua gelas kopi, tetapi juga nota pembayaran lengkap dengan uang kembalian.
Naik lagi ke lantai dua, saya menyerahkan semuanya ke kawan saya. Ia memicingkan mata pada angka-angka di kertas tipis itu.
“Lumayan pajaknya. Padahal kita yang pesan, kita yang bayar, kita yang ambil. Layanan mandiri, pajak tetap jalan,” gerutunya.
Saya ikut terkekeh getir. Dua gelas kopi di atas meja mendadak terasa pahit bahkan sebelum sempat disesap.
Konsumen yang Merangkap Pekerja
Barangkali inilah wajah kapitalisme modern yang paling banal: konsumen sekaligus berubah jadi pekerja. Kita membeli, kita membayar, kita mengangkut sendiri, tapi sistem tetap menagih pajak seolah-olah ada layanan lebih.
Ironinya, pajak itu dibungkus dalam narasi “kepatuhan” dan “kontribusi pembangunan.” Padahal, di meja kafe itulah tampak jelas betapa rakyat membayar dua kali.
Pertama, sebagai konsumen yang harus melayani diri sendiri. Kedua, sebagai warga negara yang harus menanggung pajak, tanpa jaminan uang itu kembali dalam bentuk pelayanan publik yang setara.
Kawan saya menyebutnya ringkas. “Inilah cara kapitalisme bekerja. Kita keluar tenaga, kita bayar harga, sementara sistem mengalirkan pajak entah ke mana.”
Pernyataan itu terdengar seperti kuliah mini ekonomi politik, disampaikan bukan di ruang seminar, tapi di lantai dua sebuah kafe dengan dua cangkir kopi sebagai peraga.
Fenomena “ambil sendiri” ini bukan monopoli kafe waralaba. Bandara, rumah sakit, hingga kantor pemerintahan pun kini berlomba-lomba mengadopsi semangat yang sama: layanan mandiri.
Dengan alasan efisiensi, publik didorong melayani dirinya sendiri. Mesin cetak tiket, loket elektronik, aplikasi antrean—semua hadir untuk memangkas biaya tenaga kerja.
Namun yang jarang dibicarakan adalah efisiensi bagi siapa? Perusahaan jelas diuntungkan karena biaya operasional lebih kecil. Negara tetap diuntungkan karena pajak tak berkurang.
Sementara rakyat, selain kehilangan pengalaman “dilayani” juga kehilangan pekerjaan potensial yang digantikan oleh mesin.
Absurdnya Pajak dan Layanan Mandiri
Kembali ke kopi yang mendingin di meja. Saya membayangkan jika model layanan ini diterapkan lebih luas. Bayangkan seperti kita membayar pajak rumah, lalu diminta untuk menggali sendiri saluran air yang mampet.
Atau misalkan kita seperti membayar pajak jalan, tapi diminta membawa aspal sendiri untuk menambal lubang di depan rumah. Absurd? Tentu saja. Tapi bukankah logikanya sama?
Kita rela mengantre panjang, rela mengoperasikan mesin mandiri, rela mengisi data berkali-kali, dan tetap membayar pajak yang tak pernah turun nilainya.
Sistem menagih seolah-olah ada pegawai yang bekerja keras melayani, padahal sebenarnya kita sedang melayani diri sendiri.
Dua gelas kopi akhirnya habis juga. Rasa pahitnya menyisakan renungan getir bahwa di era kapitalisme mandiri ini, konsumen dipoles menjadi “subjek modern” yang harus siap bekerja gratis demi efisiensi korporasi. Negara pun ikut menikmati, dengan pungutan pajak yang tak pernah absen, seakan semua berjalan adil.
Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Kita hidup di zaman ketika hak dilayani perlahan-lahan ditukar dengan kewajiban untuk melayani diri sendiri—tanpa potongan pajak sedikit pun.
Kafe waralaba itu, rupanya, bukan sekadar tempat nongkrong. Ia telah menjelma ruang kelas tak resmi yang mengajarkan satu pelajaran sederhana namun satir bahwa di negeri ini, kita harus membayar untuk bekerja, dan tetap membayar lagi untuk merasa seolah dilayani. Begitu?!. (*)