Lingkungan

Butuh Triliunan Rupiah Rehabilitasi 182 Hektare Lahan Kritis di NTB

Mataram (NTBSatu) – Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB mencatat, pada 2022 hingga 2024, lahan kritis di NTB mengalami pengurangan sekitar 10.000 hektare. Dari 192.000 hektare menjadi 182.000 hektare.

Kepala Bidang Planologi dan Produksi Hutan Dinas LHK Provinsi NTB, Burhan Bono menyampaikan, meski mengalami penurunan, angka tersebut masih terbilang cukup tinggi. Penurunan jumlah lahan kritis ini karena pengamanan hutan yang masif, penanaman pohon, dan kesadaran masyarakat cukup tinggi seperti melakukan ekspor kemiri.

“Sekarang mereka (masyarakat) rajin menanam pohon kemiri,” kata Burhan, Senin, 15 September 2025.

Untuk melakukan perbaikan atau rehabilitasi lahan kritis 182.000 hektare ini, ujar Burhan, butuh anggaran sekitar Rp1,2 triliun hingga Rp2,4 triliun. Hitungannya, per hektare lahan kritis membutuhkan Rp8 juta untuk rehabilitasi.

“Lumayan kalau kali Rp8 juta per hektare untuk perbaikan. Itu biaya perbaikan per hektare,” ujarnya.

IKLAN

Rehabilitasi Lahan Butuh Kerja Sama Semua Pihak

Rehabilitasi lahan kritis butuh kerja sama semua pihak, termasuk keterlibatan masyarakat. Artinya, tidak hanya mengandalkan kekuatan pemerintah saja.

“Butuh kesadaran masyarakat juga. Kalau dikerjakan pemerintah sendiri mungkin bertahun-tahun. Tetapi kalau bisa mengubah mindset (pola pikir, red) masyarakat, mungkin bisa lima tahun. Karena yang kita butuhkan mindset masyarakat,” jelasnya.

Untuk mengembalikan fungsi ekologis hutan, perlu dilakukan reboisasi atau penanaman kembali hutan atau lahan yang telah gundul. “Tidak boleh membakar, karena membuat cacing, mikroorganisme menjadi mati,” katanya.

Rehabilitasi hutan kritis, lanjut Burhan, merupakan kewenangan pusat. Sementara itu, pemerintah daerah hanya pada pengamanan, pengawasan, dan pemantuan.

“BPDAS yang tangani untuk rehabilitasi hutan kritis ini,” ujarnya.

IKLAN

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2019, harusnya Pemprov NTB menganggarkan minimal dua persen dari APBD untuk rehabilitasi hutan kritis. Namun karena kapasitas fiskal terbatas, akhirnya tidak bisa terpenuhi.

“Untuk saat ini, tidak ada lagi pembukaan lahan baru. Kita akan konsentrasi mengembalikan hutan yang sudah rusak,” ujarnya.

Dalam mengembalikan fungsi ekologis hutan, Pemprov NTB mendorong rehabilitasi dengan metode pengembangan pasar kemiri untuk melakukan ekspor.

“Di Parado sudah masif, satu kilogram dibanderol Rp10 ribu. Luasan lahan tanaman kemiri di Parado sekitar 600 hektare. Tanaman kemiri ini cocok untuk minimalisir lahan kritis, juga tanaman penghasil air,” ungkapnya. (*)

Muhammad Yamin

Jurnalis NTBSatu

Berita Terkait

Back to top button