HEADLINE NEWSLombok Timur

Lombok Timur Darurat Perkawinan Anak

Lombok Timur (NTBSatu) – Kabupaten Lombok Timur kini tercatat sebagai daerah dengan kasus perkawinan anak tertinggi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) Badan Pusat Statistik, jumlah perkawinan anak di NTB mencapai 14.145 kasus.

Dari jumlah tersebut, Lombok Timur menyumbang 4.082 kasus, menjadikannya sebagai pusat darurat perkawinan anak di NTB.

Situasi tersebut menegaskan ancaman serius bagi masa depan generasi muda, karena angka yang tercatat hanyalah kasus yang berhasil muncul di publik.

Sekretaris Daerah Kabupaten Lombok Timur, Juaini Taofik mengakui, implementasi regulasi terkait pencegahan perkawinan anak masih belum maksimal.

Padahal, pemerintah daerah sudah mengeluarkan payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Bupati (Perbup), hingga Peraturan Desa (Perdes).

IKLAN

“Pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Kolaborasi dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan para da’i sangat penting agar pesan larangan dan bahaya perkawinan anak sampai ke akar rumput,” tegasnya, Jumat, 12 September 2025.

Ia berharap sosialisasi bisa disisipkan dalam berbagai kesempatan, termasuk di ceramah-ceramah keagamaan.

Perkawinan Anak Adalah Pelanggaran

Sementara itu, Direktur Lembaga Pengembangan Sumberdaya Mitra (LPSDM), Ririn Hayudiani menekankan, perkawinan anak merupakan bentuk pelanggaran hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan masa depan.

Ia menyebut, kepala desa dan aparat wilayah sebagai garda terdepan pencegahan karena memiliki kewenangan penerbitan izin dan mengetahui kondisi masyarakat.

“Siapa pun, baik atas nama agama maupun budaya, yang tetap melangsungkan perkawinan anak bisa dijerat UU TPKS. Ancaman hukumannya mencapai denda Rp100 juta dan pidana penjara hingga 9 tahun,” jelasnya.

IKLAN

Ririn menegaskan, praktik tersebut tidak sekadar pelanggaran administratif, melainkan termasuk kekerasan seksual. Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), melarang perbuatan tersebut.

“Pasal dalam UU sudah jelas, perkawinan anak termasuk tindak kekerasan seksual,” tegasnya.

Dampak perkawinan anak sangat luas dan berkelanjutan. Praktik ini berkontribusi terhadap meningkatnya angka kemiskinan, tingginya kasus kematian ibu dan bayi, serta melonjaknya stunting dan putus sekolah.

Tubuh anak yang belum siap untuk kehamilan berisiko mengalami trauma fisik maupun psikis, bahkan cacat permanen.

Kondisi darurat ini menuntut langkah cepat dan kolaboratif agar Lombok Timur bisa keluar dari jerat perkawinan anak yang merusak generasi penerus daerah. (*)

Berita Terkait

Back to top button