Banjir Kota Mataram, Ungkap Kelemahan Struktural Manajemen Daerah Aliran Sungai

Mataram (NTBSatu) – Bencana banjir melanda sejumlah wilayah di Kota Mataram pada Minggu, 6 Juli 2025. Peristiwa ini yang terparah sepanjang sejarah, mengakibatkan puluhan ribu warga terdampak.
Pemerhati Perubahan Iklim, Giri Arnawa menyampaikan, banjir besar yang melanda Kota Mataram dapat menjadi studi kasus kritis memahami interaksi kompleks, perubahan iklim, kerentanan hidrometeorologi, dan tantangan manajemen Daerah Aliran Sungai (DAS).
“Banjir Mataram 2025 adalah contoh paradigma ancaman hidrometeorologi di era perubahan iklim. Di mana hujan ekstrem mengungkap kelemahan struktural manajemen DAS,” kata Arnawa, Senin, 7 Juli 2025.
Perubahan Iklim dan Anomali Cuaca
Banjir di Kota Mataram akibat curah hujan ekstrem, BMKG mencatat 4,2 miliar liter air tumpah dalam waktu kurang dari 6 jam, dengan intensitas mencapai 111,4 mm di Sigerongan. Volume ini termasuk kategori hujan ekstrem skala jam (>50 mm/jam).
Anomali musim kemarau menjadi perhatian, meski Juli merupakan puncak musim kemarau di NTB, dinamika atmosfer selatan Indonesia menunjukkan labilitas udara basah dan gelombang magnetik aktif yang memicu pembentukan awan intensif. Kondisi ini tambah parah akibat pemanasan global yang meningkatkan frekuensi kejadian cuaca ekstrem.
“BMKG telah memprediksi curah hujan atas normal untuk Juli-September 2025, dengan peringatan potensi bencana hidrometeorologi selama musim kemarau,” jelasnya.
Banjir sebagai Bahaya Hidrometeorologi Sistemik
Dampak spasial dari bencana banjir yang menghantam Kota Mataram adalah, tiga kecamatan terdampak parah (Sandubaya, Mataram, Cakranegara) dan enam kelurahan, termasuk permukiman padat seperti Sweta dan Bertais. Genangan air mencapai 2 meter di Cakranegara dan 60 cm di Turida.
Salah satu yang memicu bencana tersebut adalah luapan Sungai Ancar di Perumahan Riverside yang tidak mampu menampung debit air, menyebabkan tiga mobil hanyut.
“Robohnya infrastruktural seperti tembok TPST Sandubaya dan pohon tumbang yang memperparah genangan,” ujar Koordinator Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang Tangguh Terhadap Iklim ini.
Manajemen DAS dan Kerentanan Lingkungan
Penyumbatan saluran air oleh sampah mengurangi efektivitas drainase, diakui oleh BPBD sebagai faktor yang memerlukan intervensi segera.
“Kolam retensi di Giong Siu yang dioptimalkan untuk antisipasi banjir terbukti tidak memadai menghadapi skala hujan ekstrem,” terang Arnawa.
Selain masalah drainase, alih fungsi lahan juga menjadi pemicu, pembangunan permukiman di bantaran sungai (misalnya di Pamotan, Cakranegara) meningkatkan kerentanan. Wilayah ini menjadi episentrum banjir dengan ketinggian air dua meter.
“Ketimpangan Infrastruktur harus menjadi perhatian. Sistem peringatan dini tidak optimal meski ada prediksi BMKG, menunjukkan lemahnya koordinasi antara informasi iklim dan respons darurat,” ungkapnya.
Rekomendasi Mitigasi dan Adaptasi Jangka Panjang
Arnawa menyampaikan, berangkat dari musibah banjir ini, ia menyampaikan beberapa rekomendasi mitigasi bencana. Di antaranya, restorasi ekologi DAS. Meliputi, revitalisasi Sungai Ancar dengan normalisasi aliran dan pembuatan bendungan pengendali. Kemudian, pembuatan biopori dan perluasan ruang terbuka hijau untuk meningkatkan resapan air.
Rekomendasi kedua adalah reformasi infrastruktural, yaitu dengan peningkatan kapasitas kolam retensi berbasis proyeksi iklim BMKG.
“Instalasi early warning system otomatis di daerah rawan luapan sungai,” bebernya.
Selain itu, pemerintah juga harus mengambil kebijakan terintegrasi. Misalnya, penegakan zonasi bantaran sungai dan relokasi permukiman rentan. Program “community-based drainage management” melibatkan warga dalam pemeliharaan saluran air.
Arnawa menegaskan, solusi berkelanjutan memerlukan pendekatan transdisipliner: restoras ekologi DAS, infrastruktur adaptif, dan governance yang menginternalisasi data iklim.
Seperti Gubernur NTB dan Wali Kota Mataram ingatkan, gotong royong lintas pemangku kepentingan menjadi kunci membangun ketahanan kota.
“Tanpa intervensi sistemik, banjir serupa akan berulang dengan intensitas makin tinggi akibat dampak kumulatif perubahan iklim. Hal terkait, bagaimana memastikan ketaatan dan kepatuhan terhadap regulasi yang ada menjadi bagian lain perlu diperdalam,” pungkasnya. (*)