Praperadilan Mental, Jaksa Siapkan Dakwaan Pejabat BPN Lombok Barat Terseret Kasus Tanah Pecatu
 
						Mataram (NTBSatu) – Mantan Kasi Pengendalian dan Penanganan Sengketa Kantor BPN Lombok Barat, inisial BMF harus gigit jari. Upayanya melawan status tersangka dugaan korupsi tanah pecatu di Desa Bagik Polak, Kecamatan Labuanapi, Lombok Barat seluas 3757 meter persegi, kandas.
Hal itu setelah Hakim Tunggal PN Mataram, Mukhlassudin menolak dalil-dalil praperadilan tersangka. Penolakan itu tertuang dalam putusan Nomor: 13/Pid.Pra/2025/PN. Mtr tanggal 29 Oktober 2025.
Kepala Kejari Mataram, Gde Made Pasek Swardhyana dalam keterangan tertulisnya menghargai langkah BMF. Menurutnya, langkah praperadilan merupakan hak para tersangka.
“Upaya (gugatan) itu hak dan itu sebagai bagian dari mekanisme masyarakat ikut mengontrol kerja aparatnya sebagai penegakan hukum,” tegas Made, Jumat, 31 Oktober 2025.
Dengan adanya putusan hakim tersebut, Made mengaku, pihaknya segera melakukan pemberkasan dan menyusun rencana surat dakwaan. Itu merupakan langkah penyidik menjelang pelimpahan ke Pengadilan Negeri Mataram.
Selain itu, penyidik juga sudah mengantongi kerugian keuangan negara dari kasus ini senilai Rp900 juta. Angka itu berdasarkan perhitungan tim auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB.
“Nilainya sudah ada, sekitar sembilan ratusan juta. Dan saat ini tanah tersebut masih disita kejaksaan,” jelasnya.
Dalam kasus ini, penyidik Pidsus Kejari Mataram juga menetapkan Kepala Desa Bagik Polak inisial AAP sebagai tersangka. Jaksa menetapkan keduanya sebagai tersangka dugaan korupsi penjualan tanah Desa Bagik Polak, pada 26 September 2025.
Riwayat Kasus
Kasi Intelijen Kejari Mataram, Harun Al Rasyid menjelaskan, tahun 2018 tersangka AAP mengajukan permohonan sertifikat satu bidang tanah seluas 3757 meter persegi. Lokasinya di Subak Karang Bucu, Desa Bagik Polak Kecamatan Labuapi. Tanah itu merupakan aset milik Pemkab Lombok Barat.
Tanah itu sebelumnya merupakan tanah pecatu dari Dusun Karang Sembung melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Dari permohonan itu, terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 02669 atas nama pribadi AAP. Warga setempat yang mengetahui hal itu pun menggelar aksi demonstrasi di Kantor BPN Lombok Barat.
Tersangka AAP kemudian melepaskan haknya hingga SHM 02669 dibatalkan, pada 29 September 2019 oleh BPN Lombok Barat.
Melalui rekayasa gugatan perdata di Pengadilan Negeri Mataram, muncul nama pemohon I inisial WB dan kawan-kawan. Mereka mengaku sebagai ahli waris pemilik tanah tersebut.
Mereka menggugat tersangka AAP dan BPN Lombok Barat atas objek yang telah dibatalkan tersebut. Dalam persidangan perdata, BMF selaku penerima kuasa khusus dari Kepala BPN Lombok Barat, tidak menghadiri sidang di Pengadilan.
Ia juga tidak menugaskan staf penerima kuasa khusus lainnya menghadiri persidangan. Akibatnya, hak untuk memberikan penjelasan atas kemungkinan error in persona dan error in objecto saat di pengadilan.
Memanfaatkan kondisi itu, AAP berdamai dengan IWB. Tersangka kemudian menyerahkan tanah dan SHM No. 02669 kepada penggugat.
“Dengan dasar akte perdamaian dari pengadilan, IWB menjual tanah itu kepada saudara inisial MA,” beber Harun.
Untuk kerugian negara, angkanya sama dengan harga tanah seluas 3757 meter persegi. Perhitungan kerugian negara masih berlangsung di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTB.
Kepada kedua tersangka, penyidik Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kejari Mataram kemudian menahan Kades dan pejabat BPN Lombok Barat tersebut secara terpisah. Keduanya menjalani penahanan terhitung sejak tanggal 26 September 2025. Untuk APP di Lapas Kelas IIA Lombok Barat. Sedangkan, BMF di Lapas Perempuan Kelas III Mataram. (*)
 
				 
					 
  


