Mataram (NTBSatu) – Bea Cukai melanjutkan tren positif dengan menggelar Operasi Gempur II 2024 yang berlangsung sejak 7 Oktober hingga 7 November 2024.
Melalui Operasi Gempur II, Kepala Kantor Bea Cukai Mataram, I Made Aryana, mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk menurunkan tingkat peredaran barang kena cukai (BKC) ilegal serta mengoptimalkan penerimaan sektor cukai.
“Dalam peran sebagai community protector, pelaksanaan Operasi Gempur II 2024 adalah komitmen untuk mengatasi peredaran rokok ilegal dan menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkeadilan,” terangnya.
Memiliki call sign Gempur II, Made Aryana menyebut, operasi kedua tahun ini memiliki beberapa tujuan utama. Di antaranya, membantu optimalisasi penerimaan cukai tahun 2024, menurunkan tingkat peredaran BKC ilegal sehingga dapat menciptakan situasi kondusif bagi peredaran BKC, dan mengantisipasi dampak kenaikan tarif cukai.
“Dengan menurunnya peredaran BKC ilegal di pasaran dan kondusifnya peredaran BKC legal, maka penerimaan cukai tahun 2024 akan semakin optimal. Dampak positif lainnya, iklim usaha pun menjadi sehat dan berkeadilan,” ungkapnya.
Bea Cukai Mataram turut mengapresiasi kontribusi stakeholders dan masyarakat dalam pemberantasan rokok ilegal dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku. “Kami harap dukungan ini berlanjut dan kembali membantu kami dalam mengoptimalkan pelaksanaan Operasi Gempur II 2024,” tukas Adi.
Sebelumnya, Bea Cukai telah menghasilkan 4.366 penindakan dalam Operasi Gempur I.
Adapun Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Budi Prasetiyo dalam keterangan resminya, menyampaikan bahwa Operasi Gempur I ini telah digelar pada 05 Juli-31 Agustus 2024 lalu.
Dalam operasi tersebut Bea Cukai melakukan 4.366 penindakan dengan barang hasil penindakan berupa rokok ilegal sebanyak 157,5 juta batang.
Selain capaian penindakan, Budi menjelaskan dalam periode tersebut pihaknya juga melakukan 1.230 kegiatan komunikasi publik berupa sosialisasi, siaran radio dan jenis kegiatan lainnya untuk mendukung optimalnya upaya tersebut.
“Jadi penindakan ini kami lakukan untuk memberikan deterrent effect atau efek jera kepada para pelaku pelanggaran di bidang cukai. Secara beriringan kami pun menggelar sosialisasi dan komunikasi publik untuk memberikan informasi serta meningkatkan kepatuhan pengusaha di bidang cukai,” tutupnya.
Mengenal Cukai dan Ketentuannya
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Kemudian, ada beberapa kriteria sehingga barang-barang tertentu dapat dikenakan cukai, yaitu konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Hal ini juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Untuk diketahui, hasil tembakau merupakan barang yang dikenai cukai bertarif paling tinggi. Berikut ketentuannya:
A. Untuk yang dibuat di Indonesia:
- 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik.
- 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
B. Untuk yang diimpor:
- 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk
- 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
Tarif cukai dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan barang kena cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya. Sebagaimana definisi dan kriteria barang kena cukai, tarif cukai juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Larangan dan Sanksi
Sebagai informasi, salah satu pelanggaran terhadap cukai adalah peredaran rokok ilegal. Pengedar ataupun penjual rokok ilegal termasuk melakukan pelanggaran yang dapat berpotensi sebagai pelanggaran pidana. Sanksi untuk pelanggaran tersebut mengacu pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang4-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Ancaman pidana ini diatur dalam pasal 57 dan pasal 58 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
Dalam Pasal 57, “Setiap orang yang tanpa izin membuka, melepas, atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dan/atau pidana denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Dalam pasal 58, “Setiap orang yang menawarkan, menjual, atau menyerahkan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya kepada yang tidak berhak atau membeli, menerima, atau menggunakan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”
Pemanfataan Hasil Cukai
Sebelumnya, Adi Cahyanto mengatakan, cukai adalah instrumen penerimaan negara. Selain pengendalian, cukai dapat berdampak pada penerimaan negara. Karena, terdapat pungutan yang masuk ke negara melalui cukai.
“Jadi, cukai bermanfaat untuk mengawasi peredaran. Apabila tidak terdapat pita cukai dalam bungkus rokok, kami akan melakukan penindakan,” beber Adi.
Sebagai informasi, salah satu pemanfaatan cukai berupa DBH-CHT yang dialokasikan setiap tahun di berbagai daerah, termasuk NTB.
Sebelumnya, menurut Kepala Bappeda NTB, Dr. H. Iswandi, NTB memperoleh DBH-CHT lantaran menjadi salah satu daerah yang paling produktif memproduksi tembakau dan menghasilkan cukai.
“Pemerintah provinsi serta pemerintah kota dan kabupaten harus bersinergi agar pemanfaatan DBH-CHT dapat tepat sasaran,” pungkas Iswandi. (*)