BERITA LOKALPolitik

Keterwakilan Perempuan di Politik Dinilai Masih Terganjal Aturan dan Budaya Patriarki

Mataram, (NTBSatu ) – Kuota 30 persen perempuan di politik tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Kuota 30 persen caleg perempuan telah dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Namun keterwakilan perempuan di legislatif masih minim.

Direktur Program Studi Magister Sains Gender dan Analisis Perempuan Universitas Mataram, Prof. Ruth Stella Thei mengungkapkan keprihatinannya terhadap masih minimnya keterwakilan perempuan dalam politik.

Meskipun sudah ada aturan yang mewajibkan 30 persen pencalonan perempuan, namun pencantuman perempuan sebagai caleg masih terasa kurang serius.

“Aturan 30 persen pencalonan perempuan memang ada, tapi perlu diimbangi dengan aturan yang lebih tegas, bukan hanya sekedar 30 persen sebagai calon dan 30 persen sebagai wakil di badan legislatif,” ujar Prof. Ruth dalam wawancara yang dilakukan bersama RRI Mataram, Rabu 24 April 2024.

Menurutnya, partai politik perlu meningkatkan komitmennya dalam memberikan ruang yang lebih luas bagi perempuan, bukan hanya sekedar memenuhi kuota, tetapi melalui kaderisasi dan rekrutmen yang serius.

IKLAN
Berita Terkini:

Menurutnya, biaya politik yang tinggi juga menjadi salah satu kendala bagi perempuan untuk maju sebagai caleg.

“Dunia politik masih banyak dianggap sebagai ranah laki-laki, dan perempuan yang ingin terjun ke dunia politik harus menghadapi berbagai tantangan, seperti jam kerja yang panjang, tuntutan kerja di luar daerah, dan juga tanggung jawab rumah tangga,” jelas Prof. Ruth.

Lebih lanjut, Prof. Ruth menuturkan bahwa isu-isu strategis yang selalu diperjuangkan oleh perempuan dalam politik umumnya terkait dengan kesehatan, pendidikan, politik, kekerasan terhadap perempuan, perdagangan manusia, pornografi, dan perkawinan anak.

“Perempuan memiliki perspektif dan pengalaman yang berbeda dengan laki-laki. Oleh karena itu, penting untuk mendorong dan membekali perempuan yang duduk di kursi legislatif agar lebih berani bersuara untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat,” tegas Prof. Ruth.

Prof. Ruth berharap dengan semakin banyaknya perempuan yang terlibat dalam politik, suara dan aspirasinya dapat lebih didengar dan direpresentasikan dalam kebijakan publik.

Hal ini juga akan membawa perubahan yang positif bagi masyarakat, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. (WIL)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button