Daerah NTB

Pekerja Anak di NTB Meningkat, Perlindungan – Jaminan Keselamatan Jadi Tantangan

Mataram (NTBSatu) – Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menempati posisi ketiga tertinggi dalam persentase pekerja anak di Indonesia.

Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, tercatat 5,51 persen anak usia 10 hingga 17 tahun di NTB terlibat dalam aktivitas bekerja. Angka ini naik signifikan dari 3,86 persen pada tahun sebelumnya.

Peningkatan ini menjadikan NTB sebagai salah satu dari tiga provinsi dengan angka pekerja anak tertinggi di Indonesia, setelah Nusa Tenggara Timur (7,20 persen) dan Sulawesi Tenggara (6,54 persen).

Ketiga provinsi ini mencatatkan angka di atas rata-rata nasional yang sebesar 2,85 persen.

IKLAN

Dalam definisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, anak adalah setiap individu berusia di bawah 18 tahun.

Oleh karena itu, anak usia 10–17 tahun yang bekerja termasuk dalam kategori pekerja anak. Sebuah kondisi yang mencerminkan persoalan struktural dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) di daerah.

Kondisi ini mendapat sorotan serius dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil.

IKLAN

Tanggapan InSPIRASI NTB

Direktur InSPIRASI (Institut Perempuan dan Perubahan Sosial) NTB, Nurjanah menilai, tingginya angka pekerja anak di NTB berkaitan erat dengan kemiskinan rumah tangga, rendahnya kualitas pendidikan, serta minimnya perlindungan sosial terhadap keluarga rentan.

“Pekerja anak bukan sekadar angka statistik. Di baliknya ada cerita tentang anak-anak yang kehilangan masa kecil, pendidikan, bahkan kesehatan, karena harus ikut menopang ekonomi keluarga,” ungkap Nurjanah.

Ia menjelaskan, sebagian besar pekerja anak di NTB ditemukan di sektor informal seperti pertanian, peternakan, dan pekerjaan domestik.

IKLAN

Banyak di antaranya tidak mendapatkan perlindungan hukum maupun jaminan keselamatan kerja.

“Kita tidak bisa menutup mata. Jika tren ini terus naik, NTB berisiko mengalami krisis kualitas generasi muda. Pemerintah daerah perlu mengambil langkah konkret, bukan hanya seremonial,” tambahnya.

Nurjanah juga menyoroti pentingnya pendekatan lintas sektor dalam menangani isu ini. Mulai dari penguatan ekonomi keluarga, akses pendidikan yang inklusif, hingga penegakan hukum terhadap eksploitasi anak.

Ia mendorong dibentuknya mekanisme pemantauan berbasis komunitas di tingkat desa dan kelurahan yang terintegrasi dengan data perlindungan sosial.

Kendati BPS sendiri belum merinci secara lebih dalam profil pekerja anak di NTB, seperti distribusi menurut kabupaten/kota atau sektor pekerjaan.

Namun, data ini cukup menjadi dasar kuat bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk melakukan evaluasi serta penyesuaian terhadap program penanggulangan pekerja anak.

“Posisi NTB sebagai salah satu provinsi dengan pekerja anak tertinggi di Indonesia, tantangan ke depan bukan hanya soal angka, tetapi juga menyangkut masa depan generasi muda yang layak dan terlindungi,” pungkas Nurjanah. (*)

Berita Terkait

Back to top button