Jakarta (NTBSatu) – Pengacara kondang Hotman Paris mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kritikan itu terkait Surat Edaran (SE) yang menegaskan KPK tetap bisa mengusut kasus dugaan korupsi di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sebagai informasi, KPK mengeluarlan SE tersebut pada awal Mei 2025 lalu. Hal ini sebagai bentuk komitmen sekaligus pedoman bagi seluruh unit kerja di lingkungan KPK pasca terbitnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 terkait dengan BUMN.
Isi SE KPK Nomor 12/2025 tersebut menegaskan, lembaga antirasuah tetap berwenang melakukan penindakan terhadap kasus korupsi di BUMN. Termasuk melakukan pencegahan, pendidikan, serta koordinasi dan supervisi.
Menurut Hotman, KPK telah membuat ulah baru karena menerbitkan SE tersebut. Ia menyebut, dengan SE itu, maka Danantara di bawah jurisdiksi KPK.
“Apa KPK tidak suka dengan ide bisnis Prabowo, seperti Danantara misalnya? Kacau, Klien investor luar banyak bingung dan tanya Hotman,” ujar Hotman melalui akun Instagram pribadinya @hotmanparisofficial, Jumat, 6 Juni 2025.
Selain itu, Hotman juga menyatakan bahwa KPK selalu mau menafsirkan hukum sesuai seleranya sendiri. Bahkan, bisa dipandang membuat hukumnya sendiri yang menyimpang dari Undang-undang (UU).
“Jelas pejabat BUMN bukan penyelenggara negara menurut UU yang baru (UU Nomor 1 Tahun 2025). Dan KPK hanya berwenang menyidik tipikor yang penyelenggara negara lakukan,” tegas Hotman.
KPK menerbitkan SE sebagai acuan pegawai untuk tetap mengusut kasus dugaan korupsi di lingkungan BUMN.
Penjelasan KPK
Sebelumnya, KPK menyoroti keberlakuan Pasal 9G UU BUMN. Pasal tersebut menyatakan, Anggota Direksi atau Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Menurut KPK, ketentuan tersebut kontradiktif dengan ruang lingkup penyelenggara negara. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 angka 7. Serta, penjelasannya dalam UU 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Ketua KPK, Setyo Budiyanto menjelaskan, keberadaan UU 28 Tahun 1999 merupakan hukum administrasi khusus berkenaan dengan pengaturan penyelenggara negara, yang memang bertujuan untuk memerangi KKN.
“Maka, sangat beralasan jika dalam konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi berkenaan dengan ketentuan penyelenggara negara KPK berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 1999,” ucap Setyo beberapa waktu lalu.
Terlebih lagi, dalam penjelasan Pasal 9G UU BUMN telah dirumuskan ketentuan yang berbunyi: “Tidak dimaknai bahwa bukan merupakan penyelenggara negara yang menjadi pengurus BUMN statusnya sebagai penyelenggara negara akan hilang”.
Setyo menuturkan, ketentuan tersebut dapat dimaknai status penyelenggara negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN.
“Dengan demikian, KPK berkesimpulan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan/Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara. Hal ini sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999,” ungkap Setyo.
Sebagai penyelenggara negara, maka mereka memiliki kewajiban untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK dan penerimaan gratifikasi.
Setyo juga menyinggung Pasal 4B UU BUMN yang berkenaan dengan kerugian BUMN bukan kerugian keuangan negara serta Pasal 4 Ayat (5) mengenai modal negara pada BUMN merupakan kekayaan BUMN.
Setyo menerangkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 48/PUU-XI/2013 dan 62/PUU-XI/2013 yang kemudian dikuatkan putusan nomor: 59/PUU-XVI/2018 dan 26/PUU-XIX/ 2021 menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan.
MK menyatakan konstitusionalitas keuangan negara yang terpisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara. Termasuk dalam hal ini BUMN yang merupakan derivasi penguasaan negara. Sehingga segala pengaturan di bawah UUD tidak boleh menyimpang dari tafsir konstitusi MK.
“Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian keuangan negara. Di mana Direksi/Komisaris/Pengawas BUMN harus pertanggungjawabannya secara pidana (TPK) kepada ,” ungkap Setyo. (*)