“Sebab, banyak korban kekerasan memilih diam, yang membuat pelaku terus melakukan kekerasan terhadap korban,” lanjutnya.
Heru pun menegaskan, kepada sekolah dilarang keras untuk mengabaikan pelaporan perundungan yang dialami siswa. Karena, dalam kasus di Jawa Tengah tersebut, ketika pihak sekolah dimintai keterangan oleh berbagai pihak, tampak bahwa sekolah tidak memahami kondisi psikologis korban.
“Siswa yang membakar sekolah itu mengaku, pernah mengadu ke pihak sekolah atas pengeroyokan yang dialaminya. Namun, pihak sekolah hanya memanggil para pelaku pengeroyokan dan tidak memberikan sanksi apapun. Sehingga para pelaku tidak mendapatkan efek jera dan terus melakukan perundungan,” terangnya.
Sepanjang Januari hingga Juni 2023, FSGI menemukan ada 12 kasus perundungan di satuan pendidikan yang terjadi. Dari 12 kasus tersebut, delapan kasus sudah diproses secara hukum. Heru mencatat, pelaku perundungan ada yang merupakan orang dewasa dan sesama anak.
“Barangkali karena ada orang dewasa yang terlibat, banyak yang tidak berani melaporkan kasusnya. Melaporkan ke pihak sekolah maupun Dinas Pendidikan setempat,” ujarnya. (JEF)
Baca Juga :