Oleh : Alan Ananami (Ketua Umum HMI Cabang Mataram)
Ironi bagi sebuah pendidikan tinggi. Khususnya sejumlah perguruan tinggi di Kota Mataram, Provinsi NTB. Alih-alih menjadi pabrik yang memproduksi keadaban dan peradaban, malah bergeser sebagai pusat kekerasan, korupsi, dan anti demokrasi.
Sangat memilukan, universitas merupakan jantung diskursus ilmu pengetahuan justru baru-baru ini merekah sebagai sarang praktik bar-barian. Lebih menyakitkan lagi adalah aktor penyimpangan ini dilakukan oleh petinggi-petinggi birokrasi kampus.
Bagaimana mungkin kita memproyeksi kampus-kampus di NTB go international kalau budaya birokrasinya eksklusif dan eksploitatif? Menolak keterbukaan, bertangan besi memukul mundur ekspresi kebebasan, hingga menyunat hak beasiswa mahasiswa.
Hal ini menampakan keserakahan dan keberingasan kampus. Tujan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa hanya isapan jempol belaka. Sebab, feodalisme dan pendangkalan dalam dunia pendidikan masih massif dilakukan.
Bangsa ini patut berduka. Fenomena matinya akal budi dan nurani dalam perguruan tinggi merupakan kemunduran kebudayaan, terdistorsinya kemanusiaan, dan hilangnya martabat pendidikan. Padahal menurut Ki Hadjar Dewantara, maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk kehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat).
Mahasiswa yang kritis dan melakukan aksi demonstrasi pada akhirnya menjadi korban brutalitas kampus. Beasiswa diperuntukan bagi mahasiswa yang kurang mampu dan berprestasi ditilep seenaknya seperti hilang kewarasan. Fenomena semacam ini adalah potret buruk kualitas pendidikan tinggi di Kota Mataram atau NTB.
Jika di aspek pendidikan saja banyak terjadi moral hazard pada negeri ini, bagaimana dengan aspek lain? Barangkali keadaannya lebih membusuk. Sekolah atau universitas yang diharpkan bersih dari perilaku amoral ternyata menambah catatan kelam bagi sejarah pendidikan kita.
Rasa-rasanya benar kata sastrwan mahsyur Pramodeya Ananta Toer, jangan tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya.
Kasus kekerasan dan pemotongan beasiswa di lingkungan kampus Kota Mataram tidak boleh dibiarkan menjamur oleh negara. Kalau didiamkan, akibatnya bisa membunuh spirit belajar mahasiswa dan memperpanjang pembodohan. Dalangnya segera ditindak tegas dan dikenakan sanksi seberat-beratnya guna menyelamatkan maruah pendidikan.
Tidak berlebihan jika fenomena ini sejalan dengan pemikiran Hannah Arendt tentang banalitas. Banal bukan sesuatu yang otonom, namun memiliki keterkaitan dengan modernitas, kekuasaan, dan kekerasan negara. Fenomena banalitas kejahatan menunjukkan adanya interaksi antara aktor (pelaku) dan sistem.
Sistem yang tidak menerapkan aksi komunikatif dalam kekuasaan membuat pikiran masyarakat menjadi dangkal. Sementara itu, dalam diri aktor juga ada disposisi yang membuat sistem dapat diberlakukan. Dengan demikian kampus yang menyeleweng dari norma atau peraturan merupakan sikap banalitas. Tidak menjunjung tinggi perikemanusiaan dan nilai dasar bermasyarakat.
Impilikasimya adalah iklim perguruan tinggi kehilangan kultur kritis, analitis, dan dialektisnya. Kampus kini sepenuhnya telah menjadi fabrikasi sarjana. Kemajuan pendidikan diukur dengan pendekatan kuantitatif. Sejatinya agenda utama pendidikan mendorong pemajuan secara kualitatif.
Kementrian pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tehnologi (Kemendikbudristek) harus mengevaluasi total kinerja perguruan tinggi di NTB yang menciderai misi pendidikan. Sebab, sekolah bukan hanya belajar dalam ruangan formal semata. Tetapi pendidikan dan pembalajaran itu di setiap tempat dan setiap saat.