Mataram (NTB Satu) – Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) NTB menilai Bawaslu kabupaten dan kota di NTB terkesan tidak serius mengakomodir keterwakilan perempuan dalam rekrutmen Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) belum lama ini. Terbukti, dari 351 anggota Panwascam terpilih, jumlah perempuan hanya 45 orang saja. Mereka terakomodir di 39 kecamatan dari 117 kecamatan se-NTB.
“Kami sayangkan tidak terakomodirnya perempuan dalam rekrutmen Panwascam tahun ini,” kata Wakil Ketua Wilayah Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) NTB, Muslih Syuaib, Minggu, 30 Oktober 2022.
Ia mengungkapkan, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terdapat aturan mengenai keterwakilan perempuan dalam penyelenggara dan pengawas pemilu. Memang dalam undang-undang tersebut, hanya ada klausa memperhatikan keterwakilan perempuan. Artinya tidak ada kewajiban bagai penyelenggara dan badan pengawas untuk mengakomodir keterwakilan 30 persen perempuan.
Namun filosofi dalam undang-undang ini, lanjut Muslih, mestinya ditangkap secara benar. Mengartikan keterwakilan, menurutnya, mendekati keharusan mengakomodir perempuan.
“Kalau misalnya 100 dari 117 kecamatan mengakomodir perempuan, kami masih bisa menerimanya. Kenyataannya hanya 39 kecamatan dari 117 kecamatan yang mengakomodir perempuan, ini terlalu jauh,” sesalnya.
Ia berharap, celah dalam undang-undang jangan dijadikan pembenar dalam keputusan yang diambil Bawaslu maupun penyelenggara pemilu.
“Undang-undang memiliki filosofi yang mestinya dijadikan pegangan, bukannya malah mencari celah agar kepentingan Bawaslu bisa terakomodir,” sindirnya.
Ia mengungkapkan, di awal proses rekrutmen Panwascam, sebenarnya, Bawaslu sudah menunjukkan komitmen untuk mengakomodir perempuan. Dilakukannya penambahan masa pendaftaran di kecamatan-kecamatan yang jumlah pendaftar perempuannya tidak memenuhi kuota 30 persen sedikit memberi harapan.
“Bawaslu juga mengakomodir perempuan saat penentuan enam besar calon panwascam di semua kecamatan. Tapi saat penetapan Panwascam terpilih, calon-calon perempuan banyak dicoret. Sepertinya kita hanya diberikan harapan palsu oleh Bawaslu,” ungkapnya.
Muslih memaparkan, semua kalangan, terutama lintas gender memiliki hak yang sama dalam politik. Hak perempuan dalam berpolitik dijamin dalam Convention of the Elimination of All Forms of discrimination Against Women (CEDAW) yang diratifikasi menjadi Undang-Undang nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi Perempuan di Bidang Politik.
Masih kata Muslih, mestinya, penyelenggara pemilu, sebagai lembaga negara, harus lebih serius menghapus diskriminasi tersebut.
“Keputusan ini akan berpengaruh dengan banyak aspek. Mulai dari pendidikan politik, bahkan hingga partisipasi pemilih perempuan. Makanya sejak awal kami memperingatkan Bawaslu dan penyelenggara pemilu agar bisa lebih serius memastikan pemilu ini berlangsung sesuai harapan masyarakat,” pungkasnya. (RZK)