Mataram (NTB Satu) – Kasus pelecehan seksual yang menimpa sejumlah mahasiswi di Kota Mataram menjadi sorotan sejumlah pihak. Pihak perguruan tinggi disarankan agar segera membentuk Crisis Center atau Pusat Krisis Kekerasan terhadap perempuan di lingkungan kampus dan tersedia di seluruh fakultas.
Direktur Institut Perempuan untuk Perubahan Sosial (InSPIRASI) NTB, Nur Jannah, mengatakan, salah satu prinsip pencegahan kekerasan seksual adalah mendekatkan akses layanan serta sosialisasi yang berkelanjutan terkait perlindungan terhadap perempuan di lingkungan kampus.
Selain itu, perguruan tinggi disarankan agar menjalankan Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
“Hal tersebut dapat dilakukan asal pimpinan kampus selaku pengambil keputusan tertinggi mampu menggerakkan sumber daya strategis di kampus untuk mendukung gerakan melawan kekerasan seksual,” ungkap Jannah, dihubungi NTB Satu, Senin, 4 Juli 2022.
Organisasi kampus pun turut memiliki peran penting dalam menyuarakan perlindungan perempuan dari segala praktik kekerasan seksual.
Terkait dengan proses advokasi yang mesti ditempuh bagi para penyintas kekerasan seksual, Jannah menyarankan agar membangun gerakan berani bersuara. Penyintas kekerasan seksual perlu diyakinkan bahwa mereka memiliki banyak pendukung. Penyintas kekerasan seksual mesti memastikan bahwa Undang-undang No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dijalankan dengan baik.
“Pihak perguruan tinggi perlu memetakan lokasi potensi kasus kekerasan seksual. Apabila masalahnya terletak pada persoalan relasi kuasa, maka standar operasional spesifik pada dosen dan mahasiswa perlu disiapkan,” terang Jannah.
Sebenarnya, penerapan standar operasional yang spesifik telah diatur pada Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Pihak perguruan tinggi perlu menyediakan edukasi serta media kampanye mengenai pencegahan kasus kekerasan seksual yang dapat diakses di berbagai lokasi strategi.
“Dua hal penting lainnya adalah memperbanyak aktor yang terus bersuara untuk persoalan perlindungan perempuan di kampus dan membangun gerakan kolaborasi multi pihak,” papar Jannah.
Kepada pihak perguruan tinggi, Jannah menyarankan agar segera mengusut tuntas kasus pelecehan seksual yang terjadi dengan proses yang transparan dan mengedepankan azas perlindungan pada korban. Perguruan tinggi perlu menjadi garda terdepan dalam menguji dan memastikan bahwa produk hukum bukanlah dokumen yang tidak bertaring.
“Perguruan tinggi perlu memastikan bahwa tidak ada penyelesaian di luar hukum untuk semua kasus kekerasan seksual yang terjadi,” pungkas Jannah. (GSR)