Daerah NTB

Mau Hidupkan RPH Banyumulek ? Ini Saran Guru Besar Fakultas Peternakan Unram

Mataram (NTB Satu) – Rumah Potong Hewan (RPH) Banyumulek, Lombok Barat milik Pemprov NTB masih mangkrak. Saat ini Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakeswan) Provinsi NTB sebagai penanggung jawab sedang berupaya menghidupkan RPH tersebut.

Dua RPH besar lainnya yang juga nasipnya hampir sama adalah RPH Asakota di Bima, dan RPH Poto Tano di Kabupaten Sumbawa Barat. Tiga RPH ini dihajatkan untuk mendukung program unggulan Bumi Sejuta Sapi (BSS).

IKLAN

Guru besar dari Fakultas Peternakan Unram, Prof. Soekardono berpandangan, ada beberapa penyebab RPH-RPH besar ini tak optimal. Pertama, harga sapi di dalam daerah sendiri terbilang masih mahal. Karena pasarannya juga Jakarta. Untuk kebutuhan di dalam daerah, setiap tahun sekitar 40 ribu ekor, atau paling banter 50 ribu ekor.

RPH besar ini menurutnya tidak bisa hanya dijadikan sebagai penyedia jasa potong hewan. Seperti halnya rumah potong yang ada di Majeluk, Kota Mataram. RPH besar ini haruslah perusahaan yang skalanya memproduksi daging beku.

“Kalau sekedar untuk jasa pemotongan hewan, ongkosnya minimal diatas 250 ribu rupiah per pemotongan hewan, baru bisa BEP (break event point). Tapi pasti mahal dong. Karena di Majeluk saja kalau tidak salah hanya 100 ribu rupiah per pemotongan,” ujarnya akhir pekan kemarin.

RPH Banyumulek termasuk RPH lengkap. Dalam sehari minimal harus memotong sebanyak 15 ekor. Lalu bagaimana cara agar RPH ini bisa dioptimalkan? Soekardono mengatakan, dari hulu peternakan sapi harus dibuat seperti skema korporasi.

IKLAN

Harga sapi harus dibuat lebih rendah. Dengan mengelola peternakan terintegrasi seperti yang diniatkan food estate di Labangka, Sumbawa. Peternakan dengan pendekatan korporasi biasanya dapat menekan biaya, dan hasilnya lebih optimal.

“Kalau masih ternak yang diharapkan untuk potong adalah ternak dari individu, tidak bisa. Karena harganya pasti beda, sebab biaya peternakannya tinggi. Tidak bisa masuk kalau jadi hewan potong di RPH,” ujarnya.

Kedua, harus ada intervensi pasar pasar lokal dari pemerintah. Bagaimana caranya agar perusahaan-perusahaan besar seperti PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) yang melakukan penambangan emas di Batu Hijau, sebisa mungkin menggunakan bahan dari daging sapi yang dipotong di RPH besar.

Selain itu, hotel, restoran, rumah makan, bahkan perusahaan-perusahaan katering sebaiknya kebutuhan dagingnya dipenuhi dari RPH besar. Pemerintah harus mengintervensi agar pasar lokal ini mau memanfaatkan daging dari RPH. Sebab untuk menghasilkan daging beku yang kemudian akan dipasarkan di Jakarta, menurutnya tidak kompetitif.

“Karena kebutuhan daging di Jakarta sudah dipenuhi dari Lampung dan dari Jawa Barat. Juga daging impor yang harganya relatif rendah,” katanya.

Jika tidak dilakukan pendekatan dari hulu ke hilir, baginya, berat RPH besar akan bergerak optimal. Terkecuali, diserahkan kepada investor yang sudah memiliki jaringan pasar besar. (BKA)

IKLAN

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button