Jakarta (NTBSatu) – Pemerhati Kehutanan NTB, Muhammad Ridha Hakim mengatakan, pentingnya mempertahankan keberadaan 15 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di NTB.
Menurutnya, alih-alih mengurangi jumlah KPH, seharusnya dilakukan penguatan. Baik dalam hal kapasitas pengelolaan maupun dukungan pendanaan dari pemerintah daerah.
“Kalau berfikir ideal, 15 KPH yang ada saat ini sebenarnya masih kurang jika dilihat dari peran yang harus dijalankan untuk mengatasi persoalan hutan di tingkat tapak,” jelas Ridha kepada NTBSatu, Selasa, 11 Maret 2025.
Walaupun dalam perkembangannya, katanya, 15 KPH di NTB tersebut mengalami banyak tantangan terutama akibat desentralisasi otonomi daerah.
“Kurangnya dukungan dan adanya keragu-raguan daerah terhadap pembangunan KPH ini, mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan pembangunan KPH,” sebutnya.
Dengan demikian, sambungnya, target dan prioritas pengelolaan KPH harus tetap berorientasi pada pemantapan kawasan hutan berbasis pengelolaan lestari.
Selanjutnya, rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS), perlindungan dan pengamanan hutan. Serta, melakukan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
“Kemudian revitalisasi hutan dan produk kehutanan, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, dan mitigasi adaptasi perubahan iklim di sektor kehutanan. Terus penguatan kelembagaan kehutanan menjadi bagian penting dari strategi penyelamatan hutan di NTB,” terangnya.
Menurut Ridha Hakim, dengan sebarannya yang ada saat ini, KPH juga dapat berperan sebagai solusi resolusi konflik di sektor kehutanan.
“KPH harus menjadi instrumen perbaikan tata kelola hutan yang menjamin kepastian usaha. Sekaligus keadilan bagi masyarakat adat maupun lokal,” tambahnya.
Tiga Langkah Prioritas Pengelolaan KPH
Untuk memastikan efektivitas pengelolaan hutan di NTB, Ridha Hakim menegaskan tiga prioritas teknis yang harus segera 15 KPH tersebut lakukan.
Pertama, penyelesaian konflik kawasan hutan serta peningkatan kapasitas pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung. Hal tersebut guna mencegah timbulnya permasalahan baru di masa depan.
“Kedua, mempermudah akses manfaat hutan bagi masyarakat, sekaligus menekan biaya ekonomi tinggi agar manfaatnya dapat terdistribusi secara adil,” ungkapnya.
Lalu langkah ketiga, penyediaan infrastruktur sosial dan ekonomi guna memperkuat kelembagaan lokal, meningkatkan efisiensi ekonomi, serta mengembangkan nilai tambah hasil hutan.
“Tiga langkah teknis ini harus dengan pendekatan perencanaan spasial yang mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi lokal. Selain itu, harus ada sinergi antara Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi, serta pemerintah kabupaten/kota dalam implementasinya,” tegasnya.
Oleh sebab itu, ia menilai mempertahankan keberadaan 15 KPH di NTB sebagai solusi strategis yang tidak bisa dihindari.
“Perlu juga evaluasi berkala terhadap kinerja KPH, agar semakin efektif sebagai ujung tombak pengelolaan hutan,” tutur Ridha. (*)