Mataram (NTBSatu) – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah meluncurkan program wajib baca kepada seluruh siswa dengan tajuk ‘Sastra Masuk Kurikulum’, pada Senin malam, 20 Mei 2024.
Program ini akan secara resmi terimplementasi mulai tahun ajaran 2024/2025 mendatang, di sekolah yang sudah menerapkan Kurikulum Merdeka.
Namun, kalimat ‘program wajib baca’ ini tampak tak asing dalam sektor pendidikan Indonesia. Program serupa ternyata pernah diterapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2014-2016, Anies Rasyid Baswedan.
Pada waktu itu, para siswa jenjang SD hingga SMA sederajat diwajibkan membaca buku selama 15 menit, sebelum pelajaran dimulai. Materi bacaan yang dibacakan oleh siswa dibebaskan.
Bahkan, para siswa diperbolehkan membaca buku yang bersifat mendidik, dipinjam dari perpustakaan maupun dibawa dari rumah.
Lantas, apakah hal serupa juga diterapkan dalam program wajib baca ‘Sastra Masuk Kurikulum’ era Mendikbudristek, Nadiem Makarim?
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo menjelaskan, program wajib baca yang telah diluncurkan ini akan berbeda dengan yang pernah dicetuskan Menteri Pendidikan sebelumnya.
Perbedaannya terletak pada inti programnya. Dulu, program telah dirincikan langsung oleh pemerintah pusat. Kini, sekolah diharuskan untuk melakukan kontekstualisasi kurikulum.
Berita Terkini:
- DPP IKADIN Minta Bawaslu Perketat Pengawasan ASN dan Money Politics, Soroti Penyelesaian Kasus Pilkada Bima
- Tim BKC Amankan 12.776 Batang Rokok Ilegal di Kota Mataram
- Sasar 11 Titik Lokasi di Lombok Tengah, Tim BKC Ilegal Tertibkan 3.660 Batang Rokok dan 2,1 Kilogram TIS
- Tingkatkan Kualitas Layanan Publik, Diskominfo Mataram Terbitkan 740 TTE Tersertifikasi
- APERSI NTB Dukung Program 3 Juta Rumah Presiden Prabowo
“Kalau sebelumnya kurikulum itu diserahkan, peraturan dari pusat itu sedemikian detail, sehingga praktis semua sekolah itu seharusnya punya kurikulum yang sama atau mirip ke dalam sekolah,” jelas Anindito dalam sambutannya semalam.
“Sekarang bagaimana pencapaiannya, bahan apa yang digunakan, buku mana yang dipilih, itu tidak diwajibkan dari pemerintah pusat,” klaimnya.
Sekolah dibebaskan untuk memilih karya sastra sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing sekolah. Karena, kesiapan belajar serta minat murid di setiap kelas akan berbeda.
Untuk itu, dirinya mengimbau agar sekolah melakukan asesmen untuk melihat profil siswanya. Pihaknya juga akan menyediakan alat bantu berupa daftar karya sastra yang telah dikurasi oleh tim kurator dengan beragam latar belakang.
“Kalau murid-muridnya banyak yang suka sepak bola. Cari karya yang tentang sepak bola. Mungkin akan jauh lebih membuat anak-anak semangat belajar,” kata Anindito.
“Daripada kita tentukan semua sekolah wajib menggunakan buku ini, kelas ini. Karena kita tahu kebutuhan spesifik tiap-tiap sekolah berbeda,” tambahnya. (JEF)