Mataram (NTBSatu) – Dirty Vote, sebuah film dokumenter berdurasi hampir dua jam yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono, kini booming dan menjadi perbincangan khalayak.
Film ini bertabur fakta-fakta jurnalisme yang disadur dari sejumlah media nasional. Tangkapan layar pemberitaan Tempo mendominasi. Secara eksplisit, film itu mengurai satu per satu indikasi kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, salah satunya Kasus Partai Gelora.
Pakar Hukum dan Ilmu Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar, dalam menit 1.05.31, menyebut partai ini sebenarnya TMS (tidak memenuhi syarat) tetapi dipaksa sehingga akhirnya memenuhi syarat.
“Pada kasus Partai Gelora, yang lolos menjadi peserta pemilu, tetapi kalau kita lihat di lapangan ada begitu banyak kejanggalan,” ungkap Zainal.
Beberapa di antaranya, Zainal membeberkan, dokumen berita acara KPU di Murung Kata, Kalimantan Tengah, ada instruksi agar mengubah status Partai Gelora.
Berita Terkini:
- Survei PRESiSI: Elektabilitas Najmul – Kus Jauh Tinggalkan Dua Pesaingnya
- Survei SPIN: Elektabilitas Muchsin Effendi – Junaidi Arif Lewati Najmul – Kus di Pilkada Lombok Utara
- Enam Ekor Sapi Warga di Bima Tersambar Petir, Kerugian Capai Rp30 Juta
- Pengamat Prediksi AQUR akan Menang di Pilkada Kota Mataram
Syarat soal seribu kader memiliki kartu anggota di Kabupaten Murung Kaya, kata Zainal, dari sampel uji petik yang dilakukan terhadap 114 kartu tanda anggota, Gelora hanya memenuhi 85 orang yang punya kartu tanda anggota.
Kemudian, kecurangan Gelora di Sangihe pun menarik perhatian. Adanya pengakuan dari salah satu aparatur sipil negara telah melakukan kecurangan, mengubah verifikasi partai yang tidak lolos menjadi lolos.
“Luar biasanya, Partai ini tetap dinyatakan lolos,” ucap Zainal.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Gelora Nusa Tenggara Barat (NTB), Lalu Pahrurozzi, angkat bicara.