OpiniWARGA

Pondasi APBD yang Kuat Dimulai dari KUA–PPAS yang Benar

Oleh: Iwan Harsono – Associate Professor Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram

Pernahkah kita bertanya mengapa proses penyusunan dan pembahasan APBD di banyak daerah seringkali berjalan lambat, penuh perdebatan yang tidak produktif, atau bahkan terlambat ditetapkan? Mengapa permasalahan yang sama terus berulang setiap tahun anggaran meskipun regulasinya sudah jelas?

Salah satu jawabannya terletak pada dua dokumen kunci dalam siklus anggaran daerah: Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Ketika KUA dan PPAS disusun secara benar, proses pembahasan oleh DPRD terhadap APBD akan lebih efisien, terarah, dan fokus pada substansi. Sebaliknya, ketika penyusunannya lemah dan tertutup, berbagai persoalan fiskal dan teknis akan menghambat pembangunan daerah.

KUA dan PPAS dalam Sistem Penganggaran

Penyusunan KUA dan PPAS diatur secara rinci dalam berbagai regulasi, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2024 sebagai pedoman penyusunan APBD Tahun Anggaran 2025.

Dokumen KUA berfungsi menetapkan arah kebijakan umum anggaran, sedangkan PPAS menetapkan plafon dan prioritas anggaran sementara untuk perangkat daerah.

Sebagai penguatan regulasi, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 2025 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2026. Regulasi ini menjadi rujukan utama bagi pemerintah daerah dalam menyusun KUA–PPAS sebagai dasar penyusunan APBD 2026, sehingga proses perencanaan dan penganggaran lebih terarah, sinkron dengan kebijakan nasional, dan memiliki kepastian hukum yang kuat.

Dalam sistem ini, KUA–PPAS berperan sebagai pengikat antara dokumen perencanaan (RPJMD dan RKPD) dengan dokumen pelaksanaan (APBD dan DPA). KUA-PPAS yang disusun dengan baik akan memastikan APBD terarah, fokus pada prioritas pembangunan, dan dapat dieksekusi tepat waktu. Sebaliknya, KUA-PPAS yang lemah akan menimbulkan distorsi kebijakan, tarik-menarik politik, dan inefisiensi fiskal.

Kesalahan Umum dalam Penyusunan

Dari pengalaman mendampingi proses penyusunan anggaran di berbagai daerah, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Barat, setidaknya ada enam kesalahan umum yang sering terjadi dalam penyusunan KUA dan PPAS.

1. Tidak Selaras dengan Dokumen Perencanaan

Kesalahan paling mendasar adalah ketidaksinkronan KUA dan PPAS dengan RKPD dan RPJMD. Program prioritas yang muncul dalam KUA–PPAS kerap tidak tercantum dalam RKPD. Akibatnya, pembahasan dengan DPRD menjadi rumit, karena dasar perencanaannya lemah. Ini menunjukkan lemahnya koordinasi antara Bappeda dan TAPD.

2. Asumsi Makro dan Pendapatan yang Tidak Realistis

Banyak pemerintah daerah menetapkan asumsi pendapatan secara optimistis tanpa dasar data. Proyeksi PAD dinaikkan terlalu tinggi, sebagian besar komponen pendapatan asli daerah sama persis dengan target tahun sebelumnya, bahkan diturunkan – sementara potensi riil tidak mendukung. Akibatnya, APBD mengalami defisit atau terpaksa direvisi di tengah tahun. Penyusunan KUA-PPAS seharusnya menggunakan basis data historis dan analisis tren fiskal yang obyektif sesuai dengan potensi riil dengan menggunakan metode proyeksi yang standar.

3. Prioritas dan Plafon yang Tidak Jelas

KUA–PPAS sering kali gagal menetapkan prioritas pembangunan dan plafon anggaran per OPD secara jelas. Akibatnya, semua program dianggap prioritas, dan alokasi anggaran menjadi tersebar tanpa fokus. Padahal, prioritas anggaran yang tajam sangat penting untuk efektivitas pembangunan untuk mencapai target Indikator Kinerja Utama dan Indikator Kinerja Daerah yang merupakan lampiran RPJMD 2025-2030.

4. Ketidaktepatan Waktu Penyusunan

Keterlambatan penyampaian KUA–PPAS ke DPRD menjadi salah satu persoalan klasik. Padahal, regulasi mengatur batas waktu penyampaian paling lambat minggu kedua Juli tahun anggaran berjalan. Jika terlambat, pembahasan DPRD menjadi tergesa-gesa dan kualitas keputusan menurun.

5. Kekeliruan Teknis dalam Klasifikasi dan Nomenklatur

Sering terjadi kesalahan dalam penggunaan klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur kegiatan sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 90 Tahun 2019, serta dalam penginputan ke sistem SIPD. Akibatnya, pembahasan teknis di TAPD dan DPRD menjadi terhambat.

6. Keterbatasan Keterbukaan Informasi

Penyusunan KUA–PPAS yang dilakukan secara tertutup membuat dokumen tersebut tidak memiliki legitimasi kuat. Dalam beberapa kasus, KUA–PPAS menjadi sekadar formalitas administratif, bukan dokumen strategis pembangunan. Penyusunan KUA–PPAS yang dilakukan secara tertutup membuat dokumen tersebut tidak memiliki legitimasi kuat. Dalam beberapa kasus, KUA–PPAS menjadi sekadar formalitas administratif, bukan dokumen strategis pembangunan. Keterbukaan informasi tetap penting untuk memastikan kejelasan arah kebijakan dan meminimalkan kesalahpahaman dalam proses pembahasan tanpa harus memperpanjang waktu proses pengambilan keputusan. Untuk memperkuat proses penyusunan dan menghindari kesalahan umum yang sering terjadi, pemerintah daerah sebaiknya melibatkan akademisi atau profesional independen sebagai mitra strategis dalam perumusan asumsi fiskal, prioritas pembangunan, serta validasi data perencanaan.

Dampak Kesalahan Penyusunan

Kesalahan dalam penyusunan KUA dan PPAS bukan sekadar persoalan teknis, tetapi berimplikasi langsung terhadap efektivitas pembangunan. Pertama, kualitas APBD menjadi rendah dan tidak fokus pada prioritas pembangunan. Kedua, revisi anggaran sering terjadi di tengah tahun anggaran, menimbulkan ketidakpastian fiskal. Ketiga, keterlambatan penyusunan APBD menyebabkan pelaksanaan program OPD juga terlambat.

Keempat, pembahasan antara eksekutif dan legislatif menjadi tidak produktif, karena DPRD kesulitan menilai dokumen yang lemah secara substansi. Kelima, kepercayaan publik terhadap pengelolaan anggaran daerah ikut menurun.

Jalan Perbaikan yang Realistis

Agar kesalahan penyusunan tidak berulang, pemerintah daerah perlu melakukan perbaikan menyeluruh dalam proses perencanaan dan penganggaran:

Pertama, Menjamin sinkronisasi perencanaan dan penganggaran. KUA–PPAS harus menjadi turunan langsung dari RKPD dan RPJMD, bukan sekadar produk TAPD.

Kedua, Menggunakan proyeksi fiskal realistis. Target PAD dan asumsi makro harus berbasis data historis dan kapasitas riil daerah.

Ketiga, Menetapkan prioritas dengan jelas. PPAS harus mencerminkan fokus pembangunan, bukan daftar keinginan semua OPD.

Keempat,  Menjaga ketepatan waktu penyampaian. KUA dan PPAS yang disampaikan tepat waktu memberi ruang bagi pembahasan DPRD yang lebih berkualitas.

Selanjutnya yang kelima, Peningkatan kompetensi teknis. Aparatur perlu menguasai kodefikasi dan sistem SIPD agar tidak terjadi kesalahan teknis yang memperlambat proses. Laporan pelatihan “Bimtek Penyusunan APBD Berbasis SIPD 2025” menyebutkan bahwa banyak pemerintah daerah belum memahami “fitur dan mekanisme terbaru dalam SIPD versi 2025”, termasuk pergeseran regulasi dan kodefikasi yang baru, sehingga “kesalahan sekecil apa pun dalam tahap input data dapat mengakibatkan revisi berulang, keterlambatan penetapan APBD”.

Keenam, Pemerintah daerah perlu memperkuat transparansi dan keterbukaan informasi publik. Walaupun pelibatan masyarakat tidak diatur secara wajib, pemerintah daerah perlu membuka ruang akses informasi publik sebagai wujud akuntabilitas dan partisipasi yang sehat. Ketujuh : Mengoptimalkan peran akademisi dan profesional dalam proses penyusunan KUA–PPAS untuk memperkuat validitas data, objektivitas analisis, dan kualitas kebijakan fiskal daerah.

Mudahnya Pembahasan DPRD Bila Dokumen Benar

Jika penyusunan KUA dan PPAS di tingkat kabupaten/kota telah dilakukan dengan benar, akurat, dan sesuai regulasi sejak awal, maka pembahasan oleh Badan Anggaran DPRD akan menjadi jauh lebih efektif. Dokumen yang sudah matang di eksekutif akan meminimalkan perdebatan prosedural dan memungkinkan DPRD fokus pada substansi kebijakan dan prioritas pembangunan.

Selain itu, menurut ketentuan yang berlaku: Untuk APBD Provinsi: Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang APBD wajib dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri (Mendagri). Untuk APBD Kabupaten/Kota: Raperda APBD dievaluasi oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di tingkat provinsi.

Apabila penyusunan KUA–PPAS dilakukan secara cermat dan sesuai ketentuan, maka pada tahap evaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri maupun Gubernur tidak akan ditemukan kesalahan-kesalahan berulang yang selama ini sering muncul.

Berdasarkan pengalaman praktik penyusunan APBD di berbagai daerah, termasuk hasil evaluasi terhadap APBD Perubahan tahun anggaran 2025, kesalahan yang berulang sering kali terjadi karena kelemahan di tahap awal penyusunan KUA–PPAS. Jika kelemahan ini diatasi sejak dini, maka catatan evaluasi akan lebih sedikit, pembahasan lanjutan oleh DPRD menjadi lebih singkat, dan penetapan APBD lebih cepat.

Hal ini menegaskan pentingnya disiplin teknis dan substansi pada tahap awal penyusunan KUA–PPAS agar tidak terjadi koreksi berulang setelah evaluasi. Proses penyusunan yang kuat akan memperkuat legitimasi fiskal dan meningkatkan efisiensi tata kelola keuangan daerah.

Satu hal penting yang sering diabaikan adalah bahwa perencanaan anggaran yang kuat bukan sekadar urusan administratif, tetapi menentukan arah pembangunan. KUA dan PPAS yang kokoh menjadi pondasi stabilitas fiskal dan kecepatan eksekusi pembangunan. Jika penyusunan KUA dan PPAS dilakukan secara benar dan konsisten dengan aturan, maka pembahasan di Badan Anggaran DPRD menjadi jauh lebih mudah dan efisien.

Dokumen yang jelas, transparan, dan berbasis data memungkinkan DPRD: Pertama : Fokus pada substansi pembangunan, bukan perdebatan administratif; Kedua, Memperpendek waktu pembahasan dan mempercepat kesepakatan; Ketiga, Meningkatkan kualitas keputusan politik dan fiskal; dan keempat : Memperkuat sinergi eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, penyusunan KUA–PPAS yang benar bukan hanya kewajiban eksekutif, melainkan prasyarat penting bagi kelancaran proses pembahasan APBD secara keseluruhan.

Penutup

KUA dan PPAS adalah pondasi strategis bagi penyusunan APBD yang berkualitas. Dokumen ini menentukan arah kebijakan fiskal daerah, prioritas pembangunan, serta ruang gerak seluruh OPD. Jika KUA dan PPAS disusun dengan tergesa-gesa, tidak sinkron dengan perencanaan, dan tanpa dasar data yang kuat, maka proses pembahasan APBD akan macet, pelaksanaan program terlambat, dan tujuan pembangunan terhambat.

Sebaliknya, jika KUA dan PPAS disusun tepat waktu, sesuai aturan, dan berbasis data, maka pembahasan oleh DPRD dapat berjalan efisien dan fokus pada substansi. Pemerintah daerah pun akan memiliki APBD yang lebih kuat, kredibel, dan berorientasi pada hasil.

Maka, memperbaiki kualitas penyusunan KUA dan PPAS bukan sekadar soal ketertiban administrasi, melainkan strategi kunci membangun tata kelola keuangan daerah yang sehat dan pembangunan yang efektif. Sebuah pondasi kuat bagi masa depan daerah. (*) 

Berita Terkait

Back to top button