Darurat Sampah, Limbah MBG di Kota Mataram Belum Tertangani Optimal
Mataram (NTBSatu) – Persoalan sampah di Kota Mataram belum menemukan solusi tuntas. Di tengah kondisi darurat pengelolaan sampah rumah tangga, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) justru memunculkan persoalan baru.
Limbah makanan dari dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Mataram hingga kini belum tertangani secara optimal. Data terbaru dari SPPG Selaparang–Rembiga mencatat timbulan food waste atau sampah makanan menu basah pada Senin, 22 Desember 2025, cukup besar.
Sisa nasi mencapai 4,80 kilogram, sayur 22,88 kilogram, tulang ayam 10,98 kilogram, dan tahu 1,56 kilogram. Sementara itu, menu kering tidak menghasilkan sisa makanan.
Kepala SPPG Selaparang–Rembiga, I Gede Artana Putra mengakui limbah makanan masih didominasi dari menu basah. “Iya, food waste ada di menu basah. Kalau menu kering tidak ada food waste,” ujarnya, Selasa, 30 Desember 2025.
Ia menyebut, pengelola dapur telah melakukan langkah terbatas untuk mengurangi dampak sampah MBG. Salah satunya melalui kerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Mataram dan peternak lokal.
“Kami kan kerja sama dengan DLH untuk pengangkutan sampahnya. Selain itu, ada juga peternak lokal yang mengambil sisa makanan untuk pakan ternak,” katanya.
Namun, langkah tersebut belum cukup menjawab persoalan pengelolaan sampah MBG secara menyeluruh.
Berdasarkan estimasi pusat, food waste MBG berkisar 25–50 gram per siswa per hari. Dengan asumsi satu dapur melayani sekitar 3.000 siswa, timbulan sampah organik diperkirakan mencapai 75 hingga 150 kilogram per hari dari satu dapur.
Angka tersebut berpotensi menambah beban sistem persampahan Kota Mataram, yang hingga kini masih berada dalam kondisi darurat.
DLH Siapkan Kerja Sama dengan SPPG
Kepala Bidang Persampahan DLH Kota Mataram, Vidi Partisan Yuris Gamanjaya mengungkapkan, pihaknya telah menyiapkan skema kerja sama pengelolaan sampah MBG dengan para pengelola dapur.
“Pemerintah Kota Mataram memberikan kesempatan kepada setiap dapur MBG untuk bekerja sama dengan DLH. Draf MoU-nya sudah kami siapkan,” ujar Vidi.
Meski demikian, kerja sama tersebut belum berjalan maksimal. DLH masih membahas mekanisme retribusi sampah yang akan disetorkan ke kas daerah.
“Saya belum bisa meng-update kondisi terkininya, karena saat ini kami masih fokus mencari solusi pengelolaan sampah dalam situasi darurat,” ucapnya.
DLH mengklasifikasikan sampah dari dapur MBG sebagai sampah non-rumah tangga, karena bersumber dari aktivitas dapur layanan publik.
“Sampah MBG itu sampah non-rumah tangga. Sumbernya bukan dari rumah tangga,” kata Vidi.
Saat ini, pengangkutan sampah MBG masih mengandalkan petugas roda tiga di tingkat lingkungan atau pihak ketiga yang belum menjalin kerja sama resmi dengan Pemerintah Kota Mataram. Kondisi tersebut menyulitkan DLH dalam memetakan volume sampah MBG secara harian.
“Karena belum ada kerja sama resmi, data harian sampah MBG masih sulit kami pastikan,” ujarnya.
Padahal, draf MoU pengelolaan sampah MBG telah rampung dan hanya menunggu pertemuan lanjutan dengan para pengelola dapur. Tanpa langkah cepat dan sistematis, limbah MBG berisiko memperparah krisis sampah yang masih membelit Kota Mataram.
“Sebenarnya MoU-nya sudah jadi. Tinggal kami bertemu kembali dengan pengelola dapur MBG supaya bisa segera jalan,” jelas Vidi. (*)



