
Oleh: Andiyamsa, SH. MH.
Sebuah analisis terbaru mengungkapkan bahwa Kabupaten Lombok Utara (KLU) berada di jalur menuju defisit air yang signifikan pada tahun 2045.
Hal ini disebabkan oleh kombinasi antara peningkatan permintaan air dari pertumbuhan populasi dan sektor pariwisata yang pesat, serta penurunan ketersediaan air akibat perubahan iklim dan degradasi lingkungan.
Analisis tersebut merupakan seruan mendesak untuk pengambilan keputusan kebijakan dan investasi strategis guna menjamin ketahanan air bagi masyarakat Lombok Utara di masa depan.
Lombok Utara, dengan topografi yang didominasi lereng curam (sekitar 60% area memiliki kemiringan >40%) dan iklim tropis dengan curah hujan yang bervariasi, secara inheren rentan terhadap tekanan air.
Meskipun curah hujan rata-rata tahunan pada tahun 2012 adalah 1528 mm, aliran permukaan yang cepat pada lereng curam membatasi pengisian air tanah yang efektif. Ditambah dengan luasnya lahan kering (>1000 hektar) yang bergantung pada irigasi tadah hujan, kerentanan wilayah ini terhadap kelangkaan air, terutama selama musim kemarau, semakin diperparah.
Peningkatan Permintaan Air yang Pesat Proyeksi menunjukkan peningkatan signifikan dalam kebutuhan air di Lombok Utara.
Populasi Nusa Tenggara Barat (NTB), termasuk Lombok, diperkirakan meningkat dari 5,23 juta jiwa pada tahun 2020 menjadi 6,71 juta jiwa pada tahun 2045, dengan laju pertumbuhan tahunan rata-rata 1,63%.
Untuk Lombok Utara sendiri, proyeksi populasi pada tahun 2045 adalah 362.076 jiwa, dengan estimasi kebutuhan air domestik tahunan mencapai 23.127.605 m³/tahun. Angka ini belum termasuk kebutuhan air untuk sektor pariwisata dan pertanian.
Sektor pariwisata adalah pendorong utama permintaan air, terutama di Kepulauan Tiga Gili (Gili Trawangan, Gili Air, Gili Meno). Gili Trawangan saja menampung lebih dari 3.000 pengunjung setiap hari, yang berkontribusi pada peningkatan konsumsi yang substansial.
Kasus Gili Air menjadi peringatan serius, di mana pertumbuhan pariwisata yang cepat menyebabkan penarikan air yang tidak berkelanjutan antara tahun 2016-2019, mengakibatkan penipisan lensa air tawar dan salinisasi air tanah.
Gili Meno juga menghadapi masalah air bersih kronis dengan sebagian besar air sumur yang asin. Hal ini menunjukkan bahwa pariwisata bertindak sebagai “pengganda” permintaan air, dengan konsumsi per kapita wisatawan seringkali lebih tinggi daripada penduduk lokal.
Ancaman Terhadap Pasokan Air
Pasokan air di Lombok Utara semakin terancam oleh perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Perubahan iklim telah menyebabkan pergeseran musim yang tidak teratur, musim kemarau yang lebih panjang, dan musim hujan yang lebih pendek namun intens, mengganggu siklus pertanian dan ketersediaan air.
Proyeksi untuk Nusa Tenggara menunjukkan penurunan ketersediaan air sebesar 1.654,82 m³/kapita/tahun pada tahun 2045. Peningkatan suhu juga diperkirakan menyebabkan tingkat evapotranspirasi yang lebih tinggi, mengurangi air bersih yang tersedia.
Degradasi lingkungan, termasuk deforestasi dan perubahan penggunaan lahan yang tidak terkontrol, mengurangi kapasitas lahan untuk menyerap air hujan dan mengisi kembali akuifer. Ini menyebabkan peningkatan aliran permukaan, erosi, dan sedimentasi, yang mengakibatkan banjir bandang yang lebih sering dan intens selama musim hujan, diikuti oleh kekeringan yang lebih parah.
Selain itu, kenaikan permukaan laut global dan abrasi pantai menimbulkan ancaman serius bagi akuifer air tawar pesisir melalui intrusi air asin.
Pengalaman Gili Air dengan salinisasi air tanah adalah bukti nyata dari risiko ini. Pengelolaan sampah yang tidak efektif juga berkontribusi pada polusi air permukaan dan air tanah, mengurangi kegunaan pasokan yang ada.
Rekomendasi Strategis untuk Ketahanan Air
Untuk mengatasi tantangan ini dan mencapai ketahanan air pada tahun 2045, diperlukan tindakan segera dan terkoordinasi. Rekomendasi strategis meliputi:
Pengelolaan Permintaan Air yang Terintegrasi: Menerapkan program efisiensi air yang komprehensif di semua sektor, melakukan studi daya dukung air untuk pariwisata, dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang konservasi air.
Peningkatan dan Diversifikasi Pasokan Air: Melindungi dan merehabilitasi daerah tangkapan air, mengembangkan infrastruktur penangkapan dan penyimpanan air seperti embung dan waduk, melakukan pemantauan dan pengelolaan air tanah yang ketat, serta berinvestasi dalam teknologi alternatif seperti desalinasi dan pemurnian air hujan.
Perluasan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM): Mengembangkan dari tiga SPAM yang ada (SPAM Bayan, Kayangan, serta SPAM Gangga-Tanjung-Pemenang) menjadi empat SPAM, dengan SPAM khusus untuk Tiga Gili.
Sumber Air Baku: SPAM daratan (Bayan, Kayangan, dan Gangga-Tanjung-Pemenang) akan bersumber dari mata air dan sungai di daratan KLU. Sementara itu, SPAM Tiga Gili akan bersumber dari desalinasi air laut.
Mitigasi Dampak Perubahan Iklim dan Degradasi Lingkungan: Menerapkan sistem pengelolaan sampah yang efektif, memprioritaskan konservasi dan restorasi ekosistem pesisir (terumbu karang dan mangrove), dan mengembangkan strategi adaptasi iklim untuk pertanian.
Kerangka Kebijakan dan Tata Kelola yang Kuat: Memastikan adanya Rencana Induk Sistem Penyediaan Air Minum (RISPAM) yang komprehensif, menyelaraskan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan kebijakan pengelolaan sumber daya air, dan mendorong kolaborasi multi-pihak.
Tanpa intervensi yang cepat dan terkoordinasi, Lombok Utara akan menghadapi tantangan serius dalam memenuhi kebutuhan air masyarakatnya pada tahun 2045. Namun, dengan perencanaan yang matang, investasi yang tepat, dan komitmen kolektif, tujuan ketahanan air dapat dicapai. (*)