Akademisi Ingatkan Bom Waktu Pascatambang di KSB, Minta Pemda Jangan Hanya Andalkan PT AMNT
Mataram (NTBSatu) – Wacana penutupan aktivitas pertambangan PT AMMAN Mineral Nusa Tenggara (AMNT) di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), kembali mengemuka.
Akademisi Pertambangan Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat), Syamsul Hidayat Daud, Ph.D., menilai, pemerintah daerah (pemda) tidak boleh hanya bergantung pada kewajiban pascatambang perusahaan. Sebab, berisiko menimbulkan guncangan sosial ekonomi yang serius.
Syamsul menegaskan, Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020 serta Kepmen ESDM Nomor 344K Tahun 2025 telah mewajibkan perusahaan tambang. Termasuk PT AMNT, untuk melaksanakan reklamasi dan pascatambang.
“Kewajiban pascatambang tidak hanya pembongkaran dan reklamasi lahan, tetapi juga pengembangan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat lokal,” ujarnya, Minggu, 21 Desember 2025.
Namun demikian, ia menilai kewajiban tersebut tidak cukup untuk menjamin ketahanan ekonomi masyarakat KSB setelah tambang berhenti beroperasi. Menurutnya, dampak ekonomi pascatambang berpotensi jauh lebih besar daripada yang mampu ditopang program perusahaan.
“Pemerintah daerah KSB seharusnya sudah mulai menyiapkan intervensi kebijakan sendiri. Tidak realistis jika sepenuhnya berharap pada program pascatambang perusahaan, karena dampaknya tidak akan signifikan,” tegasnya.
Ungkap Tiga Fase Krisis Pascatambang
Syamsul memetakan, sedikitnya tiga fase krisis pascatambang yang berpotensi terjadi di KSB. Fase pertama adalah shock economy atau goncangan ekonomi yang perkiraannya terjadi pada lima tahun awal setelah penutupan tambang.
Pada fase ini, aktivitas ekonomi mikro yang selama ini bergantung pada pertambangan, seperti perkebunan, peternakan, warung makan. Kemudian, transportasi, penginapan, hingga tenaga kerja lokal, akan terganggu bahkan terhenti.
“Ini termasuk karyawan PT AMNT maupun subkontraktor. Ketika operasi berhenti, sumber penghasilan utama masyarakat akan ikut berhenti,” jelasnya.
Fase kedua, lanjut Syamsul, penyesuaian yang berlangsung pada rentang 5–10 tahun berikutnya. Pada tahap ini, masyarakat dipaksa mencari sumber penghidupan alternatif di luar sektor tambang untuk menopang ekonomi keluarga.
Adapun fase ketiga adalah kemandirian, dengan harapan aktivitas ekonomi masyarakat sudah berjalan berdasarkan sektor dan sumber baru yang lebih berkelanjutan. Namun, Syamsul menegaskan, fase ini tidak akan tercapai tanpa kebijakan daerah yang kuat dan terencana sejak dini.
Menurutnya, perencanaan pascatambang seharusnya tidak hanya sebagai kewajiban administratif perusahaan, melainkan sebagai agenda strategis pembangunan daerah jangka panjang.
“Jika tidak dipersiapkan sejak sekarang, penutupan tambang berpotensi meninggalkan persoalan sosial ekonomi yang lebih besar daripada manfaat yang pernah diterima,” tambahnya. (MKD/*)



