OpiniWARGA

Kenapa Dunia Peternakan Sapi Bima-Dompu Harus Menjadi Perhatian Serius Pemerintah

Oleh: Furkan Sangiang – Ketua Asosiasi Peternak dan Pedagang Sapi Bima Indonesia

Ini bukan sekadar tulisan. Ini adalah suara yang lahir dari tanah kandang dari bau rumput basah yang menempel di baju para peternak, dari kaki yang penuh lumpur, dari lelah yang ditahan dalam diam. Suara ini tumbuh dari perjalanan panjang saya, sejak tahun 2016 saat masih kuliah S2 sambil bekerja sebagai jurnalis.

Setiap pekan saya berpindah antara Depok, Bogor, dan Jakarta untuk melihat langsung kehidupan para peternak Bima dan Dompu di tanah rantau. Dan dari situlah saya belajar bahwa dunia sapi bukan sekadar jual-beli. Ini tentang hidup, tentang harapan, tentang cara ribuan keluarga kita bertahan.

Saya menginjak tanah kandang bukan sekali dua. Saya hafal suara pagi di kandang derap sapi yang mulai bergerak, suara ember, seruan pelan peternak yang bangun bahkan sebelum azan subuh. Saya hafal alur pembeli yang datang dan pergi, negosiasi yang melelahkan, dan harapan besar yang digantungkan pada seekor sapi.

Awalnya saya hanya ingin membantu pemasaran, tetapi dari tiap ekor sapi yang terjual, saya mendapat fee Rp500 ribu hingga satu juta. Jumlah kecil untuk Jakarta, namun sangat berarti bagi mahasiswa rantau seperti saya. Dari situ saya belajar, sapi bukan sekadar hewan ternak sapi adalah mesin bertahan hidup.

Ketika Musibah Besar Datang Tanpa Ampun

Lalu datang tahun 2020. Tahun yang tidak akan pernah saya lupakan.

Pandemi menghantam, dan bersamaan dengan itu, musibah terbesar menimpa sekitar 40 peternak Bima dan Dompu. Mereka ditipu oleh seorang oknum pemilik kandang di Depok. Sekitar 500 ekor sapi mereka terjual habis menjelang Idul Qurban, namun ketika waktu pembayaran tiba, uang itu lenyap begitu saja. Total kerugian mencapai empat miliar rupiah.

Saat itu, selain aktif sebagai jurnalis, saya menjabat Sekretaris BMMB Depok. Dan saya ikut memikul beban mental itu. Para peternak menunggu, memohon, menangis. Ada yang jatuh sakit. Ada yang bingung bagaimana memberi makan keluarga. Pelaku kabur, menjadi DPO, dan uang mereka hilang.

Kami warga Bima dan Dompu di Jabodetabek patungan, hanya agar para peternak ini tidak kelaparan. Dari peristiwa itu, saya sadar betapa rapuhnya hidup mereka. Betapa besarnya risiko yang mereka pikul. Dan betapa sedikit perlindungan yang mereka dapat.

Dari situlah saya membentuk asosiasi. Bukan untuk panggung. Bukan untuk gelar. Tetapi agar mereka tidak berjalan sendirian. Karena penipuan seperti itu terjadi hampir setiap tahun, sapi dibawa keluar kandang bermodal DP ala kadarnya, tapi ketika hari pembayaran tiba, uangnya tidak pernah datang. Jumlah kerugian? Mulai dari ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Membangun Kandang, Menampung Ratusan Sapi, Menampung Luka yang Sama

Setelah itu, saya membuka kandang sendiri. Biayanya tidak kecil. Sewa lahan Rp20 juta, bangun kandang Rp10 juta, sewa pikap dua unit dan sopir Rp15 juta, ditambah biaya koordinasi, makan, transportasi, dan segala tetek-bengeknya. Semua ditanggung pemilik kandang, sementara peternak membayar Rp1,5 juta dan juga fee penjualan tergantung transaksi.

Kandang itu pernah menampung ratusan sapi. Saya mengurus perizinan, keamanan, transaksi, bahkan konflik yang tak pernah berhenti. Dan di sanalah saya melihat sisi paling manusiawi dari para peternak Bima–Dompu.

Mereka tidur di bale bamboo dan merasakan dinginnya malam. Bangun sebelum matahari. Menelusuri Jonggol, Leuwiliang, Bekasi, hingga Karawang untuk mencari rumput. Mereka makan setelah sapi kenyang. Mereka berjaga malam karena pencuri selalu mengintai. Motor hilang. HP hilang. Bahkan mobil pikap pun pernah disikat.

Ada yang jatuh dari truk. Ada yang kecelakaan kerja. Ada yang meninggal. Dan kami di asosiasi saling merogoh kantong untuk membantu.

Bayangkan, hampir 125 kandang sapi milik orang Bima–Dompu tersebar di Jabodetabek, dan semuanya menjalani hidup dengan risiko yang sama. Dan setiap tahun, ribuan peternak Bima–Dompu berpindah ke Jabodetabek selama 30 hari menjelang Idul Qurban. Ribuan orang. Ribuan harapan. Ribuan risiko.

Tahun yang Menghancurkan, 2023

Belum pulih dari luka 2020, badai lain datang.

Tahun 2023, terjadi over-suplai sapi. Biasanya hanya 12–16 ribu sapi yang masuk Jabodetabek. Tiba-tiba, jumlahnya melonjak lebih dari 30 ribu ekor. Padahal kami sudah mengingatkan pemerintah daerah agar tidak berlebihan mengeluarkan izin sapi. Tapi entah kenapa, izin itu tetap keluar, hingga jumlahnya tak terkendali.

Akhirnya sapi Bima dilelang massal. Harga jatuh bebas. Ada yang terjual Rp8 juta. Ada yang Rp5 juta. Padahal modalnya Rp10–Rp15 juta, seringkali dari pinjaman bank, koperasi, bahkan rentenir.

Saya melihat langsung bagaimana para peternak itu jatuh. Ada yang pingsan. Ada yang jatuh sakit. Ada yang terkena stroke karena tekanan mental. Tidak ada yang bisa menahan air mata meski sebagian besar jatuhnya ke dalam, bukan keluar.

Kami berteriak ke mana-mana, tapi kami sadar, itulah risiko yang harus kami pikul, meski tidak seharusnya demikian.

2024–2025, Tahun yang Masih Penuh Luka

Dua tahun berikutnya tidak lebih baik.
Kapal terbatas di Gili Mas dan Tano.

Sapi-sapi dibiarkan menunggu berharian di tengah panas hingga banyak yang mati sebelum naik kapal. Puluhan ekor mati sia-sia. Peternak rugi. Kami marah. Kami bersuara keras. Sampai terjadi keributan di pelabuhan.

Kami rapat, negosiasi, hingga akhirnya diberi izin lewat jalur Bali. Tapi masalahnya terus berulang. Dan kami hanya berharap 2026 tidak lagi diwarnai tragedi yang sama.

Dibalik Semua Luka Itu, Ada Potensi Besar yang Belum Disentuh Pemerintah

Beberapa hari lalu, Tim Percepatan Gubernur NTB yang dipimpin Prof. Dahlanudin mengajak saya bertemu. Mereka ingin mendengar langsung suara lapangan. Dan saya jelaskan semuanya.

  • 20 ribu sapi lebih masuk Jakarta setiap tahun;
  • 125 kandang milik orang Bima–Dompu di Jabodetabek;
  • Ribuan peternak datang setiap tahun;
  • 250 truk tronton keluar-masuk Bima–Jakarta;
  • Ongkos per tronton Rp30 juta;
  • Pungli tidak pernah berhenti;
  • Penipuan terjadi hampir tiap tahun;
  • Keuntungan peternak Rp3–Rp5 juta/ekor jika lancar;
  • Risiko tidak laku selalu mengintai;
  • Perizinan ruwet, mahal, melelahkan;
  • Kapal terbatas;
  • Sapi mati;
  • Rantai ekonomi tidak sehat.

Dan yang paling penting, dalam catatan kami, perputaran ekonomi sapi Bima–Dompu mencapai lebih dari Rp750 miliar rupiah setiap tahun. Uang itu kembali ke Bima dan Dompu. Menghidupi anak-anak. Membangun rumah. Membayar biaya sekolah. Menafkahi keluarga.

Potensi yang luar biasa ini seharusnya mendapat perlindungan, bukan dibiarkan terombang-ambing nasib.

Saya teringat ucapan Dr. Firman dari Unram: “Jika ingin membangun ekonomi daerah, carilah akar historis ekonominya”.

Dan akar itu, bagi Bima dan Dompu, adalah sapi dan kuda. Dari zaman kerajaan hingga hari ini.

Saya sendiri adalah saksi hidupnya. Pendidikan saya dari S2 hingga S3 berdiri sebagian besar dari uang sapi. Maka saya menulis opini ini bukan hanya untuk bicara. Tetapi untuk mengetuk pintu pemerintah agar mereka melihat apa yang kami lihat setiap hari.

Di kandang,
di atas truk,
di pelabuhan,
di jalan lintas,
di Depok, Bogor, Karawang,
di Bima dan Dompu.

Dunia peternakan sapi Bima–Dompu bukan sekadar sektor ekonomi. Ini adalah napas hidup ribuan keluarga.

Jangan biarkan mereka berjuang sendirian. Dan perlu di cata sapi bima sudah punya branding sengat bagus, hanya saja perlu ditata dengan baik. Mulai aspek hilir sampai hulur, dan saya menaruh harapan besar kapada pak Iqbal Gurnur NTB. (*)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button