Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Melonjak, DPRD Mataram Soroti Minimnya Anggaran untuk Psikolog dan Relawan
Mataram (NTBSatu) – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Mataram masih menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Bentuk kekerasan yang terjadi mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, trafficking, penelantaran hingga kekerasan lainnya.
Di antara seluruh bentuk kekerasan tersebut, kekerasan seksual tercatat sebagai kasus paling dominan, terutama yang menimpa anak-anak.
Data dari DP3A Kota Mataram, angka kekerasan terhadap perempuan dalam lima tahun terakhir masih tinggi dan berfluktuasi dengan catatan kasus dari 2018-2024 sebanyak 58, 33, 49, 22, 35, 36, dan melonjak menjadi 84 kasus.
Sementara itu, untuk kekerasan terhadap anak pada tahun 2024 tercatat 31 kasus. Tingginya angka ini menunjukkan, sistem perlindungan perempuan dan anak di Kota Mataram masih lemah, meski di sisi lain meningkatnya pelaporan dapat menjadi indikator kesadaran masyarakat untuk melaporkan kekerasan semakin tinggi.
Partisipasi masyarakat, terutama di tingkat desa dinilai sangat penting dalam upaya pencegahan dini. Sekretaris Komisi IV DPRD Kota Mataram, Nyayu Ernawati menilai, perlindungan perempuan dan anak tidak akan berjalan maksimal tanpa dukungan anggaran yang memadai, terutama untuk menjaga keberlanjutan layanan pengaduan dan pendampingan.
“Sering kali teman-teman relawan dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) hanya dibayar dengan tanda terima kasih. Padahal mereka menangani kasus-kasus berat setiap hari,” ujar Nyayu kepada NTBSatu, Senin, 24 November 2025.
Ia turut menyampaikan, perlunya penambahan jumlah psikolog yang selama ini menjadi garda depan dalam pendampingan korban.
Nyayu mengungkapkan, sebelumnya ia telah mengalokasikan dana Pokok-pokok Pikiran (Pokir) sebesar Rp250–Rp500 juta untuk memperkuat penanganan kekerasan pada anak. Namun, perubahan skema dana transfer membuat anggaran tersebut tidak dapat terealisasi tahun ini.
“Ada perubahan skema, kami tidak lagi bisa menganggarkan Pokir untuk program ini. Tahun ini akhirnya tidak ada alokasi,” jelasnya.
Ia berharap, pemerintah kota segera meningkatkan perhatian serta memperkuat anggaran perlindungan perempuan dan anak, termasuk peningkatan kesejahteraan relawan dan tenaga psikolog yang bekerja di lapangan. (*)



