OpiniWARGA

Alarm Hidrometeorologi NTB: Ancaman Cuaca Ekstrem Desember yang Tak Boleh Diabaikan

Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik – Staf Ahli Gubernur Bidang Sosial dan Kemasyarakatan

Memasuki November 2025, Nusa Tenggara Barat berada pada fase yang menuntut kewaspadaan tertinggi. Langit kelabu yang menggantung sejak akhir Oktober bukan sekedar pertanda pergantian musim; ia adalah sinyal ekologis bahwa wilayah ini sedang memasuki babak krusial dalam siklus bencana hidrometeorologi yang kian intens dalam satu dekade terakhir.

Banjir di Bima, genangan di Sumbawa, angin kencang di Lombok Barat, dan naiknya debit sungai di berbagai daerah menjadi peringatan dini bahwa musim ekstrem telah mengetuk pintu NTB.

Fenomena ini tidak datang secara tiba-tiba. Sejak 2016, NTB telah mencatat rangkaian bencana hidrometeorologi yang berulang dan semakin meningkat intensitasnya.

Banjir besar Bima pada 2016 dan 2017, banjir bandang di Sumbawa pada 2019, puting beliung di Dompu dan Lombok Barat pada 2023–2024, serta banjir-longsor pada 2024 menjadi rekam jejak yang memperlihatkan dua fakta penting: pertama, perubahan iklim telah mengubah pola cuaca di NTB; kedua, kerentanan ekologis wilayah ini telah menumpuk akibat degradasi lingkungan, alih fungsi lahan, serta infrastruktur drainase yang tidak sebanding dengan pertumbuhan kota.

Di atas landasan kerentanan tersebut, data klimatologi 2025 menunjukkan tren yang patut diwaspadai. Curah hujan sejak akhir Oktober meningkat 30–40 persen di atas normal, dan beberapa wilayah telah mencatat lebih dari 200 mm/bulan.

Pemodelan iklim yang dilakukan BMKG dan sejumlah lembaga riset atmosfer memproyeksikan puncak hujan ekstrem akan terjadi pada Desember 2025 hingga awal Januari 2026, dengan intensitas harian yang dapat mencapai 250–300 mm. Intensitas sebesar ini secara ilmiah tergolong ekstrem dan dapat memicu banjir bandang pada daerah aliran sungai yang telah mengalami deforestasi, erosi tinggi, serta sedimentasi berlebih.

Salah satu pemicu utama anomali tersebut adalah meningkatnya suhu permukaan laut di Samudera Hindia hingga +1,5°C. Kondisi ini memperkuat pertumbuhan awan konvektif, meningkatkan kelembapan udara, dan memanjangkan durasi hujan di wilayah Indonesia tengah. Peningkatan suhu laut ini bukan hal baru; ia berulang pada 2016, 2017, dan 2020, yang menjadi tahun-tahun yang juga ditandai dengan banjir besar di NTB. Dengan kata lain, sejarah meteorologi sebenarnya telah memberi tanda berulang, dan tahun ini tanda itu terlihat kembali dengan jelas.

Selain curah hujan ekstrem, NTB menghadapi ancaman angin puting beliung yang kian sering terjadi. Analisis dinamika atmosfer menunjukkan adanya wind shear vertikal kuat serta nilai energi badai (CAPE) yang berulang kali melampaui 2000 J/kg, kondisi ideal bagi terbentuknya puting beliung skala lokal.

Dalam dua tahun terakhir, Dompu dan Sumbawa Barat mencatat peningkatan kerusakan akibat angin ekstrem ini. Rumah, sekolah, dan fasilitas umum roboh dalam hitungan menit, membuktikan bahwa polanya tidak lagi bisa dianggap musiman biasa, tetapi tren iklim baru yang perlu diantisipasi.

Di sisi lain, ancaman longsor juga meningkat, terutama pada wilayah lereng di Lombok Timur, Lombok Utara, dan kawasan kaki Tambora. Degradasi vegetasi dan perubahan fungsi lahan telah membuat banyak daerah berada pada tingkat kerentanan tinggi.

Ketika hujan turun berturut-turut selama tiga hari, tanah jenuh air dan mudah bergerak. Di kawasan pesisir, ancaman banjir rob mengintai seiring meningkatnya angin kencang dan tekanan laut. Teluk Bima, Alas Barat, dan sebagian pesisir Lombok Utara telah mencatat kejadian banjir rob yang lebih sering dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Jika kita melihat data bencana sejak 2016 hingga 2025, jelas bahwa pola ancaman di NTB tidak lagi bersifat acak, tetapi mengikuti tren yang konsisten:

  • Bima konsisten menjadi wilayah dengan frekuensi banjir tertinggi, terutama pada hilir DAS yang mengalami pendangkalan.
  • Dompu dan Sumbawa menunjukkan kenaikan kejadian puting beliung dan angin ekstrem.
  • Lombok Timur dan Lombok Utara menjadi episentrum longsor.
  • Mataram, Bima Kota, dan Sumbawa Besar rentan terhadap banjir perkotaan akibat keterbatasan kapasitas drainase.

Tren ini memberikan gambaran bahwa NTB sedang berada pada fase di mana ancaman musim hujan tidak lagi sederhana. Ia menjadi kompleks, berlapis, dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Karena itulah, langkah mitigasi tidak boleh menunggu. Pemerintah daerah memiliki waktu yang sangat sempit: hanya beberapa minggu pada November untuk menyiapkan wilayah sebelum memasuki puncak ancaman di Desember – Januari. Ada lima langkah cepat yang harus dilakukan segera.

Pertama, pembersihan sungai, saluran drainase, dan gorong-gorong secara total. Banjir di banyak wilayah bukan semata karena sungai meluap, tetapi karena air hujan tidak memiliki saluran untuk mengalir akibat sedimentasi dan sampah. Sungai-sungai strategis seperti Brang Bima, Jangkok, Meninting, dan Batulayar harus dibersihkan. Drainase di kota-kota besar harus disisir, terutama di kawasan padat penduduk.

Kedua, penguatan tebing sungai dan tanggul darurat. Wilayah-wilayah kritis seperti Lenangguar, Jerowaru, Alas Barat, dan Dompu Utara perlu segera dipasang sandbag, bronjong darurat, dan pengaman lereng untuk menahan air ketika hujan ekstrem datang. Keterlambatan tindakan pada tahap ini hampir pasti berujung pada banjir besar.

Ketiga, penguatan sistem peringatan dini. Pemerintah harus mendistribusikan water level sensor portable, mengaktifkan posko siaga 24 jam, dan memastikan semua alat komunikasi darurat (HT, sirine, radio) berfungsi. Desa-desa rawan banjir bandang harus memiliki regu pemantau sungai yang bekerja setiap enam jam.

Keempat, penyiapan tempat pengungsian dan logistik secara terdesentralisasi. Gudang logistik BPBD harus diisi dan disebar hingga tingkat kecamatan dan desa. Perlengkapan bayi, makanan siap saji, selimut, dan obat-obatan harus tersedia dekat wilayah rawan. Kesiapan logistik yang lambat sering kali memperbesar dampak bencana.

Kelima, instruksi siaga total bagi aparatur daerah. Camat, lurah, dan kepala desa harus berada di wilayahnya, memimpin langsung pengawasan sungai dan lereng. Pemerintah daerah harus mengurangi kegiatan besar yang berpotensi mengalihkan fokus aparatur. Kepemimpinan yang hadir di lapangan adalah syarat mutlak bagi mitigasi efektif.

Namun, upaya pemerintah tidak akan berarti tanpa kesiapsiagaan masyarakat. Ada langkah sederhana tetapi sangat menentukan yang dapat dilakukan warga mulai hari ini. Membersihkan selokan dan saluran air di sekitar rumah, menyiapkan tas siaga keluarga, mengetahui jalur evakuasi, serta mengikuti informasi resmi adalah tindakan yang terbukti menyelamatkan banyak nyawa pada bencana sebelumnya. Perhatian khusus juga harus diberikan kepada kelompok rentan yaitu anak-anak, lansia, ibu hamil, dan penyandang disabilitas, yang paling sulit menyelamatkan diri ketika keadaan darurat terjadi.

Pada akhirnya, November 2025 adalah bulan penentu. Kita sedang berdiri di ambang musim ekstrem, dan pilihan kita saat ini akan menentukan seberapa besar dampak yang akan dihadapi NTB dalam dua bulan mendatang. Bencana memang tidak dapat dihentikan, tetapi kerusakannya dapat dikurangi. Ketika alam memperingatkan, maka kewajiban manusia adalah bersiap. Dan hanya dengan kesiapan itulah NTB dapat memasuki Desember dengan keteguhan, bukan ketakutan; dengan kewaspadaan, bukan kepanikan; dan dengan tekad untuk melindungi kehidupan di tanah yang kita cintai ini. (*)

Berita Terkait

Back to top button