OpiniWARGA

Ketika Sampah Mengalahkan Laut Biru Bima

Oleh: Faisal M. Jasin (Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Institut Kesehatan dan Teknologi Jakarta dan Bidang Kerjasama Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

Sofia nama samaran turis berwarga negara spanyol berdiri di tepian Teluk Bima, kamera tergantung di leher, berharap merekam birunya laut yang tersohor di brosur pariwisata. Namun yang terekam justru plastik terapung, botol minuman sekali pakai yang terombang-ambing, dan aroma busuk dari sampah pasar yang hanyut ke laut. Ia mengernyit, lalu menurunkan kameranya. Keindahan yang dijanjikan tak sepenuhnya tampak. Kota Bima, yang seharusnya tampil sebagai mutiara timur Sumbawa, kini terperangkap dalam krisis sampah yang nyata. Panorama laut biru dan garis pantai indah masih ada, tetapi bayangan gunungan sampah di jalan, selokan yang tersumbat, serta limbah yang hanyut ke laut semakin mencoreng wajah kota.

Wali Kota Bima H. A. Rahman (Aji Man), pada 21 April 2025, menanggapi viralnya video aksi buang sampah di Pantai Amahami, menegaskan agar peraturan daerah dan peraturan wali kota tentang sampah benar-benar dijalankan. “Semua pihak harus punya komitmen moral,” ujarnya melalui pernyataan resmi Pemkot. Seruan ini penting, tetapi realitas di lapangan masih jauh dari harapan. Hingga kini, Pantai Amahami kerap dipenuhi plastik bekas jajanan, kantong kresek dari pasar malam, hingga sisa makanan yang hanyut ke laut. Di beberapa sudut kota, tumpukan sampah rumah tangga menunggu berhari-hari untuk diangkut. Aroma busuk menusuk hidung, sementara anak-anak tetap bermain di dekatnya. Kontras ini menegaskan bahwa aturan tanpa kedisiplinan bersama hanyalah catatan di kertas.

Namun Bima tidak sendirian. Krisis sampah adalah persoalan global yang telah menjerat banyak kota. Seoul, Korea Selatan, pada awal 1990-an juga nyaris lumpuh oleh sampah. Jalanan penuh plastik, TPA meluap, dan masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah kota. Lalu mereka berani mengambil kebijakan radikal: pay-as-you-throw, sistem di mana warga membayar sesuai jumlah sampah yang mereka hasilkan. Sampah organik wajib dipisahkan, residu harus masuk kantong plastik resmi pemerintah. Semakin banyak sampah, semakin besar biaya. Dalam lima tahun, volume sampah kota itu turun hampir 40 persen. Bagi warga, kebijakan ini awalnya pahit, tetapi hasilnya membuktikan bahwa perubahan besar hanya lahir dari keberanian.

Tidak saja diluar negeri, Indonesia pun memiliki cerita inspiratif. Surabaya, misalnya, mengubah cara warganya melihat plastik. Pemerintah kota meluncurkan program bus gratis yang bisa dinaiki dengan menukar botol plastik. Inovasi sederhana ini tidak hanya mengurangi sampah, tetapi juga membangun citra Surabaya sebagai kota kreatif yang peduli lingkungan. Sementara itu, di Banjarmasin, pelarangan kantong plastik sekali pakai berhasil menekan konsumsi plastik hingga puluhan ton per tahun. Pelajaran dari kota-kota ini jelas: solusi lahir bukan dari membangun TPA baru semata, tetapi dari keberanian politik, inovasi sosial, dan keterlibatan warga.

“Sampah bukan sekadar limbah. Ia adalah cermin siapa kita, bagaimana kita memperlakukan kota kita, dan masa depan seperti apa yang ingin kita wariskan.”

Bima sebenarnya tidak kekurangan regulasi. Peraturan daerah ada, seruan moral pun berulang kali dilontarkan. Namun regulasi tanpa implementasi hanyalah wacana. Penegakan hukum harus menjadi fondasi, agar warga tahu bahwa membuang sampah sembarangan bukan hanya kebiasaan buruk, melainkan pelanggaran yang merugikan semua. Tetapi hukum saja tidak cukup. Warga juga perlu diberi alasan untuk peduli. Di banyak kota, insentif sederhana terbukti mampu mengubah perilaku. Bayangkan jika setiap kelurahan di Bima memiliki bank sampah yang benar-benar berfungsi. Plastik yang dipilah bisa ditukar dengan sembako, tabungan, atau bahkan potongan pajak. Dengan cara ini, sampah tidak lagi dilihat sebagai beban, melainkan peluang.

Lebih jauh, Bima dapat bereksperimen dengan kebijakan progresif. Skema pay-as-you-throw misalnya, bisa diuji coba di satu kelurahan sebagai proyek percontohan. Dengan pengawasan ketat, warga akan belajar bahwa setiap plastik yang mereka buang punya harga yang harus dibayar. Bersamaan dengan itu, pendidikan lingkungan di sekolah perlu diperdalam. Setiap anak diajak memilah sampah, lalu mendorong keluarganya ikut terlibat. Perubahan perilaku besar sering kali dimulai dari langkah kecil yang dilakukan setiap hari.

Bukan hanya rumah tangga, pedagang di kawasan wisata pun harus dilibatkan. Jika Teluk Bima ingin menjadi destinasi wisata kelas dunia, kebersihan harus menjadi prioritas. Pedagang diberi insentif bila menjaga kebersihan, dan sebaliknya, diberi teguran bila membiarkan kawasan kotor. Wisatawan datang bukan hanya untuk panorama, tetapi juga pengalaman. Sampah di pesisir bukan hanya masalah estetika, melainkan ancaman ekonomi. Pariwisata adalah wajah kota, dan wajah itu bisa berseri atau muram, tergantung bagaimana kita menatanya.

Di titik inilah, persoalan sampah tidak bisa lagi dipandang teknis semata. Ia adalah cermin martabat. Mahatma Gandhi pernah berkata, “Masa depan bergantung pada apa yang kita lakukan hari ini.” Masa depan Bima bergantung pada keputusan hari ini: apakah sampah akan terus dibiarkan menumpuk, atau diubah menjadi peluang. Bung Karno menambahkan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai martabat dirinya.” Menjaga kebersihan kota adalah bagian dari menjaga martabat itu sendiri. Dan Albert Einstein mengingatkan kita, “Kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan cara berpikir yang sama ketika kita menciptakannya.” Kata-kata itu menegaskan bahwa jika Bima ingin berubah, maka pola lama yang membiarkan sampah dikelola seadanya tidak akan pernah cukup.

IKLAN

Sebagai kota tepian, Bima memiliki semua modal untuk menjadi ikon keindahan: laut biru, pantai panjang, serta budaya maritim yang kaya. Tetapi semua itu hanya akan berarti bila masyarakat ikut menjaga kebersihannya. Warisan paling berharga bagi generasi mendatang bukanlah gedung megah atau jalan raya, melainkan kota yang sehat, bersih, dan indah. Kota yang layak menjadi kebanggaan anak cucu, sekaligus daya tarik bagi dunia.

Bima telah membuktikan ketangguhan menghadapi banjir, gempa, dan pandemi. Kini, tantangan barunya adalah keberanian menata ulang cara hidup bersama sampah. Perubahan itu tidak bisa ditunda, karena setiap hari yang terlewat hanya akan menambah beban lingkungan. Sejarah menunjukkan, kota-kota yang berhasil keluar dari krisis sampah adalah kota yang warganya mau terlibat. Bima pun bisa menjadi bagian dari cerita sukses itu, bila pemerintah dan masyarakat berjalan bersama. Pada akhirnya, sampah bukan sekadar persoalan teknis. Ia adalah pertanyaan moral: apakah kita peduli pada kota kita, pada laut yang kita wariskan, dan pada martabat yang kita jaga? Jawaban atas pertanyaan itu tidak bisa ditunda lagi. Jika Bima ingin dikenal bukan karena tumpukan sampah, melainkan karena lautnya yang biru dan masyarakatnya yang peduli, maka aksi itu harus dimulai hari ini oleh semua, untuk semua. (*)

Berita Terkait

Back to top button