Mataram (NTBSatu) – Kasus kekerasan terhadap jurnalis Inside Lombok, Yudina Nujumul Qurani yang diduga mengalami persekusi oleh oknum pengembang PT Meka Asia di Lombok Barat, menuai kecaman dari organisasi pers.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) NTB, dan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) NTB mendesak aparat penegak hukum segera menindak pelaku secara pidana.
Ketua AJI Mataram, M. Kasim menegaskan, tindakan pelaku bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Khususnya Pasal 2 dan 3 yang menjamin hak jurnalis untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
“Jurnalis punya hak untuk mencari dan menyebarluaskan informasi. Yudina datang dengan itikad baik untuk mengonfirmasi keluhan warga, tapi justru mengalami persekusi. Tindakan pelaku melanggar Pasal 18 UU Pers, yang menyatakan bahwa menghalang-halangi kerja jurnalistik dengan kekerasan bisa dipidana dua tahun penjara dan didenda Rp500 juta,” tegas Kasim.
FJPI NTB juga menyuarakan keprihatinannya atas kasus ini, terutama karena korban adalah jurnalis perempuan yang sedang hamil dua bulan.
Ketua FJPI NTB, Linggauni mengecam keras tindakan intimidasi tersebut dan menegaskan pentingnya perlindungan bagi jurnalis perempuan.
“Kami mengecam segala bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis perempuan. Ini bukan hanya pelanggaran hukum. Tapi juga, menunjukkan betapa tidak amannya ruang kerja bagi jurnalis perempuan di Indonesia. Kami mendesak aparat segera memproses pelaku sesuai hukum yang berlaku,” ujar Linggauni.
FJPI juga mengajak seluruh elemen masyarakat, untuk menghormati kebebasan pers sebagai bagian dari demokrasi. Serta, mendukung Yudina dan Inside Lombok dalam menjalankan tugas jurnalistik secara independen.
Ada Unsur Delik Pidana Ganda
Sementara itu, KKJ NTB bersama sejumlah organisasi jurnalis lainnya, termasuk PWI NTB, IJTI NTB, AMSI NTB, dan LSBH NTB terus mengawal kasus ini.
Koordinator KKJ NTB, Haris Mahtul menegaskan, tindakan pelaku bukan hanya melanggar UU Pers. Tetapi juga, berpotensi melanggar hukum terkait kekerasan terhadap perempuan.
“Apapun alasannya, tindakan ini tidak bisa dibenarkan. Seharusnya pengembang memanfaatkan hak jawab, bukan melakukan intimidasi dan kekerasan. Kami melihat ada dua delik pidana yang bisa menjerat pelaku: UU Pers dan kekerasan terhadap perempuan,” jelas Haris.
Senada dengan itu, Direktur LSBH NTB, Badaruddin menambahkan, pihaknya sedang melakukan kajian hukum untuk menempuh jalur pidana.
“Kami akan terus mengawal kasus ini hingga pelaku diproses secara hukum. Kami juga memastikan korban mendapatkan pendampingan hukum dan psikologis untuk pemulihan trauma yang dialaminya,” kata Badaruddin.