
Mataram (NTBSatu) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram bekerja sama AJI Jakarta menggelar diskusi dan bedah buku “A Giant Pack Of Lies II”, Sabtu, 15 Februari 2025.
Dalam diskusi tersebut, pemerintah diminta perkuat regulasi mencegah perokok anak di Kota Mataram.
Ketua AJI Mataram, M. Kasim menyampaikan, perokok anak sangat masif ditemukan. Kondisi ini sesuai dengan data bahwa prevalensi perokok di Indonesia mencapai 70 juta, sekitar 7,4 persen anak berusia 10-18 perokok aktif.
Tingginya jumlah perokok anak tidak terlepas dari maraknya iklan promosi dan sponsor di tengah kota dan taman-taman kota.
“Saya sering melihat anak pulang sekolah bukannya langsung pulang, justru mampir di warung beli rokok batangan,” katanya.
Cem sapaan akrab Ketua AJI Mataram mengkritik bahwa Kota Mataram memiliki Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2013 tentang kawasan tanpa rokok. Tetapi regulasi ini tidak berjalan efektif.
Di satu sisi, Kota Mataram telah menyandang kategori madya sebagai kota layak anak. Tantangannya iklan, promosi, dan sponsor masih marak. Padahal, kategori naik ke level nindya IPS rokok harus ditiadakan.
Ia menyadari pendapatan negara paling besar bersumber dari dana bea hasil cukai hasil tembakau. Tetapi pengendalian juga penting oleh pemerintah agar anak tidak terpapar nikoton.
“Penghasilan terbesar dari cukai tembakau, tetapi harus tetap dikendalikan agar anak tidak terpapar rokok,” tegasnya.
Bongkar Kebohongan Besar Industri Rokok
Ketua AJI Jakarta, Irsan Hasyim menambahkan, penertiban buku ini berdasarkan hasil investigasi membongkar kebohongan besar Industri Rokok di Indonesia. Kebohongan itu diperkuat oleh terbitnya UU Omnibus Law di masa pemerintahan Jokowi, yang mengubah aturan pada sektor kesehatan. Akan tetapi, tidak ada tujuan untuk membunuh petani tembakau melainkan mendorong untuk pengendalian tembakau.
“Di sana ada satu pasal pengaturan zat adiktif, sehingga ini masuk pemantauan agar tidak terjadi hal yang sama seperti tahun 2011. Lalu apakah omnibus law ini mematikan petani tembakau? Buku ini juga memotret rantai pasok dan industri tembakau di Indonesia,” ujarnya.
Irsyan melanjutkan, buku ini juga mengupas soal budidaya tembakau yang mensejahterakan petani. Bahkan, buku ini juga mengupas soal reklame ‘rokok’ yang memapar anak-anak menjadi potensi perokok aktif baru.
“Sudah ada aturan jarak penjualan rokok dari sekolah. Bagaimana ini bisa diterpakan di lapangan untuk melindungi anak-anak,” jelasnya.
Bahkan, pendanaan sponsor rokok untuk olahraga ini juga merupakan tarik ulurnya aturan di tingkat kementerian. Bahkan PT Djarum menarik diri dari pembinaan olahraga karena pihak djarum mengakui ini sebagai bagian dari promosi.
“Itulah awalnya penulisan buku ini untuk didiskusikan soal bagaimana menangani promosi terselubung mengenai rokok,” tambah Isryan.
Komitmen Pemkot Mataram
Asisten II Setda Kota Mataram, Miftahurrahman mengaku sangat terkesan dengan isi buku A Giant Pack Of Lies II itu. Setalah membacanya, buku ini membahas isu yang kompleks dengan menyajikan masalah dan argumen untuk menyelesaikannya.Â
“Saya melihat rokok itu dulu untuk kalangan mewah bagi yang mampu beli. Tapi sekarang kondisinya anak SD pun bisa membeli rokok karena mudahnya akses,” katanya.
Miftah berpandangan, maraknya anak-anak yang mulai adiktif dengan rokok juga dipengaruhi lingkungan dan interaksi sosial. Untuk menekan itu, pemerintah Kota Mataram telah membuat regulasi Perda Kota Mataram nomor 4 tahun 2013 tentang kawasan tanpa rokok.
“Ini massif dilakukan sosialisasi di ruang publik. Implementasinya dengan adanya Instruksi Walikota tahun 2018 tentang seluruh komponen pemerintah dan masyarakat sekolah untuk pengamanan dan perlindungan terhadap zat adiktif dari tembakau,” terangnya.
Parahnya lagi, belakang muncul maraknya produk rokok illegal dengan harga lebih murah dan akses yang lebih mudah. Peredaran rokok dengan berbagai merk ini secara tidak terbatas usia dan tempat. “Ini lebih parah dari rokok cukai. Tidak terdeteksi,” katanya.
Dalam data Kota Mataram, penerimaan Dana Bagi Hasil Cukai dan Hasil Tembakau (DBHCHT) hampir Rp 70 miliar. Dana itu peruntukannya untuk kesejahteraan rakyat.
“Artinya pemerintah memikirkan dalam konteks sosial ekonomi. Ada juga program kesehatan termasuk infrastruktur dan bantuan BPJS,” katanya.
Efek domino rokok di kalangan masyarakat melahirkan dua sisi mata uang. Sektor penerimaan negara cukup besar dari cukai tembakau. Tetapi, penerimaan ini bukan menjadi alasan untuk mengabaikan hak publik mendapat lingkungan yang sehat.
“Kita khawatiran kepada anak-anak terhadap zat adiktif dan minuman keras,” tegasnya.
Dewan Minta Ubah Mindset KebiasaanÂ
Ketua DPRD Kota Mataram, Abdul Malik mengatakan, perlu mengubah mindset kebiasaan dalam aktivitas merokok untuk melihat kondisi tempat kawasan tanpa rokok. Kawasan tanpa rokok ini bakal disuarakan oleh DPRD karena merokok sangat berbahaya.Â
“Regulasi tentang rokok ini sudah kita bicarakan dengan pemerintah kota untuk penertiban. Kita akan segera baha,” katanya.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Mataram, Dewi Ayu Murniati mengaku, perokok selalu punya alasan untuk tetap merokok. Begitu juga bagi yang menentangnya.
Menurutnya buku yang Irsan Hasyim, Ketua AJI Jakarta tulis adalah paket lengkap yang tidak fokus pada isu kesehatan saja.Â
“Masyarakat juga sebenarnya sudah paham karena ada peringatan berupa dampak bahaya merokok,” katanya,
Data nasional, kata Dewi, ada 30 persen perokok elektrik yang dianggap lebih aman dari rokok pada umumnya. “Tapi sama saja memiliki zat adiktif,” ujarnya.
Anak Usia 10-15 Tahun Merokok
Dewi juga mengaku, banyak anak-anak (10-15 tahun) yang telah pihaknya skrining dan asesmen, ada kecenderungan dekat dengan narkoba dan alkohol. Data di Kota Mataram ada 8 persen hasil skrining 2024, yang merokok usia 10-15 tahun.
“Alasan mayoritas karena orang tuanya merokok. Tentu ini susah untuk melarang. Ada juga yang karena teman dan alasan coba-coba,” jelasnya.
Bahkan bahaya merokok juga bisa berdampak pada orang sekitar yang kerap disebut perokok pasif. Mereka yang dekat dengan perokok akan terpapar asap rokok. Bahayanya, anak-anak, lansia, ibu hamil, menyusui, orang-orang dengan komorbid yang apabila terpapar rokok maka lebih besar terpapar penyakit lain.
“Ketika kami turun, ada beberapa sekolah, guru-guru yang merokok. Tapi di depan pagar sekolah sudah langsung merokok. Jadi pemahamannya tidak merokok hanya terbatas pada kegiatan belajar mengajar,” tambahnya.
Persoalan merokok ini Dewi melanjutkan kompleks. Ini seperti lingkaran setan. Pun jika produksi mau pemerintah setop, harus mempertimbangkan pengalokasian cukai tembakau untuk program kesehatan.Â
“Ada isu ke depan, penyakit karena rokok tidak di-cover BPJS. Ini juga bakal merugikan masyarakat itu sendiri,” tandas Dewi. (*)