AJI–KKJ NTB Catat Lonjakan Kekerasan Jurnalis, Impunitas Kian Mengkhawatirkan
Mataram (NTBSatu) – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram bersama Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menggelar diskusi Catatan Akhir Tahun 2025 di Amore Esspreso, Kota Mataram.
Fokus utama diskusi kali ini pada berbagai tantangan yang dihadapi jurnalis, pekerja media, dan kreator konten di NTB serta kondisi yang melingkupi industri pers nasional saat ini.
Diskusi dipandu jurnalis Suara NTB, Nurmita beragam pernyataan dan pertanyaan dilayangkan jurnalis dan pekerja media atas refleksi kasus yang terjadi selama 2025.
Hadir sebagai pemateri Ketua AJI Mataram, Wahyu Widiantoro; Koordinator KKJ NTB, Haris Mahtul; Direktur LSBH NTB, Badaruddin. Turut hadir pula penanggap Sekretaris PWI NTB, Fahrul Mustafa; Ketua AMSI NTB, Hans Bahanan; Ketua FJPI NTB, Linggauni; dan para peserta jurnalis, pekerja media, dan kreator konten.
Ketua AJI Mataram, Wahyu Widiantoro menyampaikan, jurnalis dan pekerja media terpaksa bekerja di bawah tekanan yang semakin sulit.
“Praktik impunitas yang membiarkan pelaku kekerasan tanpa proses hukum mengakibatkan kekerasan berpotensi berulang dan menjadi gejala memburuknya sistem hukum dan menguatnya otoritarianisme,” kata Wahyu, Senin, 29 Desember 2025.
Disebutkan, praktik swasensor di ruang redaksi semakin parah terjadi karena ada desakan atau permintaan dari pihak eksternal berupa berita yang sudah tayang agar diturunkan.
“Upaya swasensor dapat dilakukan dengan atau tanpa disertai ancaman dan intimidasi dan biasanya dilakukan pihak yang memiliki kuasa,” ujar Wahyu.
Pihak di luar media juga berupaya mengendalikan media melalui iklan kerja sama pemberitaan. Iklan pemerintah wajib diperlakukan sebagai iklan, dengan diberi tanda “iklan”, “pariwara”, “adv”, atau kata lain yang membedakan dengan berita.
Namun skema kerja sama sering kali menabrak pagar api, sehingga menyamar menjadi berita.
Karena tekanan ekonomi dan politik, sebagian media berkompromi dan kerja sama ini harus ditukar dengan independensi dalam bentuk minimnya atau ditiadakannya pemberitaan yang mengkritik pemerintah atau pemasang iklan/kerja sama.
“Apabila tidak dijalankan maka kerja sama terancam akan dihentikan sehingga media takut sumber pendapatannya hilang. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen dalam menegakkan kemerdekaan pers,” jelas Wahyu.
AJI Mataram dan KKJ NTB menyatakan sikap: mengecam segala bentuk kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis serta menolak impunitas terhadap pelaku yang berpotensi terjadi kekerasan berulang.
Mendorong jurnalis untuk mentaati kode etik jurnalistik dalam setiap pemberitaan dan selalu mengutamakan kepentingan publik.
“Aktivitas jurnalistik dilindungi Undang-Undang Pers Nomor 40/1999 sehingga apabila terdapat sengketa pemberitaan diselesaikan melalui Dewan Pers bukan pidana,” kata Wahyu.
Ia juga mendesak perusahaan media untuk memberikan upah layak dan jaminan sosial serta kontrak kerja, sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan.
Selanjutnya, ia mendorong perusahaan media di NTB membuat dan menerapkan SOP pencegahan, penanganan, dan pemulihan kekerasan seksual sebagai bentuk mengembalikan ruang aman serta perlindungan jurnalis perempuan.
“Kami mendesak hentikan intervensi ruang redaksi sebagai komitmen menegakkan kemerdekaan pers,” kata Wahyu.
Berdasarkan data Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) bersama AJI Mataram, tahun 2023 tercatat lima kasus kekerasan terhadap jurnalis. Tahun 2024 meningkat menjadi delapan kasus, dan hingga akhir tahun 2025 telah terjadi 13 kasus kekerasan dan intimidasi.
Koordinator KKJ NTB, Haris Mahtul mengatakan, total jumlah kasus di tahun 2025 sudah melebihi tahun sebelumnya. Sehingga, kenaikan dari tahun ke tahun memicu kekhawatiran akan kelangsungan tren represif yang dapat mengganggu kebebasan pers dan independensi jurnalis.
“Kasus tahun ini semakin meningkat, menjelang akhir tahun jumlahnya semakin bertambah,” ujarnya.
Hal ini sejalan dengan data Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) di NTB yang menunjukkan tren menurun sejak 2022. Dari 79,62 poin di 2022, turun ke 72,89 pada 2023, dan tahun 2024 kembali anjlok ke 68,83.
“Saya prediksi data IKP di NTB akan menurun pada tahun 2025 ini,” sebutnya.
Hal ini jelas memberi pesan bahwa masih banyak pekerjaan rumah kita bersama.
KKJ NTB dan AJI Mataram mencatat, pelaku kekerasan berasal dari berbagai latar belakang seperti polisi, TNI, petugas dapur SPPG, pengusaha, pengacara, pekerja di perumahan, tenaga kesehatan, LSM, masyarakat dan oknum individu.
Namun, impunitas terhadap pelaku menjadi kerentanan yang semakin mengancam terjadinya kekerasan terus berulang.
Kasus yang dialami Yudina, jurnalis Inside Lombok merupakan salah satunya kasus kekerasan jurnalis yang masuk ke kepolisian pada Februari 2025.
Meskipun pada akhirnya kasus itu diberhentikan oleh penyidik Polresta Mataram, karena tidak masuk unsur kekerasaan. Namun dalam advokasi, AJI Mataram, KKJ NTB dan LSBH mendorong kasus itu menggunakan Undang-Undang Pers dan Undang-Undang tindak pidana kekerasaan terhadap perempuan.
“Kami dorong aparat penegak hukum gunakan Undang-Undang Pers jika terjadi kasus kekerasan terhadap jurnalis, karena seringkali yang digunakan adalah KUHP,” kata Haris.
Ia menjelaskan, kekerasan yang menargetkan jurnalis adalah bentuk serangan terhadap kebebasan pers, serangan terhadap hak publik untuk mendapatkan informasi. Hak mencari, menerima, dan menyebarluaskan yang merupakan bagian dari siklus kerja-kerja jurnalis tidak boleh mendapat penghalangan.
“Keselamatan jurnalis merupakan bagian upaya menciptakan ruang demokrasi dan memastikan akses publik terhadap informasi yang akurat serta kredibel,” katanya.
Jurnalis bertindak sebagai “mata dan telinga” publik. Kerja-kerja jurnalistik kerap mengungkap praktik-praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, ataupun pelanggaran HAM lain.
Praktik impunitas yang membiarkan pelaku kekerasan tanpa proses hukum mengakibatkan kekerasan terhadap jurnalis berpotensi berulang dan menjadi gejala memburuknya sistem hukum. Mengakhiri impunitas dan kekerasan terhadap jurnalis artinya mewujudkan kebebasan pers yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Direktur LSBH NTB, Badaruddin mengatakan, tantangan dalam pendampingan kasus kekerasan jurnalis di ranah litigasi adalah pada APH.
“Karena kerap kali penyidik tidak gunakan Undang-Undang Pers, tetapi yang digunakan KUHP sehingga pada kasus-kasus kekerasan jurnalis gugur,” kata Badaruddin.
Ia mengajak, KKJ dan organisasi profesi wartawan mulai melakukan pencatatan kasus kekerasan dengan teliti dan lengkap untuk mentracking kasus.
“Dalam satu tahun ini baru satu kasus yang kami dampingi, yaitu jurnalis Inside Lombok Yudina. Selebihnya itu, KKJ NTB hanya mengeluarkan pernyataan sikap,” jelasnya.
Ia mengajak, jurnalis untuk bergandengan tangan untuk sama-sama merapikan barisan dalam advokasi kasus ke depan apalagi jurnalis perempuan semakin rentan.
Sekretaris PWI NTB, Fahrul Mustafa menyampaikan APH harus lebih sering mendapatkan edukasi tentang Undang-Undang Pers. Sebab, kerap kali dalam kasus-kasus kekerasan jurnalis yang digunakan adalah KUHP.
“Mari kita bersama-sama jaulah ke Polda dan Polres bertemu dengan penyidik agar mereka mendapatkan literasi yang lebih dalam tentang Undang-Undang Pers. Ini menjadi tantangan kita ke depan untuk bergerak bersama,” kata Fahrul.
Ketua AMSI NTB, Hans Bahanan mengatakan, kepercayaan publik yang mulai berkurang terhadap pers karena banyak oknum yang mengaku wartawan. Padahal medianya belum terverifikasi dan melakukan Uji Kompetensi Dewan Pers.
“Kami tidak setuju jika banyak oknum yang mencederai profesi jurnalis atau wartawan ini untuk memeras pejabat atau untuk mendapat pundi kerja sama. Padahal mereka belum kredibel,” kata Hans.
Sementara itu, Linggauni selaku Ketua FJPI NTB menyoroti kasus kekerasan yang dialami jurnalis perempuan dan menjadi tantangan di proses litigasi.
“Satu anggota kami mendapat kekerasan di tahun 2025 ini, kondisi korban sempat trauma. Tapi kami menyayangkan kasus itu dihentikan kepolisian. Terima kasih KKJ dan kawan-kawan lain yang telah membantu dalam proses advokasi dan pendampingan korban,” kata Linggauni.
Ia juga menyoroti jurnalis perempuan sering mendapatkan pelecehan seksual, catcalling dan body shaming serta lain-lain saat peliputan di lapangan.
“Kekerasan berbasis gender yang dialami jurnalis perempuan ini sering dinormalisasi. Sehingga kami meminta ayo ciptakan ruang aman agar jurnalis perempuan bisa kerja dengan ruang yang setara dengan jurnalis laki-laki,” kata Lingga. (*)



