Sejumlah Organisasi Sipil Desak Moratorium Izin Tambang di NTB

Mataram (NTBSatu) – Sejumlah organisasi sipil nasional dan NTB mendesak moratorium atau penghentian sementara izin tambang di daerah. Baik peruntukan Izin Tambang Rakyat (IPR) berbasis koperasi maupun Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk korporasi. Desakan ini mempertimbangkan ancaman kerusakan lingkungan lebih massif, keadilan fiskal yang diskriminatif terhadap daerah, dampak konflik sosial.
Organisasi yang tergabung dalam koalisi, Publish What You Pay (PWYP) dan Idea (Ide dan Analitika Indonesia), Fitra Jatim. Region NTB, Walhi NTB, Somasi NTB, LSBH NTB.
Terungkap dalam diskusi menghadirkan NGO dan jurnalis, mengangkat tema “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mendorong Perbaikan Tata Kelola Minerba di Tengah Maraknya Tambang Ilegal hingga Pembangunan PSN di Pulau Jawa dan Kepulauan Nusa Tenggara”. Berlangsung Rabu 22 Oktober 2025 di Mataram secara hybrid.
Idea mendorong moratorium izin pertambangan, semakin urgen di tengah makin menguatkanya ancaman kerusakan ekologi. Juga terjadi penurunan kualitas hidup masyarakat khususnya di daerah tambang.
Tak terkecuali di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara, yang saat ini menghadapi berbagai persoalan seperti maraknya tambang ilegal hingga proyek-proyek pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek yang semakin membebani daya tampung dan daya dukung lingkungan.
Kompleksitas Dampak
Moratorium izin pertambangan juga merupakan salah satu upaya perbaikan tata kelola sektor pertambangan, sekaligus sejalan dengan agenda adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
“Mengapa moratorium mendesak? Sebab biaya dampak publik atau kesehatan, kenyamanan, pertumbuhan ekonomi, infrastruktur dasar jauh lebih besar dikorbankan. Merusak kawasan lindung strategis, seperti Karst, Geopark, DAS,” kata Direktur Eksekutif Idea, Haidar melalui daring.
Mendorong moratorium harus jadi isu solid, sehingga sampai ke kebijakan pemerintah daerah dan pusat.
“Jangan sampai ada anggapan kritik masyarakat sipil adalah kritik biasa. Tapi ini kritik serius, karena ini (tambang) adalah ancaman nasional,” jelasnya.
Bahkan tidak sekedar moratorium, Idea mendorong penghentian izin tambang secara permanen.
Suara Perempuan
Ida Hidayati SP dari Solidaritas Perempuan (SP) mengungkap sejumlah pengalaman masalah bagi perempuan. Ruang ruang keadilan bagi perempuan terkikis akibat ekspansi tambang dan PSN. Mata pencaharian yang ramah perempuan jadi hilang.
Ia mencontohkan, di sekitar PSN Bendungan Meninting, ruang hidup warga mulai berkurang. Sebelum ada PSN, mayoritas mata pencaharian perempuan di sana dari gula aren dan sapu ijuk. Ratusan hektar hutan yang hilang, berdampak tersisa 7 persen ruang mata pencaharian perempuan.
“Kami setuju moratorium izin tambang,” tegasnya.
Eksekutif Direktur Walhi NTB, Amri Nuryadi memaparkan situasi krisis daerah akibat ekspansi tambang tak terkendali. Pemicunya, 355 IUP aktif, dengan wilayah konsesi 219.000 Hektare. Belum lagi 120 titik tambang ilegal aktif.
Salah satu alasan moratorium adalah ruang hijau yang semakin rusak. Luas hutan 1,07 juta Hektare semakin menyusut.
“Hutan kritis Tahun 2003, sebanyak 477.000 hektare. Angka deforestasi 40 persen dalam setahun,” paparnya.
Salah satu faktor penyusutan hutan ini akibat PSN. Seperti Bendungan Meninting yang menghilangkan ratusan hektar kawasan hutan di wilayah KPH Rinjani Barat.
Jika menyeret pemicunya faktor tambang, ada aktivitas pertambangan seperti AMNT di kawasan hutan, termasuk PT STM berada di KPH Tofo Pajo dengan total 19.000 Hektare.
“Selain izin pertambangan, banyak aktivitas ilegal, banyak sumbangan luar biasa kerusakan hutan di NTB. Sehingga dalam beberapa tahun, seringkali terjadi bencana alam,” ujarnya.
Pertanian Lebih Menjanjikan
Ia membandingkan PDRB dari sektor tambang dengan pertanian yang jomplang. Dana Bagi Hasil (DBH) tambang hanya Rp118 miliar per tahun atau setara 17 persen. Sementara pertanian 60 persen menyumbang PDRB.
Tapi hari ini pemerintah malah mencanangkan 60 titik IPR di NTB, dengan luas garapan 1500 hektare. “Ini menempatkan potensi kebencanaan. Sementara rakyat hanya diksi saja, di baliknya ada korporasi besar,” ujarnya.
Sejumlah masukan dari diskusi siang itu, mendorong kelompok organisasi sipil melakukan kajian dan riset pembanding terhadap ancaman potensi kerusakan lingkungan. Tidak sebanding potensi pendapatan Rp4 triliu dari IPR per tahun, jika komparasinya dengan kerusakan lingkungan.
Ramlan dari Organisasi Patiro memberi masukan dan mendorong sikap serius dari Pemda di NTB setuju dengan moratorium. Karena tak akan mendapatkan keadilan fiskal. Tahun 2025 dan 2026, pemangkasan DBH untuk NTB sangat besar.
“DBH tahun 2025 sebelumnya Rp1,2 triliun, dipangkas jadi Rp470 Miliar. Tahun 2026 dipangkas lagi. DBH Rp470 Miliar, hanya jadi Rp55 miliar. Bayangkan berapa persen hilangnya pendapatan itu,” ujarnya.
Sehingga ini jadi momentum moratorium izin tambang di NTB. “Toh juga tidak dapat apa apa, mending tidak ada izin usaha,” pungkasnya. (*)