Sumbawa Barat

Riset LBH APIK Ungkap Kekerasan Gender di Lingkar Tambang Maluk

Mataram (NTBSatu) – Ekspansi industri ekstraktif di Indonesia tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan, tetapi juga memunculkan persoalan sosial yang serius, khususnya kekerasan berbasis gender.

Kondisi tersebut terungkap dalam riset LBH APIK NTB bersama Asosiasi LBH APIK Indonesia di kawasan lingkar tambang Kecamatan Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat.

Direktur LBH APIK NTB, Nuryanti Dewi mengatakan, riset ini untuk memperkuat bukti lapangan mengenai kerentanan perempuan di sekitar kawasan industri ekstraktif.

“Perempuan di wilayah lingkar tambang menghadapi kerentanan berlapis. Mereka berkontribusi besar menjaga alam dan ketahanan keluarga. Tetapi, justru menjadi kelompok yang paling terdampak ketika terjadi krisis lingkungan dan sosial,” kata Nuryanti dalam Dialog Terbuka, Senin, 15 Desember 2025.

IKLAN

Ia menjelaskan, perempuan kerap mengalami berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari peminggiran dalam pengambilan kebijakan, dominasi relasi patriarki, beban ganda kerja, hingga hilangnya sumber penghidupan akibat alih fungsi lahan.

Meski pemerintah telah mengadopsi kebijakan Pengarusutamaan Gender dalam RPJMN 2020–2024, serta membentuk Kelompok Kerja Gender di sektor lingkungan hidup. Kendati demikian, Nuryanti menilai implementasi kebijakan tersebut belum menyentuh akar persoalan.

“Pengarusutamaan gender masih bersifat administratif dan belum menyasar perubahan struktural. Pendekatan interseksional juga belum digunakan secara serius untuk melihat dampak berlapis yang dialami perempuan,” ujarnya.

Riset ini menjadi bagian dari penguatan kajian dan advokasi Asosiasi LBH APIK Indonesia di sektor sumber daya alam. Khususnya, kekerasan berbasis gender.

Hasil penelitian akan menjadi dasar pengembangan program penguatan perempuan, orang muda, dan komunitas, sekaligus mendorong penguatan kebijakan perlindungan hak perempuan.

Proses Riset

Program riset menggunakan pendekatan feminis berbasis pengalaman perempuan dan komunitas, serta melibatkan kelompok laki-laki dan kelompok muda. Penelitian berlangsung di lima provinsi, yakni Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Kalimantan Timur.

Di NTB, penelitian berfokus di empat desa Kecamatan Maluk, yakni Desa Pasir Putih, Desa Mantun, Desa Bukit Damai, dan Desa Maluk. Metodenya meliputi studi data sekunder, observasi langsung dan live-in, wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah (FGD), studi kasus, serta dokumentasi visual.

Sebanyak 34 responden diwawancarai secara mendalam, terdiri dari 21 perempuan dan 13 laki-laki, dengan latar belakang pemerintah daerah, tenaga kesehatan, tokoh adat, nelayan, pemilik lahan, hingga orang tua penyintas.

Selain itu, lima FGD dilaksanakan dengan melibatkan 60 peserta dari unsur kelompok perempuan lokal, petani, nelayan, kader, PKK, staf desa, serta penyintas kekerasan.

Tanggapan Walhi NTB

Menanggapi hasil riset tersebut, Direktur Walhi NTB, Amri Nuryadin turut menyoroti dampak alih fungsi lahan akibat pertambangan terhadap kehidupan perempuan.

“Alih fungsi lahan untuk tambang menyebabkan hilangnya sumber hidup warga. Dampaknya sangat terasa bagi perempuan, terutama dalam pemenuhan pangan keluarga. Harga pangan mahal, akses sulit, bahkan pengetahuan dan praktik pangan yang selama ini dikembangkan perempuan ikut hilang,” jelas Amri.

Ia menambahkan, kebijakan pembangunan dan investasi pertambangan kerap melahirkan kekerasan struktural terhadap perempuan.

“Perempuan kehilangan lahan, akses ekonomi, dan ekosistem yang menopang kebutuhan hidup. Pertambangan adalah aktivitas yang lapar lahan dan air,” tambahnya. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button