HEADLINE NEWSPendidikan

Proyek Smart Class Rp49 Miliar Dikbud NTB tak Ditemukan di Sekolah, Pengamat: Ini Jelas Fiktif

Mataram (NTBSatu) – Proyek Smart Class Dinas Pendidikan Kebudayaan (Dikbud) NTB tahun 2024, menuai sorotan tajam. Pasalnya, terdapat dugaan kejanggalan anggaran dalam pengadaan peralatan praktik literasi digital bidang SMA tersebut.

Berdasarkan informasi yang dari laman Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) NTB, paket pengadaan senilai Rp25 miliar dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) itu, justeru memiliki nilai kontrak dengan tiga penyedia sebesar Rp49 miliar. Selisih Rp24 miliar dari nilai awal. 

Pertama, dengan PT. Anugerah Bintang Meditama dengan nilai realisasinya Rp14.782.500.000. Waktu realisasinya pada 20 November 2024. Sedangkan, untuk penyedia kedua tidak tercatat dalam LPSE tersebut, namun nilai realisasinya sebesar Rp24.997.500.000.

Selanjutnya dinas juga berkontrak dengan penyedia dari PT Karya Pendidikan Bangsa, dengan nilai realisasi Rp9.883.200.000. Waktu realisasinya pada 11 Desember 2024 lalu.

Adapun proyek pengadaan peralatan praktik literasi digital bidang SMA itu atau program Smart Class, bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) 2024.

IKLAN

Namun, fakta di lapangan menunjukkan alat praktik tersebut belum ada di sekolah-sekolah yang menjadi sasaran.

Indikasi Proyek Fiktif dan Korupsi

Merespons hal tersebut, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Mataram, Prof. Sudiarto menilai kasus ini sebagai indikasi proyek fiktif. 

“Barang ada, uang ada, tapi sekolah tak menerima. Ini jelas proyek fiktif,” tegasnya kepada NTBSatu, Senin, 20 Januari 2024.

Ia menduga kuat terjadi tindak pidana korupsi. Menurutnya, Aparat Penegak Hukum (APH) dapat mengusut kasus ini dengan mudah jika menelusuri alur dana dan meminta keterangan para rekanan.

“Rekanan mungkin tak tahu menahu, tetapi anggarannya kan diselewengkan. Ini korupsi terang-terangan,” ungkapnya.

Prof. Sudiarto menilai tidak perlu revisi kebijakan pengelolaan DAK. Masalah utama adalah transparansi dan akuntabilitas. Ia menekankan, pentingnya integritas pemerintah dalam menyalurkan anggaran pendidikan. 

“Sering kali pencairan dana sengaja terlambat demi mengejar keuntungan fasilitas perbankan, meski tak memberikan bunga. Modus seperti ini harus dihentikan,” jelasnya.

Ia juga menyoroti modus klasik, yakni pencairan anggaran menjelang akhir tahun anggaran. Karena, akan berdampak pada penyusunan dokumen yang asal-asalan serta penyiapan stempel tanpa pengawasan.

“Ini skema yang perlu dihapus,” tambahnya.

Kasus ini pun menjadi pengingat, betapa lemahnya pengawasan terhadap anggaran pendidikan. Prof. Sudiarto menegaskan, transparansi bukan hanya soal angka di atas kertas. Tetapi soal tanggung jawab moral terhadap hak pendidikan generasi muda.

Jika dugaan korupsi ini terbukti, bukan hanya mencederai dana pendidikan. Tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Akademisi Unram ini berharap gubernur terpilih, Lalu Iqbal-Indah Damayanti, ke depannya memberikan atensi terhadap hal ini dan mengambil langkah tegas.

“Terapkan batas waktu, kontrak kinerja, dan evaluasi ketat untuk para OPD. Jika tidak, kasus serupa akan terus berulang,” pungkasnya. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button