Hukrim

Korban Pelecehan Seksual di Lombok Tengah Nyaris “Diculik” Mobil Pelaku saat Akan Diperiksa Polisi

Mataram (NTBSatu) – Para korban pelecehan seksual oknum pimpinan Ponpes di Pringgarata, Lombok Tengah, inisial MT mendapat perlakuan intimidasi. Mereka nyaris “diculik” oleh seseorang yang mengendarai mobil pelaku.

Perwakilan Koalisi Stop Kekerasan Seksual NTB, Joko Jumadi mengatakan, kejadian itu terjadi ketika korban dari kalangan santriwati akan menjalani pemeriksaan tambahan di Polres Lombok Tengah, Rabu, 8 Januari 2025.

“Kami mendapat informasi dari Polres, bahwa tiba-tiba korban itu menghilang,” katanya, Jumat, 10 Januari 2025.

Penyelidik berupaya menghubungi pihak keluarga korban agar hadir memberikan keterangan di Polres Lombok Tengah. Namun tak ada respons. Padahal sebelumnya, mereka mengiyakan akan menjalani pemeriksaan.

“Dari pagi tidak bisa terhubung. Sehingga kemudian kami datang ke tempat korban,” jelas Joko.

Setelah itu, tim koalisi mendatangi keluarga dan korban di rumahnya. Usai berdialog, mereka akhirnya bersedia datang ke Mapolres Lombok Tengah.

Joko menduga, ada intimidasi di balik sikap plin-plan pihak keluarga. Menyusul para korban masih sekolah di pondok pesantren milik terduga pelaku tersebut.

“Sehingga kemungkinan terjadinya intimidasi sangat besar. Dari tiga korban yang kita dampingi, semuanya menolak untuk menjalani pemeriksaan tambahan,” ucapnya.

Dugaan intimidasi korban alami ketika mereka menuju kantor kepolisian. Di jalan, santriwati mengaku akan bertemu dengan keluarganya.

Merasa curiga karena para korban lama kembali, tim koalisi akhirnya mendatangi mereka. Rupanya para korban akan “diangkut” ke mobil terduga pelaku.

“Ternyata si korban mau pergi naik mobil itu. Kami akhirnya gedor, tapi tidak dibuka. Terus kami sampaikan ‘ayo masuk’ akhirnya masuk lagi,” ujarnya.

Mereka selanjutnya melanjutkan perjalanan menuju kantor polisi. Di sana, mobil merk Toyota itu lagi-lagi membuntuti korban yang akan menjalani pemeriksaan.

Mereka nyaris masuk mobil terduga pelaku. Untungnya, kepolisian cepat menarik korban dan membawanya masuk ke dalam ruangan Polres Lombok Tengah.

“Kami agak penasaran, setelah kami lacak ternyata mobil pelaku. Itu dari nomor plat kendaraan,” ujar akademisi Universitas Mataram (Unram) ini. Gagal mengangkut korban, mobil terduga pelaku langsung pergi meninggalkan Polres Lombok Tengah.

Amankan keberadaan korban

Melihat situasi tak kondusif seperti itu, Koalisi Stop Kekerasan Seksual NTB selanjutnya berkoordinasi dengan pihak kepolisian. Mereka untuk sementara waktu diamankan di rumah aman sampai waktu tertentu.

Menurut Joko, tindakan intimidasi seperti itu merupakan bagian dari langkah perintangan penyelidikan maupun penyidikan. Dan dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), hal itu bisa menjadi proses hukum tersendiri selain kasus pelecehan seksual.

“Jadi selain pokok tindak pidana, siapapun yang melakukan upaya perintangi itu lah akan diproses juga,” katanya.

Terpisah, Kasi Humas Polres Lombok Tengah, Iptu Lalu Brata Kusnadi akan menindaklanjuti upaya antisipasi terhadap para korban pelecehan seksual oknum pimpinan Ponpes tersebut.

Ia akan berkoordinasi dengan Polsek tempat tinggalnya korban dan keluarganya. Karena pelecehan seksual merupakan kasus yang mendapatkan atensi dari pimpinan.

“Tentu akan kita tindaklanjuti. Ini (pelecehan seksual) atensi kalau ada yang melapor mendapat perlakuan intimidasi,” ucap Brata.

Riwayat kasus

Sebelumnya, pihak keluarga melaporkan MT karena melakukan pelecehan seksual hingga menyetubuhi sejumlah santriwati yang merupakan anak di bawah umur.

Oknum pimpinan Ponpes di Pringgarata, Lombok Tengah itu melancarkan aksi bejatnya di dalam lingkungan pondok pesantren pada tahun 2023 lalu. Di antara korban sudah ada yang pelaku setubuhi sejak kelas 3 SMP hingga 1 SMA.

Modus untuk korban pelecehan, oknum pimpinan ponpes itu meminta santriwati membersihkan ruangan atau membantu dapur. Saat itu, MT melancarkan aksinya dengan tiba-tiba memeluk dan menyentuh bagian sensitif korban.

Joko Jumadi menyebut, pelaku dalam melakukan aksinya tidak menggunakan pendekatan agama.

“Ada juga pakai proses tipu daya. Korban mendapat rayuan, sehingga korban mengikuti keinginan tuan guru tersebut,” ujarnya. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button