Oleh: Aris Munandar
(Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mataram 2024-2025)
“Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, atau yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? Karena itu Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial,” (Pidato Bung Karno di depan sidang BPUPKI, Tanggal 1 Juni 1945).
Pendahuluan
Pemilihan umum yang relatif bebas, fair, dan demokratis pasca rezim otoriter Orde Baru telah berlangsung sejak 1999. Empat orang presiden, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputeri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, secara berturut-turut telah pula menggantikan Soeharto sejak penguasa rezim Orde Baru tersebut terpaksa mundur dari kekuasaannya pada 21 Mei 1998.
Namun, obsesi akan suatu pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab, melayani rakyat, dan benar-benar berpihak pada cita-cita Republik kita, cenderung terus menguap sebagai mimpi indah rakyat kita dari pemilu ke pemilu. Serta, dari presiden baru ke presiden terpilih berikutnya.
Betapa tidak, karut-marut persoalan politik hampir tidak pernah berhenti membayangi perjalanan bangsa kita hingga hari ini. Meskipun, secara internasional Indonesia kini dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sesudah India dan Amerika Serikat.
Prestasi itu justru cenderung berbanding terbalik dengan kualitas tata-kelola politik negara dan pemerintahan yang tidak pernah membaik secara signifikan. Seperti ditulis Larry Diamond, tatkala hak-hak politik dan kebebasan sipil di Indonesia meningkat pesat dan siginifikan dibandingkan Thailand dan Filipina, di sisi lain kualitas tata-kelola negara, pemerintahan dan kebijakan, serta penegakan hukum, justru relatif rendah dibandingkan India dan dua negara yang disebut di atas’.
Ketika pemilu-pemilu semakin bebas, demokratis, dan langsung, kebobrokan moral para penyelenggara negara sedikit demi sedikit terungkap pula. Tak terbayangkan betapa luasnya kaki gunung es kebobrokan itu jika sebagian besar skandal korupsi dan penyalagunaan APBN dan APBD bisa diungkap secara publik.
Politik transaksional atas dasar kepentingan sempit dan jangka pendek tetap mendominasi interaksi, kerja sama, dan persaingan para elite politik yang dihasilkan pemilu. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan serta manipulasi kepentingan rakyat tetap merajalela dan bahkan menjadi menu politik harian publik di tengah berbagai pidato lantang para elite politik dan penyelenggara negara tentang pentingnya pemberantasan korupsi, tata-kelola pemerintahan yang baik dan bersih, serta pemenuhan aspirasi rakyat.
Ironinya, semangat memberantas korupsi saling berkejaran dengan temuan baru kasus-kasus korupsi, suap, “makelar kasus” (markus) dan penyalahgunaan kekuasaan di semua tingkat dan cabang pemerintahan, eksekutif, legislatif, dan lembaga yudikatif.
Beberapa tahun yang lalu kita dikejutkan oleh “korupsi berjamaah” para anggota DPRD di tingkat kabupaten, kota, dan propinsi. Puluhan orang di antaranya telah mendapat hukuman dan menghuni hotel prodeo. Beberapa waktu kemudian kita pun terkejut karena ternyata kasus korupsi dan suap juga menjalar pada puluhan kepala daerah, beberapa menteri, sejumlah wakil rakyat di DPR Senayan.
Kasus suap dan korupsi juga melibatkan sejumlah jaksa, hakim -termasuk hakim Agung dan hakim di pengadilan Tipikor dan polisi, para aparat institusi-institusi yang seharusnya menjadi benteng terdepan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Terakhir, kita semua yang masih waras dan memiliki akal sehat dibuat malu dan terkejut dengan peristiwa tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Akil Muchtar, Ketua Mahkamah Konstitusi, yang diduga menerima suap terkait proses hukum sengketa hasil Pilkada di MK.
Dalam konteks ini, tidak mengherankan jika, misalnya, Ahmad Syafii Maarif beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa elite bangsa kita mengalami “mati rasa”. Penilaian mantan Ketua Muhammadiyah tersebut tampaknya bertolak dari keprihatinan terhadap realitas elite yang lebih berorientasi kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan ketimbang kepentingan bangsa kita.
Para elite bangsa yang semestinya memberikan teladan tentang budi pekerti, nilai-nilai luhur, kemanusiaan, kejujuran, dan idealisme justru mempertontonkan kemunafikan dan ketidakpedulian, sehingga yang berlangsung pada akhirnya adalah barter ataupun transaksi politik berorientasi jangka pendek.
Lalu, apa yang salah dengan negeri ini? Mengapa prestasi berdemokrasi tidak berkorelasi positif dengan terbentuknya pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab, serta berorientasi penyelamatan bangsa kita ke depan? Mengapa kita merasa belum “dipangku oleh ibu pertiwi” seperti dibayangkan oleh Bung Karno yang pidatonya dikutip di atas?
Menata Cita-Cita Demokrasi
Apa yang dibayangkan oleh para pendiri bangsa tentang Indonesia masa depan, dapat ditelusuri kembali dari intisari pemikiran para pendiri bangsa, seperti Soekarno dan Mohammad Hatta. Meskipun berbagai intisari pemikiran tersebut, acap terpisah satu sama lain. Kesepakatan mereka tentang Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar bagi Republik, sekurang-kurangnya mengindikasikan terjadinya kristalisasi pemikiran mengenai Indonesia masa depan.
Mengenai hakikat Indonesia, misalnya, pemikiran cerdas Sutan Takdir Alisjahbana yang lebih melihat Indonesia sebagai entitas yang baru “ditemukan pada awal abad ke-20, bukan sekadar kelanjutan Sriwijaya ataupun Majapahit, memberi inspirasi tentang urgensi perubahan alam pikiran dan sikap mental.
Pemikiran STA ini bisa jadi turut melatarbelakangi mengapa para pendiri bangsa pada akhirnya memilih Republik Indonesia sebagai suatu negara kebangsaan dalam sidang-sidang BPUPKI pada 1945, bukan monarki, ataupun negara berdasar Islam seperti diusulkan oleh Ki Bagus Hadikusumo.
Sejak awal, pada sidang yang sama, Mohammad Hatta bahkan sudah mengingatkan, “Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus.” Peringatan Hatta tersebut terkait pidato Soepomo yang lebih menghendaki suatu negara intergralistik, yang bersifat kekeluargaan daripada negara berdasarkan kedaulatan rakyat.
Pemikiran Hatta tentang “negara pengurus”, barangkali merupakan gagasan orisinal pertama tentang perlunya pembagian dan distribusi kekuasaan di dalam negara agar Indonesia yang hendak didirikan merupakan negara demokrasi, bukan suatu “konglomerasi kekuasaan””.
Namun, dalam soal demokrasi, Bung Karno dan Bung Hatta sepakat bahwa demokrasi bagi Indonesia yang tengah dibangun tidak berdasar pada individualisme, melainkan atas dasar kehendak rakyat secara kolektif. Untuk maksud yang sama, Bung Karno sering menggunakan istilah “kerakyatan”, sementara Hatta menyebut “kedaulatan rakyat”, sekaligus untuk membedakannya dengan demokrasi Barat yang berbasis individualisme.
Seperti dikutip di awal tulisan ini, orientasi demokrasi yang dibayangkan Bung Karno adalah sebuah demokrasi yang juga menjanjikan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi rakyat -terlepas dari soal bahwa ketika berkuasa Bung Karno sendiri tidak konsisten dengan pemikirannya. Baik Bung Karno maupun Bung Hatta sebenarnya tidak serta-merta menolak demokrasi Barat, melainkan justru mengingatkan agar demokrasi yang dibangun bagi Indonesia tidak semata-mata bersifat politik, melainkan juga demokrasi ekonomi.
Isu keadilan, kesejahteraan sosial, dan demokrasi ekonomi, yang diulang-ulang dan digarisbawahi oleh Bung Karno dan Bung Hatta dalam berbagai kesempatan, tampaknya dimaksudkan agar Indonesia ke depan tidak terperangkap ke dalam demokrasi politik belaka, yakni ketika pada saat yang sama ternyata rakyat terlunta-lunta dan berkubang dalam kemiskinan karena ekonomi dikuasai oleh pemilik modal dan para elite yang bersekutu dengannya.
Apabila tafsir atasnya boleh dilakukan, prinsip “kerakyatan” yang dimaksud Sukarno, atau “kedaulatan rakyat” yang dikemukakan Hatta, tampaknya bukan semata-mata dalam pengertian politik, melainkan sekaligus juga dalam konteks ekonomi.
Artinya kebebasan dan demokrasi yang diraih rakyat semestinya tidak mengorbankan hak dasar mereka untuk memperoleh pekerjaan, hidup layak, keadilan dan kesejahteraan. Penekanan atas soal ini jelas sekali dalam rumusan konstitusi yang disepakati oleh para pendiri bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI dan panitia kecil yang sengaja dibentuk untuk mendesain konstitusi pada Juni-Agustus 1945.
Secara ringkas barangkali dapat dirumuskan bahwa cita-cita politik Republik tak hanya menolak demokrasi politik yang tak terkait dengan agenda keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, melainkan juga secara terminologis menolak konglomerasi kekuasaan, baik dalam pengertian politik maupun ekonomi.
Artinya, format demokrasi yang terbaik bagi bangsa kita sebenarnya tidak terbatas pada kategorisasi teoretis sebagai “demokrasi presidensial” ataupun “demokrasi parlementer”, melainkan lebih pada kualitas kedaulatan yang dimulki rakyat dalam politik dan ekonomi di balik pilihan politik atas format demokrasi itu sendiri. Karena itu, penolakan secara diametral terhadap salah satu pilihan demokratis, baik atas nama “presidensial” ataupun “parlementer”, semestinya dipandang tidak relevan dan bahkan bertentangan dengan semangat dasar yang ditanamkan para pendiri Republik kita.
Pada dasarnya peningkatan kualitas kedaulatan rakyat dalam politik sekaligus ekonomi itulah yang hingga kini belum terwujud di balik “prestasi” berdemokrasi selama lebih dari satu dekade terakhir.
Di luar kebebasan politik dan hak elektoral yang semakin meluas dalam pemilu dan pilkada, mayoritas rakyat kita yang masih berlumur dalam penderitaan dan kemiskinan seolah-olah tidak memiliki hak hidup secara layak, menikmati keadilan dan kesejahteraan. Dengan menggunakan frase yang digunakan oleh Bung Karno, seolah-olah rakyat tidak berhak untuk turut “dipangku oleh Ibu Pertiwi”.
Mengupas Permasalahan Tambal Sulam Demokrasi
Mungkin memang tidak begitu mudah mengurai benang kusut karut-marut persoalan bangsa yang tak berujung dewasa ini. Namun, ditinjau dari sudut pandang politik dan pengelolaan pemerintahan serta demokrasi, paling kurang ada 4 (empat) kelompok faktor yang bisa diidentifikasi sebagai akar masalah, yaitu (1) kegagalan konsolidasi kekuatan politik sipil pada momentum reformasi 1998-1999; (2) berlangsungnya reformasi institusi yang cenderung inkonsisten, tambal-sulam, dan ambigu; (3) pendangkalan serius terhadap pemahaman politik serta tata-kelola pemerintahan dan demokrasi; dan (4) kegagalan sekaligus krisis kepemimpinan yang berlangsung di tiga cabang pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif) di hampir semua tingkat, negara-masyarakat, dan nasional-lokal.
Namun, tentu perlu segera diberi catatan bahwa sebagian dari empat faktor tersebut di atas adalah produk sistem politik otoriter di bawah Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966- 1998). Seperti diketahui, sistem otoriter yang panjang tak hanya melembagakan saling curiga antargolongan masyarakat, sistem prevelege politik-ekonomi atas golongan tertentu, dan diskriminasi politik terhadap golongan tertentu yang lain, melainkan juga mewariskan pragmatisme politik yang mencederai akal sehat dan kecerdasan di satu pihak, serta membunuh segenap potensi kreativitas dan kepemimpinan bangsa di pihak lain.
Reformasi Menata Kembali Kehidupan Politik
Realitas politik kontemporer dewasa ini tak bisa terpisahkan dari faktor kegagalan sipil mengonsolidasikan diri menjelang dan pascalengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998. Setelah mengalami sistem otoriter yang panjang selama hampir 40 tahun di bawah Demokrasi Terpimpin 1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998), momentum reformasi pada 1998 semestinya merupakan kesempatan emas bagi bangsa Indonesia untuk menata kembali kehidupan politik, sosial-budaya, ekonomi, dan hukum ke arah yang lebih baik. Namun, kesempatan emas yang tak akan pernah datang dua kali tersebut, ternyata tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh elemen bangsa kita.
Harapan besar akan terjadinya perubahan secara mendasar dan signifikan, sehingga suatu Indonesia baru bisa dimbut dengan suka cita akhirnya tidak kunjung datang. Setelah satu dekade reformasi bahkan tak begitu jelas ke mana arah bangsa kita hendak menuju. Yang cukup jelas adalah, meskipun semangat memberantas korupsi bernyala-nyata dan bahkan dipidatokan oleh hampir semua pejabat publik di semua tingkat, secara faktual bangsa kita dewasa ini masih dikenal sebagai salah satu negara terkorup di Asia, bahkan dunia. Juga yang agak jelas, anarki dan premanisme politik terjadi di mana-mana, entah atas nama rakyat, mayoritas, agama, etnisitas, dan bahkan atas nama hukum dan demokrasi itu sendiri.
Apabila pengalaman dramatis pada momentum reformasi 1998- 1999 dikaji kembali, sebagian faktornya berakar pada setting reformasi yang memang tidak menjanjikan berlangsungnya perubahan politik secara mendasar dan signifikan. Pengalaman banyak negara yang mengalami transisi demokrasi sejak paruh kedua 1970-an menunjukkan bahwa keberhasilan membangun suatu demokrasi yang terkonsolidasi tak bisa dipisahkan dari beragam variabel yang saling terkait satu sama lain, di antaranya, faktor pola atau model transisi yang dialami, kultur kekuasaan, sejarah politik, tradisi konsensual antarelite politik, dan tentu saja perkembangan sosial-ekonomi setiap negara.
Faktor- faktor tersebut berbeda pada setiap negara, sehingga seperti pernah dikemukakan baik oleh O’Donnell dan Schmitter, Huntington, maupun Diamond’, hampir tidak ada suatu pola yang sama dalam pengalaman transisi demokrasi yang dialami banyak negara di Amerika Latin, Eropa Selatan dan Timur, serta Asia sejak pertengahan 1970-an.
Dalam konteks Indonesia, pola transisi yang dialami mendekati salah satu model dalam perspektif teoretis Alfred Stepan, yakni perubahan yang disebabkan oleh tekanan oposisi di luar rezim otoriter.
Namun, tekanan terhadap rezim Soeharto itu, terutama muncul dari gelombang gerakan mahasiswa, dan bukan dari oposisi yang terlembaga melalui partai-partai politik. Mahasiswa dan massa rakyat yang menyuarakan aspirasi mengenai mendesaknya reformasi yang bersifat menyeluruh melalui berbagai aksi demonstrasi yang menyebar hampir di semua kota perguruan tinggi di Indonesia.
Reformasi Kelembagaan Inkonsisten
Orientasi reformasi yang lebih mengarah pada perubahan dalam birokrasi ini, bukanlah hanya merupakan tuntutan yang tanpa alasan, melainkan justru karena adanya beberapa permasalahan yang selama ini membelenggu birokrasi pada umumnya. Permasalahan yang terjadi dalam perilaku birokrasi, sering kali menjadi dasar permasalahan yang muncul di kalangan birokrasi.
Masalah birokrasi di Indonesia akan selalu terkait dengan dua sumber permasalahan yang sangat kompleks. Pertama, permasalahan yang muncul dari faktor internal, dan kedua, permasalahan yang bersumber dari faktor eksternal. Dari faktor internal misalnya, terkait dengan masalah yang meliputi hal-hal seperti kualitas SDM yang dianggap masih rendah, sistem dan prosedur bertele-tele (birokratis), budaya kerja yang feodalistik, kepemimpinan yang kaku dan cenderung tidak visioner, mental dan moral rendah, struktur organisasi yang gemuk tapi kurang jelas fungsinya, serta kesejahteraan pegawai yang rendah.
Faktor tersebut menyangkut masalah perilaku administrasi maupun perilaku organisasi. Sedangkan dari faktor eksternal, paling tidak terkait dengan hal-hal seperti kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap birokrasi, tuntutan masyarakat terhadap perlunya birokrasi yang profesional, bebas KKN, budaya yang dianut oleh masyarakat umum kurang kondusif bagi perbaikan birokrasi, tingkat kesadaran dan kedisiplinan masyarakat terhadap sistem kebijakan yang berlaku masih rendah, kesenjangan sosial, serta hal-hal lain yang terkait dengan pola, struktur, dan aktivitas publik yang dapat mempengaruhi tugas-tugas birokrasi.
Berkembangnya perilaku administrasi sebagaimana dikemukakan sebelumnya, disertai pula dengan perilaku masyarakat secara umum (dalam hal ini meliputi pula perilaku yang tumbuh dalam lingkungan organisasi), yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tuntutan perubahan terhadap organisasi birokrasi.
Namun demikian, bila ditelaah secara lebih jeli, yang menjadi tuntutan dalam reformasi birokrasi di Indonesia pada dasarnya meliputi dua hal pokok, yaitu (1) perlunya perubahan dalam kinerja birokrasi, berupa peningkatan profesionalisme dan kualitas pelayanan publik; (2) Dihapuskannya praktik-praktik penyelewengan birokrasi yang berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang dipandang sebagai sesuatu yang sudah terlalu parah terjadi di lingkungan birokrasi.
Hal tersebut bahkan dianggap telah menjadi budaya dalam lingkungan birokrasi. Tuntutan perubahan yang terjadi di Indonesia ini pada dasarnya merupakan sesuatu yang umum terjadi di kalangan birokrasi negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan antara lain karena adanya gap (kesenjangan) antara harapan (das sollen) masyarakat dengan kenyataan (das sein) yang dialaminya. Sebagaimana dikemukakan oleh Zauhar, bahwa pandangan (pen.: publik) terhadap birokrasi dewasa ini terbagi dalam dua pandangan yang berbeda, yaitu: Pertama, yang menganggap bahwa birokrasi pemerintah ibarat sebuah perahu besar yang dapat menyelamatkan seluruh warga masyarakat dari ‘bencana’ banjir ekonomi maupun politik.
Kedua, yang menganggap bahwa birokrasi pemerintah sering menunjukkan gejala yang kurang menyenangkan – canggung, kurang terorganisir dan buruk koordinasinya, menyeleweng, otokratik. Bahkan, sering bertindak korup.
Bila dikaitkan dengan realitas di Indonesia, paradoks mengenai pandangan terhadap birokrasi ini barangkali dapat dikatakan bahwa yang pertama merupakan harapan (das sollen), sedangkan yang kedua merupakan kenyataan (das sein) yang dirasakan dan dilihat oleh masyarakat. Dari adanya kesenjangan tersebut, maka tuntutan reformasi di Indonesia lebih mengarah pada kedua hal sebagaimana dikemukakan sebelumnya.
Meskipun reformasi konstitusi telah dilakukan, sulit dibantah bahwa dalam realitasnya perubahan yang dilakukan oleh MPR atas UUD 1945 tersebut cenderung bersifat tambal sulam. Dalam konteks substansi hasil amandemen, di satu pihak hendak dibangun sistem pemerintahan presidensial yang kuat, stabil, dan efektif. Di sisi lain, obsesi besar tersebut tidak didukung oleh struktur perwakilan bicameral yang kuat pula. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang semestinya merupakan salah satu “kamar” dari sistem perwakilan dua- kamar, bahkan tak jelas karena kekuasaan dan hak-haknya yang sangat terbatas.
Sebaliknya, para politikus parpol selaku penyusun konstitusi justru makin memperkuat posisi, kedudukan, kekuasaan, dan hak-hak DPR melebihi yang seharusnya dimiliki oleh parlemen dalam skema sistem presidensial. Pengangkatan pejabat publik, mulai anggota komisi-komisi negara, para hakim agung, pemimpin KPK, pemimpin BPK, dan pemimpin BI, kini menjadi otoritas DPR, sehingga fungsi Presiden sekadar mengusulkan nama-nama dan kemudian mengesahkan melalui surat keputusan Presiden (Kepres).
Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen tidak melembagakan berlakunya mekanisme checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan utama, yakni lembaga eksekutif-legislatif pada khususnya dan eksekutif-legislatif-yudikatif pada umumnya. Di satu pihak, suatu UU dapat tetap berlaku apabila dalam waktu 30 hari tidak disahkan oleh Presiden. Namun, di pihak lain Presiden tidak memiliki semacam hak veto untuk menolak UU yang telah disetujui DPR.
Padahal, tegaknya prinsip checks and balances bersifat mutlak karena menjadi salah satu fondasi utama bagi stabilitas dan efektifitas sistem pemerintahan presidensiil. Urgensi prinsip checks and balances itu diabaikan pula oleh konstitusi hasil amandemen dalam soal relasi DPR sebagai representasi rakyat dan DPD sebagai representasi wilayah.
Substansi hasil amandemen yang juga tidak koheren dan inkonsisten (takajek) dengan kebutuhan pembentukan sistem presidensial yang kuat dan efektif adalah kedudukan dan kelembagaan MPR. Institusi MPR yang semestinya merupakan sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD justru menjadi lembaga permanen dengan kepemimpinan permanen pula.
Akibat kekacauan konstitusional tersebut maka tidak mengherankan jika kita menyaksikan peristiwa politik yang “aneh tetapi nyata”. Dampak kekacauan konstitusional seperti itu pula yang menjelaskan munculnya konflik kelembagaan segitiga antara MK, KY, dan MA beberapa waktu yang lalu.
Reformasi kelembagaan yang cenderung tambal-sulam dan mengabaikan koherensi dan konsistensi juga tercermin dalam UU Bidang Politik dalam rangka Pemilu 2004 serta juga UU Politik untuk Pemilu 2009.
Secara teoretis, pilihan atas sistem pemilu seharusnya merupakan konsekuensi logis dari pilihan terhadap sistem perwakilan, sedangkan pilihan atas sistem kepartaian adalah konsekuensi logis dari pilihan terhadap sistem pemilu. Namun, dalam realitasnya kita mempertahankan sistem proporsional (proportional representation system) untuk pemilu legislatif, suatu pilihan politik yang sebenarnya tidak tepat karena sistem proporsional merupakan basis bagi terbentuknya sistem multipartai.
Padahal, seperti dikemukakan Mainwaring, perpaduan sistem presidensial dan sistem multipartai merupakan kombinasi yang sulit dan berpotensi menghasilkan deadlock dan immobilism dalam relasi Presiden dan Parlemen.
Masalahnya, pada masa pasca-Soeharto, baik sebelum Pemilu 1999 maupun Pemilu 2004, hampir tak pernah ada perdebatan serius mengapa sistem proporsional menjadi pilihan ketika desain konstitusi sebelum amandemen, apalagi sesudahnya, cenderung pada sistem presidensial ketimbang sistem parlementer. Bahkan, hampir tidak pernah ada perdebatan, apakah pilihan sistem proporsional dianggap cocok dalam konteks sistem presidensial.
Sebaliknya, juga hampir tidak pernah ada perdebatan mengapa MPR akhirnya bersepakat untuk memperkuat sistem presidensial padahal sebelum amandemen konstitusi berlangsung telah terbentuk sistem multipartai dengan tingkat fragmentasi tinggi seperti tercermin dalam DPR dan MPR hasil Pemilu 1999.
Ketidakjelasan berikutnya tampak dalam pembentukan kabinet presidensial, dalam skema koalisi parlementer. Sehingga, dalam berhadapan DPR -seperti tampak dalam respons terhadap usul hak interpelasi dan hak angket ataupun pengangkatan pejabat publik yang seharusnya menjadi otoritas Presiden dalam skema presidensial.
Pada satu pihak ada obsesi memperkuat presidensialisme, tetapi di lain pihak sistem kepartaian, sistem pemilu, dan sistem perwakilan tidak didesain dalam kerangka yang sama. Koalisi partai yang semu akhirnya menjadi beban bagi efektivitas pemerintahan karena “gangguan politik” DPR terhadap pemerintah justru turut didukung oleh partai-partai pendukung pemerintah.
Pendangkalan Pemahaman Politik
Memang sulit dimungkiri bahwa demokratisasi pasca-Orde Baru telah meningkat secara signifikan, ditandai antara lain reformasi konstitusi, pemilu yang demokratis, dan bahkan pemilihan langsung bagi presiden dan kepala-kepala daerah.
Akan tetapi, bersamaan dengan itu, pemahaman terhadap politik, partai politik, pemilu, demokrasi, dan esensi pemerintahan itu sendiri sesungguhnya mengalami pendangkalan yang luar biasa selama satu dekade terakhir. Pendangkalan pemahaman terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan politik tersebut meluas sedemikian rupa di semua tingkat, baik negara-masyarakat, maupun elite-massa.
Sebagian sumber pendangkalan pemahaman politik itu adalah berbagai distorsi yang diwariskan rezim otoriter Orde Baru. Sebagian lainnya adalah produk dari transisi demokrasi yang berlangsung tanpa komitmen etis yang jelas dan terarah bagi bangsa ini ke depan.
Politik, misalnya, cenderung tidak lagi dilihat sebagai kebebasan untuk memproduksi kebajikan dan keutamaan bagi kehidupan kolektif, melainkan lebih dipandang sebagai kesempatan yang disediakan oleh hak dasar yang melekat pada setiap manusia bebas. Politik akhirnya menjadi sangat konkret, yakni seolah-olah hanya kekuasaan itu sendiri.
Sehingga, tidak menjadi penting apakah kekuasaan itu bermanfaat bagi kolektivitas atau justru menjadi monster yang berpotensi menghancurkan kolektivitas, seperti Leviathan-nya Thomas Hobbes. Dalam bahasa Hannah Arendt, politik semata-mata dilihat sebagai relasi hak, padahal hak hanyalah salah satu manifestasi dari kebebasan.
Ideologi partai pun demikian, cenderung didistorsikan sekadar sebagai “visi dan misi” normatif tanpa kejelasan argumentatif mengapa suatu program lebih dipilih ketimbang yang lain.
Maka, asas atau ideologi pun berhenti menjadi dokumen tertulis sebagai prasyarat kelengkapan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai-partai yang diharuskan oleh undang-undang. Akibatnya, dalam realitas politik di parlemen, kita tidak bisa membedakan antara partai yang mengaku “nasionalis”, “Islam”, “Pancasila”, dan seterusnya.
Keharusan bagi para wakil rakyat mengontrol pemerintah cenderung didistorsikan sekadar sebagai “hak interpelasi” atau “hak angket”. Maka muncul euforia untuk mengusulkan hak interpelasi dan hak angket, kendati pada akhirnya lebih menjadi “panggung politik” bagi para politikus partai di DPR untuk mengaktualisasikan diri sebagai wakil rakyat yang “kritis”. Ketimbang, benar-benar mempersoalkan kebijakan pemerintah yang belum berpihak kepentingan rakyat, atau menawarkan alternatif kebijakan sebagai solusinya.
Sementara itu di sisi lain, keseriusan pemerintah bekerja untuk rakyat didistorsikan sebagai rapat-rapat kabinet yang makin sering dan bahkan tidak mengenal waktu, tempat, dan jarak, sehingga seolah-olah intensitas rapat kabinet yang tinggi menunjukkan bahwa pemerintah bekerja serius untuk rakyat.
Maka, berbagai instansi pemerintah pun berlomba mengiklankan program instansi atau departemennya, seolah-olah dengan berbagai iklan tersebut telah bekerja untuk rakyat, padahal dalam realitasnya hanya sekadar sebagai proyek yang makin menyuburkan korupsi di kalangan birokrasi.
Pola yang sama dilakukan oleh pemerintah-pemerintah daerah provinsi dan kabupaten serta kota, seolah-olah dengan cara itu para penyelanggara negara di tingkat nasional dan lokal telah bertanggung jawab serta berpihak pada rakyat dan masa depan bangsa kita.
Krisis Etika dan Kegagalan Kepemimpinan dalam Pemerintahan Pasca-Reformasi hingga Tahun 2024
Sejak dimulainya era Reformasi pada tahun 1998, Indonesia mengalami berbagai perubahan signifikan dalam sistem politik dan pemerintahan. Reformasi bertujuan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang muncul selama era Orde Baru, termasuk korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), serta kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Namun, meskipun berbagai upaya telah dilakukan, beberapa masalah mendasar tetap ada hingga hari ini. Tulisan ini akan mengulas krisis etika dan kegagalan kepemimpinan dalam menjalankan cita-cita Reformasi dan amanat UUD 1945.
Pemerintahan yang Bersih dan Transparan Reformasi menginginkan pemerintahan yang bebas dari korupsi, transparan dalam pengambilan keputusan, dan bertanggung jawab kepada rakyat. Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi masalah utama dalam pemerintahan Indonesia.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sering berada di peringkat yang rendah secara global, mengindikasikan bahwa upaya pemberantasan korupsi belum efektif.
Kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi negara, seperti skandal e-KTP dan berbagai kasus korupsi di sektor infrastruktur, menunjukkan adanya krisis etika dalam kepemimpinan. Banyak pejabat publik yang terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Selain itu, transparansi dalam pengambilan keputusan sering kali kurang, dengan proses yang tertutup dan minim partisipasi publik.
Pemerintahan yang Pro Rakyat Salah satu tujuan utama Reformasi adalah untuk mengutamakan kepentingan rakyat dalam setiap kebijakan yang dibuat. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak kebijakan yang tidak sepenuhnya pro-rakyat.
Misalnya, dalam bidang ekonomi, ketimpangan sosial dan ekonomi masih sangat tinggi. Banyak kebijakan ekonomi yang lebih menguntungkan kelompok elit dan perusahaan besar, sementara masyarakat miskin dan kelompok rentan sering kali terabaikan.
Dalam bidang pendidikan dan kesehatan, meskipun sudah ada perbaikan, masih banyak tantangan yang dihadapi. Akses terhadap pendidikan berkualitas dan layanan kesehatan yang memadai masih menjadi masalah besar, terutama di daerah-daerah terpencil dan terbelakang.
Kegagalan dalam memastikan pemerataan pembangunan dan pelayanan publik yang berkualitas mencerminkan kurangnya komitmen dari para pemimpin untuk benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat.
Pro Demokrasi Reformasi bertujuan untuk memperkuat demokrasi, memberikan hak-hak politik kepada semua warga negara, dan menghormati kebebasan berpendapat serta berorganisasi. Namun, praktik demokrasi di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Demokrasi sering kali hanya menjadi prosedural, dengan pemilu yang diselenggarakan secara rutin tetapi tidak selalu mencerminkan aspirasi rakyat secara substansial.
Kebebasan berpendapat dan berorganisasi sering kali dibatasi, dengan berbagai regulasi yang menghambat kebebasan pers dan aktivitas organisasi masyarakat sipil. Kasus-kasus penindasan terhadap aktivis dan jurnalis yang kritis terhadap pemerintah menunjukkan bahwa masih ada upaya untuk membungkam suara oposisi. Hal ini mencerminkan kegagalan kepemimpinan dalam menjamin kebebasan dan hak-hak politik warga negara.
Reformasi Birokrasi, Otonomi Daerah, dan Kepastian Hukum Reformasi juga berfokus pada perbaikan birokrasi, otonomi daerah, dan kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, birokrasi di Indonesia masih menghadapi masalah inefisiensi dan birokratisme yang berlebihan.
Proses reformasi birokrasi yang lambat dan kurangnya komitmen untuk melakukan perubahan struktural menyebabkan pelayanan publik yang kurang optimal. Otonomi daerah, yang seharusnya memberikan kekuasaan lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola wilayahnya, sering kali disalahgunakan.
Banyak kepala daerah yang terlibat dalam praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini menunjukkan adanya krisis etika dalam kepemimpinan di tingkat daerah, yang menghambat pencapaian tujuan otonomi daerah.
Kepastian hukum juga masih menjadi tantangan besar. Sistem peradilan yang korup dan tidak independen sering kali menjadi kendala dalam penegakan hukum yang adil dan merata.
Banyak kasus hukum yang diselesaikan dengan cara-cara yang tidak transparan dan penuh dengan intervensi politik, mencerminkan kegagalan dalam mewujudkan kepastian hukum bagi seluruh rakyat.
Amanah dan Cita-Cita UUD 1945
Alinea 1: Kemerdekaan sebagai Hak Semua Bangsa Alinea pertama UUD 1945 mengakui bahwa kemerdekaan adalah hak semua bangsa dan penjajahan harus dihapuskan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dalam konteks modern, ini berarti Indonesia harus aktif dalam mempromosikan perdamaian dan keadilan di tingkat internasional. Namun, kontribusi Indonesia dalam isu-isu global sering kali terbatas, dan masih ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk memainkan peran yang lebih besar di arena internasional.
Alinea 2: Kemerdekaan yang Bersatu, Berdaulat, Adil, dan Makmur Alinea kedua menekankan pentingnya menjaga persatuan, kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran. Namun, masalah separatisme dan konflik antar kelompok masih terjadi di beberapa wilayah.
Ketidakadilan sosial dan ekonomi yang tinggi menunjukkan bahwa kemakmuran belum merata dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Alinea 3: Rasa Syukur dan Keinginan Luhur untuk Hidup Sebagai Bangsa yang Bebas Alinea ketiga mengungkapkan rasa syukur dan keinginan luhur agar Indonesia hidup sebagai bangsa yang bebas.
Namun, kebebasan ini sering kali terancam oleh berbagai regulasi yang membatasi hak-hak dasar warga negara. Upaya untuk membungkam kritik dan oposisi menunjukkan bahwa cita-cita kebebasan belum sepenuhnya tercapai.
Alinea 4: Pemerintah yang Melindungi, Meningkatkan Kesejahteraan, dan Mencerdaskan Bangsa Alinea keempat menetapkan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, banyak kebijakan pemerintah yang belum mampu mewujudkan kesejahteraan dan kecerdasan bagi seluruh rakyat. Masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak.
Secara keseluruhan, meskipun era Reformasi telah membawa berbagai perubahan positif dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Krisis etika dan kegagalan kepemimpinan menjadi hambatan utama dalam mewujudkan cita-cita Reformasi dan amanat UUD 1945.
Pemerintahan yang bersih dan transparan, pro rakyat, dan pro demokrasi masih menjadi tujuan yang harus terus diperjuangkan. Reformasi birokrasi, otonomi daerah, dan kepastian hukum juga perlu mendapatkan perhatian serius untuk mencapai Indonesia yang lebih adil, makmur, dan berdaulat.
Akumulasi pendangkalan pemahaman terhadap politik tersebut berdampak pada terjadinya krisis etika dan kepemimpinan sangat serius di semua tingkat, negara dan masyarakat, di pusat dan daerah. Lembaga- lembaga parlemen di tingkat nasional dan daerah yang semestinya menjadi mitra pemerintah dalam mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan rakyat justru berkembang menjadi kelompok-kelompok penekan yang tak jarang memaksakan kehendaknya atas nama rakyat atau atas nama demokrasi itu.
Kasus suap atau korupsi miliaran rupiah dana Bank Indonesia yang diduga melibatkan semua anggota Komisi IX DPR 1999-2004 mencerminkan hal ini. Komisi-komisi kerja di DPR Senayan akhirnya menjadi “kelompok penekan” bagi mitra mereka di pemerintahan.
Ironinya, secara fisik gedung-gedung parlem bahkan dibangun dan didesain sedemikian rupa sehingga benar-benar terisolasi dari denyut suara rakyat, sumber mandat, kedaulatan dan legitimasi yang seharusnya disantuni dan dihormati.
Gedung DPR Senayan, misalnya, bahkan dibentengi oleh pagar setinggi empat meter agar rakyat selaku pemberi mandat tidak bisa menjangkaunya. Akibatnya, persidangan dan rapat-rapat parlemen pun yang secara formal dinyatakan terbuka untuk umum pada akhirnya hanya menjadi arena negosiasi dan pertukaran kepentingan di antara para politikus partai itu sendiri.
Realitas ini berbeda jauh dengan apa yang dibayangkan oleh HOS Tjokroaminoto tentang “parlemen sejati” pada awal 1920-an atau tuntutan GAPI tentang Indonesia Berparlemen pada periode akhir 1930-an. Juga bertolak belakang dengan bayangan Bung Karno bahwa, “Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya”.
Kegagalan kepemimpinan juga dapat dilihat dalam kinerja partai-partai politik. Hal itu, antara lain, tercermin dari kecenderungan para elite partai meraih dukungan dengan memanipulasi identitas kultural dan primordial.
Hampir belum pernah ada upaya para pemimpin partai untuk mendidik rakyat supaya endukung mereka secara rasional berdasarkan prinsip pertukaran dukungan (yang diberikan rakyat) dengan pelayanan publik (yang diberikan elite sebagai kompensasinya).
Di sisi lain, sebagian partai terperangkap ke dalam kepemimpinan yang cenderung oligarkis, sehingga komitmen terhadap segenap proses demokratis acap berhenti sebagai jargon yang bahkan tidak terwujud dalam kehidupan internal partai. Ironinya, kepemimpinan partai yang oligarkis tetap melembaga kendati pada saat yang sama pemilu-pemilu pasca-Soeharto mengarah pada pemilihan yang bersifat langsung.
Pada sisi lain, meskipun berlaku sistem multipartai, relatif tidak ada perbedaan ideologis yang signifikan di antara parpol di DPR dewasa ini. Secara formal semua parpol mengklaim memiliki ideologi yang berbeda satu sama lain. Namun, dalam realitas politik hal itu tidak begitu tampak dalam perdebatan terkait berbagai isu politik dan kebijakan.
Semua parpol, termasuk PKS yang dianggap lebih ideologis dibandingkan parpol lainnya, bisa saling bekerja sama satu sama lain tanpa hambatan ideologis. Konsekuensi logis dari fenomena ini adalah berkembangnya politik kartel dalam sistem kepartaian, yang ditandai, antara lain, oleh kecenderungan persaingan, dan kerja sama antarparpol yang lebih berpusat pada perburuan rente (rent seeking) ketimbang kompetisi memperjuangkan kebijakan atas dasar ideologi tertentu untuk kepentingan umum.
Fenomena politik kartel ini menjelaskan mengapa semua parpol ingin mendekat dan menjadi bagian dari pemerintah yang berkuasa atau negara-sumber dana terbesar dan perputaran roda ekonomi Indonesia saat ini. Partai Golkar, misalnya, baik pasca-Pemilu 2004 maupun pasca-Pemilu 2009 lebih memilih menjadi bagian dari kekuasaan dan koalisi politik yang dibentuk Presiden Yudhoyono daripada menjadi oposisi di Parlemen.
Realitas lembaga-lembaga peradilan tak jauh berbeda. Hukum yang semestinya diciptakan untuk menegakkan keadilan, dewasa ini cenderung dikhianati oleh para jaksa, hakim, dan polisi untuk memburu rente dalam rangka kepentingan pribadi dan kelompok.
Kasus penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan pada, misalnya-yang tertangkap basah oleh KPK menerima suap dari Artalyta Suryani (Ayin) hanyalah puncak dari gunung es kebobrokan lembaga peradilan. Berbagai aturan dan hukum positif pun didesain sedemikian rupa agar bisa disiasati dan dipermainkan oleh unsur- unsur penegak hukum.
Maka, mungkin hanya terjadi di negeri kita ketika Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan surat keputusan untuk memperpanjang masa jabatannya sendiri dan ditandatangani sendiri pula. Juga, barangkali hanya terjadi di Indonesia sebagian koruptor pengemplang dana BLBI yang seharusnya diburu, ditangkap, dan situasi ketidakpastian yang akhirnya berdampak pada kesulitan yang di hadapi oleh rakyat.
Dalam situasi demikian maka tak mengherankan apabila pemaksaan kehendak, premanisme, dan anarki menjadi satu-satunya pilihan bagi massa rakyat yang tidak berdaya dan tidak percaya terhadap para wakilnya di parlemen, serta juga tidak percaya terhadap hukum, pemerintah dan negara.
Ironinya, anarki massa yang makin merajalela itu dewasa ini bahkan dapat disaksikan secara live melalui tayangan stasiun-stasiun televisi kita. Seolah-olah merupakan tontonan dan hiburan yang tak perlu dicari solusi atau jalan keluarnya oleh para elit politik di semua tingkat pemerintahan dan masyarakat. Termasuk lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif, serta juga organisasi-organisasi sosial, agama, kemasyarakatan, dan perguruan tinggi.
Setidak-tidaknya untuk sebagian, fenomena korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di tingkat elite, serta anarki di tingkat massa, bisa dibaca sebagai produk dari krisis etika dan kegagalan kepemimpinan yakni kepemimpinan otoritas sipil yang dihasilkan melalui pemilu demokratis pasca- Soeharto.
Merajut Harapan dan Optimisme
Lalu masih adakah harapan serta ruang bagi optimisme? Kalau kita mau jujur sebenarnya masih terbuka harapan yang bisa dirajut di balik karut-marut aneka persoalan bangsa, selama satu dekade terakhir.
Pertama, meskipun demokrasi yang dihasilkan Pemilu 1999, 2004, dan 2009 masih bersifat prosedural, beberapa studi menggaris bawahi bahwa institusionalisasi demokrasi di Indonesia selama satu dekade terakhir relatif lebih menjanjikan ketimbang Filipina dan Thailand.
Apabila konsep institusionalisasi sistem kepartaian didasarkan pada tingkat stabilitas kompetisi antarpartai, seperti diajukan oleh Mainwaring dan Torcal, sebagian besar partai politik di Indonesia lebih terinstitusionalisasi ketimbang sebagian besar partai di dua negara Asia Tenggara tersebut.
Penilaian serupa dikemukakan oleh Marcus Mietzner yang mengatakan, bahwa daya tahan partai-partai di Indonesia relatif lebih lama. Bukan hanya dibandingkan dengan partai-partai di Thailand dan Filipina, melainkan juga jika dibandingkan partai- partai di Korea Selatan.
Studi Aspinall dan Mietzner, serta Bappenas-UNDP, yang dikutip di awal tulisan ini menggarisbawahi, jika kinerja insitutisi-institusi demokrasi yang dihasilkan pemilu-pemilu demokratis lebih meningkat secara kualitatif, masa depan bangsa kita sesungguhnya menjanjikan.
Persoalannya, tinggal menciptakan dan mengelola kreativitas untuk “memaksa” para elite penyelenggara negara di eksekutif, legislatif, dan lembaga peradilan yang dihasilkan pemilu benar-benar bekerja untuk rakyat dan bangsa ini.
Kedua, harus diakui bahwa meskipun aneka persoalan bangsa silih berganti terutama mengenai konflik komunal, seperti Sambas di Kalbar, Kalteng, Maluku, dan Poso di Sulteng. Kemudian, beberapa daerah diwarnai anarki dan konflik Pilkada, bencana alam datang bertubi-tubi, dan korupsi masih merajalela tetapi ada pertumbuhan ekonomi sekitar lima hingga enam persen per tahun selama satu dasawarsa terakhir.
Di samping itu, konflik-konflik komunal relatif tidak bersumber pada perbedaan pandangan politik, melainkan lebih pada persoalan ketimpangan struktur ekonomi dan ketidakadilan antara komunitas lokal dan masyarakat pendatang yang akhirnya memicu sentimen komunal. Jadi, terbuka peluang bagi tegaknya demokrasi atas dasar pluralitas dan multikultural.
Di sisi lain, meskipun Perda syariah cukup marak di beberapa daerah pasca-Soeharto, belum ada indikasi yang signifikan bahwa hal itu mengancam “kebhinekaan di dalam persatuan” yang menjadi identitas bangsa kita. Sementara itu, kekerasan atas nama agama, sejauh ini relatif tidak memperoleh dukungan populer di Tanah Air.
Ketiga, secara historis bangsa ini pernah melahirkan para pemimpin politik yang benar-benar memiliki komitmen untuk mengabdi bagi keindonesiaan, bukan sekadar “mengambil” seperti para politikus partai dewasa ini.
Sebelum merdeka, Bung Karno, Bung Hatta, HOS Tjokroaminoto, dan Tjipto Mangunkusumo, misalnya, memberi keteladanan bagi kita bahwa organisasi pergerakan dan partai politik adalah tempat mengabdi bagi ibu pertiwi. Keteladanan serupa dicontohkan oleh banyak pemimpin bangsa sesudah merdeka, seperti Mohammad Natsir, Sjahrir, dan J. Kasimo.
Pada umumnya para pemimpin bangsa yang juga pernah menjadi pemimpin-pemimpin partai tersebut rela hidup menderita demi komitmen ideologis mengangkat harkat bangsa dan masyarakatnya. Tidak berlebihan jika Mohammad Roem, misalnya, memberi kesaksian atas teladan kesederhanaan hidup dan perjuangan Haji Agus Salim bagi bangsa ini bahwa sesungguhnya “memimpin adalah menderita”.
Realitas historis ini tentu bisa menjadi aset untuk merajut harapan bahwa pemimpin-pemimpin serupa sebenarnya dapat dilahirkan bangsa ini di masa depan. Meskipun komitmen untuk melahirkan pemimpin yang berkarakter itu dewasa ini cenderung hanya dimiliki oleh berbagai elemen masyarakat sipil dan akademisi.
Komitmen serupa dapat ditularkan pada elemen political society, jika kita-elemen civil society memiliki strategi alternatif yang cerdas dalam mengelola relasi dengan dimaksud, seperti dikemukakan oleh Syafii Maarif, Cenderung” Mati Rasa”.
Dalam kaitan tersebut, tulisan ini secara tegas menjawab, tidak akan pernah ada perubahan signifikan jika kita mengharapkan inisiatif itu datang dari para elite penyelenggara negara yang dihasilkan parpol dewasa ini.
Soalnya sangat jelas: pertama, para elite penyelenggara negara bukan hanya tidak memiliki kepekaan terhadap krisis multidimensi yang dialami bangsa kita. Melainkan juga, cenderung berpandangan bahwa “tidak ada masalah” dalam kehidupan bangsa kita. Sistem otoriter telah tumbang, demokrasi berkembang, ekonomi tumbuh, kemiskinan mulai berkurang, pemberantasan korupsi berjalan, dan seterusnya.
Kedua, pemilu-pemilu kita yang relatif sudah semakin bebas dan demokratis, lebih melahirkan para penguasa yang cenderung hanya siap “mengambil”. Ketimbang, para pemimpin yang amanah, bertanggung jawab, serta benar-benar mengabdi bagi rakyat dan bangsanya.
Sebagian besar mereka cenderung hanya memikirkan manfaat dari kekuasaan yang diraih dan mandat yang diberikan rakyat, bagi diri, keluarga, dan kelompok mereka sendiri. Harus dikatakan, betapa pun pahitnya, sebagian besar elite penyelenggara negara tidak atau belum memikirkan bangsa, atau bagaimana seharusnya rumah Indonesia dirancang dan dibangun agar segenap rakyat, seperti dikatakan Bung Karno, merasa “dipangku oleh ibu pertiwi”.
Dalam kaitan tersebut, makalah ini mengambil posisi bahwa perubahan ke arah kehidupan bangsa yang lebih baik tidak bisa diharapkan semata-mata dari para elit penyelenggara negara, yang dihasilkan oleh pemilu-pemilu yang semakin demokratis.
Perubahan menuju rumah Indonesia yang lebih nyaman bagi segenap rakyatnya, yakni ketika kita semua telah merasa “dipangku oleh ibu pertiwi” seperti dibayangkan Bung Karno. Hal ini dapat terwujud, apabila rakyat selaku pemilik kedaulatan politik dan pemberi mandat dalam pemilu, terus-menerus meneriakkan ketidakadilan, kebusukan, ketidakpedulian dan sikap “mati rasa” para elite penyelenggara negara atas nasib dan masa depan bangsa kita.
Oleh karena itu, kata kunci bagi perubahan menuju rumah Indonesia yang lebih baik adalah membangun saling percaya, kerja sama, dan konsolidasi di antara berbagai elemen kekuatan masyarapat sipil.
Kerja sama dan konsolidasi elemen masyarakat sipil, media, CSO, ormas, akademisi, dan mahasiswa-diperlukan untuk mendesakkan perubahan kepada mereka yang seharusnya paling bertanggung jawab untuk itu, yakni para elit penyelenggara negara.
Selain itu, suasana saling percaya, kerja sama dan konsolidasi berbagai elemen masyarapat sipil diperlukan dalam rangka kerja besar pendidikan, pencerdasan, dan penyadaran rakyat sebagai “warga negara”. Bukan sekadar “massa” yang mudah diprovokasi, dimanipulasi, dan dimanfaatkan oleh elit negara dan elit non-negara, yang setiap saat “mengail di air politik yang keruh’ untuk kepentingan busuk mereka masing-masing.
Soalnya sangat jelas, tidak ada demokrasi yang substansial, terkonsolidasi, dan bermakna tanpa keberadaan rakyat sebagai “warga negara yang sadar akan hak dan tanggung jawab mereka di dalam politik dan ekonomi negeri ini.