
Oleh: Rahmi Sofiarini – Praktisi Pembangunan
Tragedi jatuhnya pendaki di Gunung Rinjani asal Brasil, Juliana Marins, masih meninggalkan duka bagi warga Lombok walau bukan kerabat. Dia adalah tamu yang datang dari benua berjarak ribuan kilometer untuk menikmati indahnya pemandangan Gunung Rinjani.
Gunung Rinjani telah masuk dalam daftar spot wisata dunia, mensandingkan dirinya dengan gunung-gunung terkenal lainnya di dunia, seperti Gunung Himalaya yang terletak membentang di beberapa Asia Selatan atau Gunung Fuji di Jepang.
Walau Gunung Rinjani memiliki medan yang curam, berbatu dan lincin untuk didaki, namun pesona Gunung Rinjani yang megah dan menawan menarik para pendaki dunia.
Mereka naik untuk menikmati matahari terbit dan tenggelam, hutan savana, hutan tropis, dan kesegaran danau Segara Anak. Keindahan alam yang luar biasa tersebut telah mendatangkan sekitar 189.000 pendaki pada tahun 2024, dan setengahnya merupakan wisatawan mancanegara. 93 persen para pendaki menyatakan ingin kembali lagi ke Gunung Rinjani.
Fakta ini menunjukan bahwa spot wisata Gunung Rinjani telah menjadi magnet pendaki dunia. Bagi pemerintah NTB, ini merupakan modal besar untuk mewujudkan misi Gubernur NTB saat ini, menjadikan NTB Makmur mendunia.
Untuk mencapai cita-cita tersebut, sektor pariwisata ditetapkan sebagai salah satu sektor pengungkit utama, menjadikan pariwisata NTB berkelas dunia. Apakah cita-cita tersebut sebuah utopia atau realistik?.
Mari kita belajar dari tragedi Gunung Rinjani.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, tercatat delapan kecelakaan serius dengan enam korban meninggal dunia di Gunung Rinjani. Para korban meninggal berasal dari Portugal, Malaysia, Swiss, Irlandia, Indonesia dan terkahir dari Brasil.
Tragedi ini menunjukan bahwa ini bukan masalah lokal, tapi isu global dalam konteks wisata internasional. Wisata Gunung Rinjani telah menjadi bagian wisata dunia, namun apakah standar dan regulasi penyelenggaran pendakian Gunung Rinjani sudah standar dunia?.
Tragedi Juliana Marins, jatuh pada tanggal 21 Juni 2025 pagi dan berhasil dievakuasi lima hari setelahnya, Rabu, 25 Juni 2025. Dalam dua hari pertama, publik menilai belum adanya upaya evakuasi yang signifikan. Karena itu pada hari ketiga, Instagram Presiden Prabowo, dibanjiri oleh netizen Brasil yang mempertanyakan proses evakuasi dan kekhawatiran mereka.
Setelah ramai di media sosial barulah pada hari Senin, 23 Juni 2025, nampak terjadi proses evakuasi yang lebih intensif dan dipublikasikan secara luas ke publik. Proses evakuasi berjalan yang lancar dan sukses.
Tanpa mengurangi kehebatan tim SAR gabungan yang telah bekerja, kita mencatat bahwa telah terjadi respons yang lambat dan tergugah oleh tekanan media sosial, bukan hasil sebuah protokol yang profesional.
Nampak bahwa kurangnya kesiapan sistem evakuasi dan respons cepat terhadap tragedi tersebut. Minimnya komunikasi pengelola pada dua hari pertama yang memaksa warga Brasil, yang sangat menghargai sebuah nyawa, ribut di media sosial.
Bercermin dari tragedi pendaki Brasil tersebut, maka kita perlu bertanya, apakah pariwisata NTB siap menjadi pariwisata berkelas dunia?.
Menjadi kelas dunia bukan hanya tentang promosi pemandangan, tapi juga soal manejemen resiko keselamatan dan pelayanan kegawatdaruratan. Standar internasional pariwisata mensyaratkan kesiapsiagaan tinggi dalam menanganan insiden, dari operator wisata, pengelola kawasan hingga pemerintah daerah.
Apa yang harus dilakukan agar bisa menjadi pariwisata berkelas dunia khususnya untuk wisata alam pendakian?, beberapa poin di bawah bisa menjadi masukan:
- Digitalisasi dan transparansi informasi dengan menciptakan dashboard online yang bisa diakses publik dan keluarga pendaki. Tidak hanya tentang informasi kuota pendakian, tarif, dan jadwal pendakian, namun penting memberikan informasi terkait kondisi gawat darurat dan kecelakaan dan respons dan upaya evakuasi.
- Sertifikasi operator wisata, pemandu gunung. Saat ini tercatat sekitar 500 operator wisata, pemandu gunung dan porter. Mereka wajib mendapatkan pelatihan, disertifikasi, dan pengawasan ketat serta pencabutan izin jika lalai.
- Pelibatan komunitas dan edukasi wisatawan. Edukasi tentang etika dan keamanan pendakian untuk wisatawan, kolaborasi dengan komunitas lokal sebagai garda terdepan pertolongan pertama, relawan.
- Pelatihan dan standarisasi tim SAR.
- Ketersedaian helikopter yang standby sesuai kondisi kawasan pendakian.
Tragedi seperti ini adalah alarm keras bagi mimpi besar NTB. Ketika nyawa menjadi taruhannya, maka rebranding wisata NTB bukan hanya tentang promosi visual tapi transformasi sistemik.
Tragedi ini bukan akhir dari mimpi besar NTB, tetapi titik awal transformasi agar keselamatan dan keindahan bisa berjalan beriringan. (*)