Mataram (NTBSatu) – Swasembada pangan bukan hanya menjadi simbol kedaulatan nasional, tetapi juga kunci mengurangi ketergantungan impor dan memperkuat ekonomi lokal..
Namun di balik ambisi besar ini, ancaman kerawanan pangan masih menghantui beberapa wilayah, termasuk NTB.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2024, NTB mencatat prevalensi kerawanangan sebesar 7,71 persen. Angka tersebut masuk dalam kategori rawan pangan berat dan menempatkan NTB di peringkat kedelapan nasional.
Situasi ini membuat NTB sebagai salah satu provinsi dengan potensi agraris yang bersar, menghadapi dilema.
Pasalnya, data BPS menunjukkan luas panen padi di NTB 2024 mencapai 280,03 ribu hekatre. Angka itu menurun sebesar 7,49 hektare atau 2,60 persen daru tahun sebelumnya yang tercata 287,51 ribu hektare.
Produksi padi pun mengalami penurunan yang signifikan. Pada tahun 2024, produksi padi di NTB diproyeksikan mencapai 1,45 juta ton Gabah Kering Giling (GKG).
Namun kenyataannya turun 85,09 ribu ton GKG atau 5,53 persen, dari produksi tahun 2023 sebesar 1,54 juta ton GKG.
Penurunan produksi ini mengindikasikan bahwa NTB menghadapi ancaman serius terhadap ketahanan pangan lokal.
Penurunan luas panen dan produksi padi ini akibat beberapa faktor, seperti alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian, perubahan iklim. Serta, tantangan dalam manajemen sumber daya air dan infrastruktur pertanian.
Padahal, padi merupakan komoditas utama di NTB yang sangat mempengaruhi ketahanan pangan dan ekonomi daerah.
Dengan potensi agraris yang melimpah, seharusnya NTB mampu menjadi salah satu pilar utama ketahanan pangan nasional. Namun, posisi NTB dalam daftar provinsi rawan berat menunjukkan adanya masalah serius dalam sistem pertanian dan distribusi.
Persoalan ini mengundang kekhawatiran tentang efektivitas program ketahanan pangan yang selama ini berjalan.
Kerawanan pangan tidak sekadar masalah kekurangan makanan, tetapi juga berdampak langsung pada ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Ketidakstabilan tersebut bisa memicu inflasi bahan pokok, menurunkan daya beli, dan meningkatkan angka kemiskinan. (*)