Sementara oknum Polres Lombok Timur menerima uang sebesar Rp247.450.000. Uang itu ditransfer ke rekening polisi inisial ES dan DWGB, dan digunakan untuk keperluan pembayaran jasa pengamanan objek vital pengamanan lokasi tambang PT AMG.
Lalu bagaimana pandangan hukumnya?
Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menyebut, sudah jadi rahasia umum, aparat kepolisian kerap dilibatkan dalam pengamanan sengketa tanah perkebunan dan pertambangan. Pengusaha lebih memilih ‘membayar’ polisi ketimbang berurusan dengan masyarakat yang kecewa dan menuntut tanggung jawab perusahaan.
Padahal, tambah Bambang, telah ada ketentuan yang mengatur larangan agar polisi dan tentara tidak diperbolehkan berbisnis. Sebagai pengayom, polisi semestinya memberikan pengamanan kepada seluruh warga.
Baca Juga:
- Pengangkatan PPPK Paruh Waktu Tunggu Kebijakan Pusat, Pemprov NTB Minta Honorer Sabar
- PT Autore Sebut Aktivitasnya di Perairan Sekaroh Legal
- Tarik Ulur Kepentingan Hambat Pembangunan Pariwisata Meang, Warga dan Wisatawan Jadi “Korban”
- Pejabat Pemkab Lobar Disebut Berpeluang Jadi Tersangka Dugaan Korupsi LCC
“Kepolisian seperti jadi milik pengusaha. Karena dari dulu polisi dihadapkan pada kue,” kata Bambang, dikutip dari Hukum Online, Sabtu, 26 Agustus 2023.
UU Kepolisian, kata Bambang,tidak menyebutkan pendanaan operasional pengamanan. Ketidakjelasan inilah yang sering dijadikan dalih untuk mendapatkan dana dari pemilik ‘objek vital’. Masalahnya, penerima dana itu tidak masuk kas resmi kepolisian sebagai penerimaan negara bukan pajak.
Sementara menurut Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, polisi menerima dana dari perusahaan sama saja dengan gratifikasi.
“Kalau tidak dihentikan, ini jadi peluang memperkaya para jenderal. Ke depan tidak boleh lagi polisi menerima uang-uang,” katanya.(MKR)