Karena itu, dia meminta agar JPU menuntut dan meminta pertanggungjawaban Krisbiantoro. “Sangat tidak adil jika sejumlah uang tersebut dibebankan ke Lalu Irham,” ucapnya.
Poin memori banding berikutnya, majelis hakim dinilai keliru terkait jumlah kerugian negara berdasarkan ahli perhitungan ahli BPKP. Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006 menyatakan bahwa kerugian negara itu harus nyata dan pasti serta dihitung oleh ahli BPK.
Hal itu sesuai Pasal 23 E ayat (1) UUD Tahun 1945, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan No. 1 Tahun 2008 tentang Penggunaan Pemeriksa dan/atau Tenaga Ahli dari Luar BPK, bahwa yang berwenang menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Baca Juga:
- Dua Mahasiswa Ummat Borong Juara Kompetisi Canva Tingkat Nasional
- Kunker ke Surabaya, Komisi III DPRD NTB Nilai Perubahan Perda Penyertaan Modal Mendesak
- Diskursus Vol VI Overact Theatre, Menguak Sejarah Teater Kamar Indonesia
- Perjalanan Kepemilikan ANTV yang Kini Lakukan PHK Massal
Selanjutnya, terkait uang pengganti yang dibebankan ke Lalu Irham. Satrio menganggap uang Rp29 miliar yang dibebankan kepada tidak sesuai dengan fakta persidangan.
Menurut dia, kliennya seharusnya membayar Rp5 miliar. Hal itu sesuai pengakuan Lalu Irham saat memberi kesaksian di hadapan majelis hakim.
Hal itu juga sesuai Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana korupsi yang berbunyi, dalam hal menentukan jumlah pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi sesuai yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan semata-mata sejumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan. (KHN)