Opini

Analisis Sosiologi Mengenai Keputusan Inara Rusli Melepas Cadar

Oleh : Muhammad Makro Maarif Sulaiman, S.Sos., M.A. ( Kontributor Tulisan di ig sosiologi_id )

Beberapa waktu yang lalu, terdapat tindakan yang cukup berani dari seorang perempuan publik figur bernama Inara Rusli. Bagaimana tidak, dia memutuskan untuk melepas cadar yang dipakainya selama ini setelah dia mengalami masalah rumah tangga dengan Virgoun, suaminya, yang merupakan seorang penyanyi terkenal, yang dikabarkan berselingkuh dengan seorang perempuan.

Tindakan tersebut dilakukan di hadapan awak media didampingi oleh Ustadz Derry Sulaiman dan mitra kerja Inara, yakni dr. Richard Lee. Ditambah alasan lain karena Inara terikat kontrak kerja dengan salah satu ambassador produk kecantikan milik dr. Richard Lee di mana Inara sebagai duta atau ikon penting dari ambassador tersebut yang menurut informasi dari beberapa link media, honor Inara bisa sampai Rp40 juta per hari.

Bergabungnya Inara dengan ambassador tersebut merupakan sebuah pilihan yang harus dijalani olehnya untuk memenuhi nafkah bagi anak-anaknya sebagai dampak dari keretakan rumah tangganya dengan Virgoun. Dalam hukum Islam, ada ulama yang mewajibkan pemakaian cadar, namun sebagian ulama lain menghukumi itu sunnah sehingga apa yang dilakukan Inara masih berada dalam koridor syariat.
Meskipun demikian, apa yang dilakukan oleh Inara menimbulkan pro dan kontra karena masih saja ada sebagian orang yang menilai apa yang dilakukan oleh Inara di hadapan awak media merupakan hal yang tidak etis dan tidak bermanfaat.

Secara sosiologis, kemantapan Inara dalam melepas cadar tidak bisa serta merta dan tidak sekadar karena persoalan ekonomi sebagai dampak dari perselingkuhan suaminya, tetapi juga berkaitan dengan struktur budaya masyarakat. Selain meminta nasihat guru spiritualnya, Ustadz Derry Sulaiman, Inara juga memikirkan apa respon masyarakat.

Respon masyarakat menjadi sebuah validasi bagi keputusan Inara dan hal itu diaktualisasikan Inara melalui apa yang oleh Charles Horton Cooley disebut sebagai looking glass self atau teori cermin diri. Dalam teori tersebut terdapat tiga tahap pembentukan diri antara lain : pertama, seseorang akan membayangkan bagaimana perilaku atau tindakannya terlihat bagi orang lain. Kedua, seseorang selalu terbayang bagaimana orang lain menilai tindakan atau perilakunya. Ketiga, seseorang akan membangun konsepsi tentang dirinya sesuai asumsi penilaian orang lain terhadap dirinya itu.

Penilaian masyarakat terutama dalam komunitas Muslim ialah hendaknya seorang muslimah jika dia konsisten bercadar harus menjaga konsistensi tersebut, dan jika seorang muslimah belum bercadar hendaknya melalui pertimbangan yang matang jika ingin bercadar.

Maka secara sosiokultural pemakaian cadar tidak boleh lepas-buka dan cukup berdampak secara negatif apabila dilanggar seperti menciptakan prasangka.

Dalam konteks demikian, Inara memperhatikan atau mempertimbangkan penilaian masyarakat sebagai sebuah cermin yang memantulkan kategorisasi, rekognisi, dan stigmatisasi.

Cermin sosial demikian sebagai acuan oleh Inara dalam membentuk konsepsi tentang dirinya yang mantap melepas cadar dan konferensi pers yang dilakukannya di hadapan para pekerja media bertujuan untuk menyelaraskan dengan penilaian masyarakat melalui konfirmasi dan argumentasi.

Lebih lanjut, hal itu untuk mewujudkan rekognisi tentang identitas dirinya sebagai seorang muslimah yang giat bekerja dan tetap menjalankan syariat Islam sehingga bisa meminimalisasi kategori yang buruk seperti stigma yang mengarah kepada dirinya.

Tentu apa yang dilakukan oleh Inara dalam memantapkan diri melepas cadar melalui upayanya membayangkan apa yang akan dia lakukan terhadap orang lain dan seperti apa respon orang lain terhadap dirinya.

Kemantapan diri Inara dalam melepas cadar, selain berkaitan dengan penyelarasan terhadap penilaian dari masyarakat, juga bertalian dengan hal lain yang cenderung memiliki relasi kuasa yang mapan, yakni struktur kapitalisme terhadap pengelolaan tubuh dan emosi.

Sebagaimana kita tahu, kemantapan Inara melepas Cadar mulanya karena keinginan dari Virgoun, namun demikian Inara selalu berupaya melakukan negosiasi supaya tetap bercadar meskipun atas nasihat Ustadz Derry Sulaiman, Inara diminta memenuhi permintaan Virgoun.

Dalam hal demikian, potensi negosiasi Inara untuk bercadar tetap ada. Setelah terjadi ketidakharmonisan antara Inara dan Virgoun, bayang-bayang untuk berpisah semakin kuat dan kian mendekati kenyataan.

Virgoun merasa lepas tangan dari perannya sebagai ayah dan suami, maka Inara pun mengusahakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terutama untuk ketiga anaknya yang masih kecil.
Beruntung Inara memiliki relasi dengan dr. Richard Lee yang memiliki klinik dan produk kecantikan yang cukup sukses di mana kemudian Inara dipercaya untuk berperan sebagai brand awareness.

Dengan profesi demikian, dr. Richard Lee dapat membantu perekonomian Inara yang mana Inara dapat tertopang kehidupan ekonominya dan membantu kenaikan rating penjualan pada produk-produk kecantikan dr. Richard Lee sehingga terbentuk simbiosis mutualisme dalam relasi sosial antara dr. Richard Lee dan Inara.

Meskipun begitu, ada hal-hal yang perlu kita cermati lebih mendalam. Kerja sama Inara dengan dr. Richard Lee menjadikan Inara harus sepenuhnya untuk melepas cadar, tidak ada peluang untuk negosiasi. Hal itu disebabkan klinik dan produk kecantikan milik dr. Richard Lee bernilai komersial sehingga Inara diharuskan mengelola diri dan perasaannya ketika menjalankan peran sebagai brand awareness.

Hal itu yang oleh Arlie Hochschild disebut sebagai bentuk komersialisasi emosi atau transmutasi sistem emosi yang berarti transformasi di mana penanganan emosi secara pribadi “jatuh” di bawah pengaruh organisasi besar, rekayasa sosial, dan motif keuntungan.

Inara dituntut dengan wajahnya yang tidak lagi tertutup cadar untuk selalu menunjukkan keelokan wajah dan senyum yang memikat konsumen serta ucapan-ucapan persuasif yang membuat konsumen tertarik untuk membeli produk kecantikan dan mencoba jasa klinik kecantikan milik dr. Richard yang didesain sedemikian modern.

Dari itu tentu pundi-pundi rupiah dapat diperoleh dr. Richard Lee dan Inara yang didasari oleh kemampuan Inara dalam mengelola emosinya agar selalu bernilai uang, emosi yang diuangkan, monetisasi emosi. Emosi Inara harus selalu dalam kondisi bagus dan menampakkan penampilan yang lemah lembut agar relasi dengan konsumen selalu terpelihara.

Di samping itu, Inara harus selalu menjaga penampilan tubuhnya yang ideal agar selalu menjadi pusat perhatian ketika sedang mempromosikan produk-produk dan klinik kecantikan dari dr. Richard Lee.
Inara menjaga agar tubuh idealnya tidak menjadi kurus atau menjadi gemuk, yang diupayakan agar cocok dengan pembawaan fisik dari orang-orang yang melakukan pemasaran produk-produk yang sifatnya kompetitif yang mana ada bias gender menjadikan tubuh gender tertentu sebagai simbol komoditas.
Hal itu relevan dengan perspektif Michel Foucault mengenai relasi kuasa dalam pendisiplinan terhadap tubuh agar tubuh mematuhi pengetahuan yang telah diwacanakan yang memiliki kekuatan legalitas tidak terkecuali dalam wacana mengenai industri produk kecantikan.

Demikian selanjutnya apabila diperkuat dengan analisis Dramaturgis dari Erving Goffman, Inara harus pandai mengelola penampilannya di “panggung depan” dalam mengelola kesan dirinya agar sesuai dengan standar dan norma kecantikan yang bernilai komersial, dan di “panggung belakang” Inara mempersiapkan segala sesuatunya agar emosi dan tubuhnya sesuai dengan ekspektasi dari “penonton” yakni para konsumen dan calon konsumen terutama ketika live promosi dari Inara secara online.

Hal itu semakin diperkuat dengan meningkatnya jumlah pengikut Inara di Instagram pasca keretakan rumah tangga yang dialaminya di mana akun ig-nya saat ini dengan nama mommy_starla memiliki 1,8 juta pengikut yang berarti terjadi ledakan citra atau tanda pada diri Inara.

Hal itu berarti bahwa Inara mampu mendayagunakan kapital simbolik dan sosial yang dia miliki untuk terus bersinergi dengan ruang-ruang kekuasaan yang mendukung komodifikasi emosi dan sikap tubuh.

Berdasarkan uraian dan analisis di atas, keputusan Inara Rusli dalam melepas cadar atau niqab tidak sekadar berdimensi agama, keluarga dan ekonomi, tapi melibatkan pula penilaian dari masyarakat dan nilai-nilai komersial industri kecantikan.

Hal itu menjadi sebuah pembelajaran agar kita melihat dari banyak perspektif terkait dengan sikap dan keputusan seseorang sehingga kita bisa mereduksi prasangka atau tuduhan terhadap suatu hal sehingga kita bisa menilai suatu hal secara objektif.

Berpikir kritis dan bermultiparadigma menjadi penting agar kita terlatih untuk bijak dalam merespon berbagai informasi atau peristiwa.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button