Opini

Problem dan Solusi Stunting di NTB

Penulis : Arif Sofyandi

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah 5 tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.

Perspektif lain menyebutkan bahwa, stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir.

Persoalan Stunting masih menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia. Indonesia sendiri menjadi negara ke- 2 yang menyumbang anak stunting Se-Asia Tenggara dan angka ke-5 di dunia. Sebab, dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi balita stunting di Tahun 2018 mencapai 30,8 %. Itu artinya, satu dari tiga balita mengalami stunting.

Selain itu, berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa angka prevalensinya sebesar 24,4% hal ini sebenarnya telah terjadi penurunan dari tahun 2018 tetapi hal ini menjadi problem serius, sebab baru sekitar 6% upaya yang dilakukan oleh pemerintah di dua tahun terakhir.

Sementara, dari data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, Nusa Tenggara Barat (NTB) termasuk memiliki prevalensi yang cukup tinggi, yakni di atas 30%. Jika diderivasi, Lombok Timur memiliki angka prevalensi 37,6%, kemudian diikuti oleh Lombok Utara, Lombok Tengah, Bima dan Dompu dengan prevalensi di atas 30%. Sebagaimana dijelaskan oleh Inspektur Utama BKKBN Ari Dwikora Tono.

Selain itu, untuk wilayah Sumbawa, Kota Bima, Mataram, Lombok Barat dengan prevalensi 20-30%. Pada kasus ini, Kabupaten Lombok timur merupakan daerah yang menjadi penyumbang tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain dan Sumbawa merupakan angka prevalensi yang paling rendah di NTB, ialah 29,7%.  

Faktor Penyebab Stunting

Dari Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi Balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%). Penelitian Ricardo dalam Bhutta tahun 2013 menyebutkan bahwa balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun.

Penyebab stunting secara umum adalah Kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran). Penyebabnya karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani.

Selain itu, faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab anak stunting. Apabila ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik. Ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak.

Di sisi lain, stunting juga disebabkan oleh terjadi infeksi pada ibu, kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan hipertensi. Selain itu, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses sanitasi dan air bersih menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan anak.

Sementara itu, masalah Stunting di NTB, mengutip pendapat Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi NTB dr. Lalu Hamzi Fikri mengatakan bahwa stunting tidak berkaitan dengan masalah ekonomi, melainkan faktor determinan penyebab stunting di NTB adalah masih tingginya angka pernikahan dini atau pernikahan anak.

Karenanya, kata dia, yang dilansir oleh media idntimes.com bahwa bukan persoalan ekonomi tetapi lebih kepada pola asuh, pola makan dan edukasi kepada keluarga, sebab banyak produk lokal seperti sayuran, ikan dan lainnya mudah didapatkan dan murah di NTB. Tetapi, karena pola asuh dan pola makan yang salah menyebabkan balita tidak mendapatkan makanan bergizi untuk tumbuh kembangnya di masa pertumbuhan.

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB, angka pernikahan anak yang tertinggi pada 2020 berada di Bima 235 kasus. Kemudian Lombok Tengah 148 kasus, Lombok Barat dan Lombok Utara 135 kasus, Dompu 128 kasus, Sumbawa 117 kasus, Lombok Timur 43 kasus, Sumbawa Barat 16 kasus dan Kota Mataram 8 kasus. Ini salah satu penyebabnya.

Dari berbagai problem yang diidentifikasi di atas adalah pemerintah daerah dan berbagai lembaga terkait harus terus mengupayakan dan mengintervensi persoalan ini agar tidak menjadi bumerang bagi Visi Indonesia Emas. Sampai saat ini, saya menilai kinerja pemerintah daerah dalam penanganan stunting di NTB sudah sangat baik. Walaupun begitu, harus tetap terus diupayakan dan ditekan angkanya sesuai dengan standar terendah nasional dan dunia. Sehingga NTB bebas dari Stunting.

Solusi Stunting di NTB

Dalam pendekatan ilmu kesehatan masyarakat, mencegah lebih utama daripada mengobati, dengan demikian, untuk mencegahnya, perbanyak makan makanan bergizi yang berasal dari buah dan sayur lokal sejak dalam kandungan. Kemudian diperlukan pula kecukupan gizi remaja perempuan agar ketika dia mengandung ketika dewasa tidak kekurangan gizi. Selain itu butuh perhatian pada lingkungan untuk menciptakan akses sanitasi dan air bersih.

Disisi lain, pengetahuan ibu juga harus terus diupgrading karena kekurangan pengetahuan seorang ibu akan dapat mempengaruhi pemberian makanan-makanan yang bergizi untuk perkembangan anak. Nah, kemudian masyarakat dengan ekonomi rendah, pemerintah bisa melakukan subsidi tentu tidak sembarangan, melainkan memperhatikan prinsip-prinsip tertentu agar lebih tepat sasaran dan pastinya dapat mengurangi angka stunting tersebut.

Dalam perpektif kebijakan kesehatan terhadap persoalan gizi buruk, pemerintah dapat melakukan tiga hal, di antaranya adalah pemerintah daerah NTB dapat menjadi fasilitator. Artinya, pemerintah daerah NTB harus bertanggung jawab dalam penyediaan anggaran dan atau dana dalam membuat sistem pelayanan kesehatan masyarakat yang berkualitas dan harus dipastikan dapat  dan mudah diakses oleh masyarakat miskin di NTB.

Selain itu, pemerintah daerah NTB harus mengambil peran sebagai pelaksana pelayanan, dalam arti, pihaknya harus bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat yang berkualitas. Bisa di fasilitas pelayanan kesehatan namun bisa juga dilakukan pendampingan khusus terhadap orang-orang yang beresiko terhadap gizi buruk.

Selanjutnya, pemerintah NTB dapat berperan sebagai regulator dan atau membuat regulasi atau kebijakan khusus tentang penanganan Stunting di NTB. Termasuk menjamin tersedianya lembaga pelayanan kesehatan negeri maupun swasta yang aman.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

IKLAN
Back to top button