Opini

OPINI – ODGJ Bebas dari Pertanggungjawaban Pidana?

Oleh: dr. Liya Maulidianti, Mahasiswa Magister Hukum Kesehatan – Universitas Hang Tuah, Dokter Umum – Rumah Sakit Jiwa Mutiara Sukma

Menurut Soedjono Dirjosisworo dalam buku Pengantar Ilmu Hukum, hukum merupakan kumpulan dari berbagai aturan-aturan hidup tertulis dan/atau tidak tertulis, menentukan apakah patut dan tidak patut sesuatu dilakukan oleh seseorang dalam pergaulan hidupnya. Perihal pentaatannya, ketentuan itu dapat dipaksakan berlakunya.

Dalam pergaulan hidup manusia, kepentingan-kepentingan manusia bisa senantiasa berlanggaran satu sama lain. Maka tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan itu. Namun, oleh karena kepentingan-kepentingan saling bertentangan, maka tidaklah mungkin hukum itu dapat memberi perlindungan penuh terhadap kepentingan yang satu, lalu mengakibatkan terabainya kepentingan yang lain. Salah satu contoh pelanggaran hukum yang terjadi di masyarakat adalah tindak pidana.

Tindak pidana itu sendiri adalah keadaan ketika suatu peristiwa menimbulkan bencana bagi korban, di mana selalu ada hal yang mendasari (sebab) lahirnya suatu akibat tersebut. Hal ini akan mengarah pada timbulnya akibat hukum bagi si pelaku sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatannya. Namun demikian, tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk pada dilarangnya suatu perbuatan. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pelaku adalah kesalahan. Sedangkan pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.

Seseorang dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana yang mampu dimintai pertanggungjawaban pidana apabila memenuhi unsur-unsur berupa keadaan jiwa dan kemampuan jiwanya baik. Keadaan jiwa meliputi: tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara, tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, dan sebagainya), dan tidak dalam keadaan terhipnotis atau berada di luas kesadaran dirinya. Kemampuan jiwa meliputi: dapat memahami maksud dari perbuatan yang dilakukannya, dapat menentukan apakah niatnya tersebut akan dilakukan atau dibatalkan, dan mengetahui akibat dari perbuatan yang dilakukannya.

Berdasarkan hal tersebut, pelaku tindak pidana yang menderita gangguan jiwa secara hukum harus dilepas dari tuntutan pidana. Hal ini tertuang pada peraturan undang-undang dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yakni:

“Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal, tidak boleh dihukum”.

Lantas, apakah hal ini berdampak baik atau justru sebaliknya?

Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang bermanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

 Untuk menilai apakah gangguan jiwa tersebut tergolong berat atau tidak, penilaian dapat diambil dari keadaan kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight). Umumnya, gejala gangguan jiwa berat akan ditandai dengan adanya gejala berupa halusinasi, ilusi, waham (suatu keyakinan yang tidak rasional/tidak masuk akal), gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh. Salah satu contoh diagnosisnya adalah pada gangguan psikotik berupa skizofrenia.

Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2017 diperkiraan jumlah penderita gangguan jiwa di dunia saat ini mencapai 450 juta jiwa, dengan diagnosa terbanyak adalah skizofrenia dengan angka kekambuhan yang tinggi. Mengingat ODGJ tidak mampu membedakan realitas oleh karena adanya waham dan atau halusinasi serta tilikan dirinya yang buruk, maka sangat mungkin penyakitnya tidak terkontrol dan memicu terjadinya tindak pidana yang akan membayahakan banyak pihak, padahal ODGJ juga merupakan bagian dari masyarakat.

Pemerintah telah menyusun aturan-aturan dalam bentuk undang-undang serta turunannya dalam upaya peningkatan kesehatan jiwa di Indonesia, namun jika dicermati kembali, apakah hal ini sudah jalan sesuai yang seharusnya? Pada ODGJ yang pertama kali terdiagnosa, seringkali ada permasalahan bio-psiko-sosial-ekonomi yang menjadi faktor risiko kuat timbulnya penyakit. Kerentanan biologi dan psikologi ditambah dengan permasalahan sosial dan ekonomi yang berat sangat mungkin menimbulkan masalah, terutama masalah jiwa. Padahal harusnya negara menjamin keadaan sosial dan ekonomi yang baik bagi seluruh raykat Indonesia. Sedangkan pada OGDJ dengan kasus berulang (kambuh), seringkali ketidakpatuhan minum obat adalah masalah utama, yakni karena pasien merasa dirikanya tidak sakit sehingga tidak mau minum obat, atau mungkin karena ketidak-tersediaannya obat-obatan jiwa di fasilitas-fasilitas kesehatan primer tempat pasien kontrol. Padahal, lagi-lagi, harusnya negara juga menjamin upaya kesehatan yang maksimal bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, terlepas dari telah sesuainya Pasal 44 ayat (1) KUHP yang mengindikasikan ODGJ tidak dapat mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana karena tidak mampu membedakan realitas, akan tetapi rasanya lebih elok jika sebenarnya yang perlu ditinjau lebih dalam adalah upaya preventif menurunkan kasus baru atau kasus kambuh dari ODGJ tersebut sehingga jangan sampai melakukan tindak pidana yang merugikan banyak orang.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button